Oleh:
Wawan Gifari Tanasale

SABUROmedia — Debat sejarah, debat peran penting Rakyat Indonesia dan Tokoh dalam sebelum Merdeka, Merdeka hingga setelah Merdeka selalu membawa suasana dan nuansa tersendiri bagi anak bangsa. Dalam gerak peradaban umat manusia setting sejarah menciptakan tiap peran generasi, apakah sebagai pembawa lentera untuk menerangi suatu masa atau pembawa sial untuk menghancurkan suatu masa.

Ketika sebagai seorang generasi abad 21 mempertanyakan perihal sejarah dan pentingnya sejarah, mengingat akan apa yang pernah dilontarkan oleh seorang filsuf yang bernama Karl Popper. Ketika ditanya kepada Popper apakah sejarah memiliki arti, Popper mengatakan tidak! Alasannya adalah karena fakta masa lalu sebagai fakta masa lalu atau peristiwa masa lalu sebagai peristiwa masa lalu tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri, khususnya bagi kita yang hidup di zaman sekarang. Fakta itu baru memiliki arti bagi kita kalau kita memutuskan untuk memberinya arti, (Bung Karno Menggugat).

Kisah panjang perjuangan Rakyat Indonesia dan para Bapak Bangsa hingga Proklamasi bukanlah cerita dongeng, fiktif, dan mistik. Akan tetapi perjuangan mereka merupakan sebuah kisah yang benar-benar mengharu biru, heroik, dan memiliki banyak nilai yang harus wajib kita pelajari. Dengan itulah sebagai generasi abad 21 mesti bercermin, intropeksi, evaluasi, koreksi, dan berkontemplasi secara serius, jujur, dan mendalam sudah sejauh mana kita menegakkan amanah mereka sebagaimana tertuang dalam ruh Proklamasi, Pancasila, dan UUD 1945!

Kemerdekaan dalam terminologi bahasa Indonesia berarti bebas, mandiri, dan tidak terikat. Dalam perspektif pasca hagemoni/dominasi kolonialisme berarti kita mendapatkan kado istimewa atau pengakuan secara De Jure dan de facto. Dengan demikian sebagai sebuah Negara Merdeka berhak untuk berdaulat atas dirinya sendiri. Maka spirit 17 Agustus 1945 tak boleh lepas dari dalam diri tiap anak Bangsa.

Presiden Sukarno dalam Biografi Politik karangan Professor John D. Lege, dengan tajam menggambarkan spirit 17 Agustus 1945,
“Dialog dengan rakyat, dua arah percakapan antara saya dengan rakyat, antara Ego saya dengan alter ego saya. Dua arah percakapan antara seorang Sukarno dengan rakyat Sukarno. Karenanya, setiap kali saya menyiapkan pidato 17 Agustus, saya menjadi seperti milik orang. Segala sesuatu dalam diriku, yang non material,.meluap! Pikiran meluap, perasaan meluap, keberanian meluap, emosi meluap! Hal-hal yang rohaniah serasa bergetar, berpijar dan mengamuk! Kemudian lagi, bagi saya hal itu seperti api yang tidak terlalu panas, seperti laut yang tidak cukup dalam, seperti bintang di langit yang tidak cukup tinggi”,!

Lebih lanjut Bung Karno dalam ” Mencapai Indonesia Merdeka”, menyentil lebih dalam tentang arti kemerdekaan. Indonesia dulu pernah merdeka, tetapi rakyatnya sendiri tidak pernah merdeka, katanya sambil menolak pendapat bahwa zaman pengaruh Hindu-India adalah zaman imperialisme India. Sebelum mereka ditundukkan oleh kolonialisme Belanda mereka telah ditundukkan oleh feodalisme kerajaan-kerajaan Hindu. Dari keterangan ini Bung Karno bergerak ke arah pandangan bahwa kemerdekaan tidak dengan sendirinya membawa kebebasan dan keadilan bagi rakyat jelata. Kemerdekaan hanya merupakan “jembatan emas” menuju masyarakat yang adil. Kemerdekaan adalah suatu syarat, bukan tujuan akhir.

Pada bagian yang lain Mohammad Hatta atau Bung Hatta memberikan gambaran nya tentang esensi kemerdekaan. Dalam buku kecil dengan judul “Demokrasi Kita”, Hatta mengatakan lebih daripada di masa lampau, sekali lagi kita berjuang untuk Indonesia Merdeka, masa sekarang menghendaki uraian dan penerangan yang jelas tentang kedaulatan rakyat. Di masa lampau kita menganjurkan cita-cita kedaulatan rakyat. Sekarang, setelah kita melahirkan Indonesia Merdeka, kita berhadapan dengan soal mempraktekkannya. Sekarang kita berhak untuk mempraktekkan apa yang kita pinang sebagai ciptaan hati dalam pergerakan rakyat sedia kala. Kita sekarang menghadapi ujian daripada cita-cita kita itu, ujian tentang benar atau tidaknya. Ingatlah, bahwa orang luar mudah sekali mengukur kebenaran suatu cita-cita dengan hasilnya dalam praktek. Bung Hatta dari awalnya sudah menyoroti bahwa kendala kemerdekaan itu akan ada pada penerapan!

Tokoh Kiri Tan Malaka dalam “Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi”, pun dengan nada yang agak keras meminta Kemerdekaan 100%/ Merdeka 100%. Kita telah merdeka dan negara mana saja yang melanggar Kemerdekaan kita itu adalah negara agresor yang harus diboikot dan diperangi, tutur Tokoh Kiri tersebut. Dialog singkat dalam Gerpolek ketika ditanya apakah gunanya Gerpolek ? Tan Malaka pun memberikan jawaban yang tajam. Gerpolek adalah senjata sang Gerilya buat membalas Proklamasi 17 Agustus dan melaksanakan Kemerdekaan 100% yang sekarang sudah merosot ke bawa 10% itu. Siapakah Sang Gerilya itu? Sang Gerilya adalah seorang putra atau putri, seorang pemuda atau pemudi, seorang Murba atau Murbi Indonesia, yang taat dan setia kepada Proklamasi dan kemerdekaan 100% dengan menghancur-leburkan siapa saja yang memusuhi Proklamasi serta Kemerdekaan 100%. Sikap dan posisi Tan Malaka dalam menerjemahkan spirit Proklamasi dan Kemerdekaan sangat patut untuk didalami oleh para pemangku kepentingan kita di Negara ini.

Prof. Osman Raliby, salah satu pentolan Partai Masyumi dalam Documenta Historica, yang merupakan sebuah Magnum Opus sejarah Bangsa Indonesia mencatat dengan teliti peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945.
17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan keseluruh dunia. Dalam suatu upacara yang diadakan pada pagi hari ini ditempat kediaman Ir. Sukarno, Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dihadapan rakyat Indonesia Jakarta Raya telah dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Isi pidato Ir. Sukarno pada hari Proklamasi ini lengkap nya adalah sebagai berikut:
,,Saudara-saudara sekalian !
Saya sudah minta saudara-saudara hadir disini untuk menyaksikan satu peristiwa yang maha-penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita Bangsa Indonesia telah berjuang untuk Kemerdekaan tanah-air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombangnya aksi kita untuk mencapai Kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju kearah cita-cita.
Juga didalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai Kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti. Didalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada Hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib-bangsa dan nasib tanah-air didalam tangan kita sendiri.

Hanya Bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekarang lah datang saatnya untuk menyatakan Kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami :

PROKLAMASI

KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENJATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. HAL-HAL JANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKUASAAN DAN LAIN-LAIN, DISELENGGARAKAN DENGAN TJARA SAKSAMA DAN DALAM TEMPO JANG SESINGKAT-SINGKATNJA.

DJAKARTA, 17 AGUSTUS 1945.
ATAS NAMA BANGSA INDONESIA
SUKARNO–HATTA.

Demikianlah, saudara-saudara!
Kita sekarang telah Merdeka!
Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita dan bangsa-kita!
Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, Merdeka kekal dan abadi.
Insya Allah, Tuhan memberkati Kemerdekaan kita itu!

Sebagai generasi semoga saja kita tetap mengingat, mempelajari, mendalami, dan merenungi hakikat daripada Kemerdekaan yang dipersembahkan oleh Rakyat Indonesia dan Bapak Bangsa terdahulu kepada kita. Baik Bung Karno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Natsir, Haji Agus Salim, dll, agar tetap menjaga arah perjalanan biduk Bangsa ini, baik sekarang maupun akan datang. Kita kirimkan Do’a untuk mereka semoga mereka semua mendapatkan tempat yang layak dan mulia disisi Allah Swt. Aamiin.

*** Penulis adalah Pemerhati Sejarah Indonesia Lokal