Oleh :
M. Azis Tunny
SABUROmedia — Maluku adalah memoar hidup yang terlupakan. Delapan puluh tahun silam, provinsi bercirikan kepulauan ini termasuk delapan pilar pendiri Republik Indonesia, menyusun fondasi negara dengan darah dan peluh.
Hari ini, ketika Indonesia merayakan kemerdekaan ke-80 dengan gegap gempita, Maluku masih terperangkap dalam ironi pahit. Menjadi “korban” sebagai pendiri negara yang dimiskinkan oleh sistem yang diskriminatif.
Di balik hamparan laut biru seluas 712.479 km² yang menyimpan kekayaan alam tak terhingga, tersembunyi kisah pilu kemiskinan struktural yang dipelihara oleh regulasi diskriminatif dan pengabaian sistematis oleh negara.
Angka tidak berbohong. Tingkat kemiskinan di Maluku mencapai 15,38% pada Maret 2025, tertinggi keempat secara nasional. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) berada di angka 4,04 dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 0,93 menunjukkan bahwa rata-rata penduduk miskin di Maluku memiliki kesenjangan pendapatan yang cukup besar terhadap garis kemiskinan.
Ketimpangan pendapatan di Maluku berkorelasi langsung dengan kemiskinan, di mana peningkatan ketimpangan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk miskin. Tapi yang lebih menyakitkan, kemiskinan ini disebabkan oleh regulasi yang tidak mengakomodir wilayah laut dalam pembiayaan pembangunan.
Akar ketidakadilan dan diskriminasi struktural terletak pada kebijakan fiskal yang dirancang menguntungkan wilayah kontinental, bukan kepulauan. Padahal bentuk negara kita kepulauan, sebagaimana kesepakatan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), Indonesia adalah negara yang terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan.
Ironinya, formula perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pembiayaan daerah hanya dihitung berdasarkan luas daratan dan jumlah penduduk, mengabaikan 92% wilayah laut Maluku yang seharusnya membutuhkan biaya pelayanan 3 hingga 5 kali lebih mahal.
Hasilnya? Anggaran Maluku tak pernah menyentuh angka Rp3,5 triliun, jauh lebih kecil dibanding DAU Kabupaten Bandung atau DAU Kota Tangerang Selatan. Akibatnya, pembangunan infrastruktur terhambat, harga logistik melambung, dan akses dasar seperti pendidikan dan kesehatan menjadi sebuah kemewahan.
Melayani konektivitas Maluku dengan 1.392 pulau membutuhkan kapal, dermaga, dan jaringan logistik yang mahal. Disparitas kepulauan dan minimnya infrastruktur membuat harga barang dan logistik menjadi sangat mahal di beberapa wilayah kabupaten.
Di usia delapan dekade ini, Maluku tak butuh belas kasihan, tapi keberanian politik untuk membongkar sistem yang diskriminatif. Maluku butuh keberanian untuk melakukan reformulasi DAU, dengan memasukkan variabel luas laut dan indeks kemahalan logistik kepulauan ke dalam UU No. 33/2004 dan Permekeu No.134/2023.
Keadilan bagi Maluku bukan sekadar soal anggaran. Ini semestinya menjadi pengakuan bahwa laut bukan pemisah, tapi ruang hidup yang harus dihargai dalam setiap rupiah anggaran. Dana Afirmasi Kepulauan harus menjadi hak konstitusional, bukan belas kasihan dari pemerintah pusat.
Sejarah akan mencatat, di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Maluku masih menjadi nisan hidup pengorbanan yang dikhianati. Sebagaimana diingatkan dalam persiapan HUT ke-80 RI; perayaan harus fokus pada “efisiensi anggaran dan partisipasi publik”. Tapi bagi Maluku, efisiensi tanpa keadilan hanyalah topeng untuk menutupi luka struktural.
Tanpa terobosan politik yang nyata dari rezim penguasa hari ini, proklamasi kemerdekaan bagi Maluku dan janji-janji politik hanyalah teks usang yang dibacakan di atas panggung ketimpangan. 80 tahun merdeka, Maluku masih tetap miskin!
*** Penulis adalah Ketua Umum BPD Hipmi Maluku Periode 2021 – 2025