PRABOWONOMICS

Jun 2, 2025

Oleh :
Dr. M. J. Latuconsina., S.IP., MA

SABUROmedia — Mendahului narasi ini meminjam ungkapan Muhammad Yunus, salah seorang ekonom kenamaan dunia asal Bangladesh, yang diganjar Nobel Prize dalam bidang ekonomi di tahun 2006 lalu bahwa, “ kepemimpinan bukan hanya tentang membuat keuntungan, tetapi juga tentang menciptakan dampak positif di masyarakat.” Kata-kata ini, secara global relevan dengan deskripsi ini. Pasalnya para Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan, tidak hanya memikirkan keuntungan semata bagi negara. Namun perlu menciptakan dampak positif dari keuntungan tersebut, yakni kesejahteraan bagi warga masyarakat.

***

Setiap masa Pemerintahan para Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan (Presiden/ Perdana Menteri) Indonesia, sejak di proklamirkan pada 17 Agustus 1945 sampai dengan saat ini, memiliki platform pembangunan ekonomi. Platform pembangunan ekonomi merupakan konsep dasar dari pelaksanaan pembangunan ekonomi secara menyeluruh dan berkesinambungan, yang mengacu pada pertumbuhan, pemberdayaan dan kebermanfaatan bagi rakyat di tanah air. Platform pembangunan ekonomi tersebut, ada yang merupakan konsep dari para Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan, dan ada juga yang merupakan konsep dari para Menteri.

Hal ini dapat kita lihat dari penamaan platform pembangunan ekonomi para Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan, dimana ada yang menamakannya dengan nama Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan, dan ada juga yang menamakannya dengan nama para Menteri selaku pembantu mereka. Kita tentu tidak memperdebatkan menyangkut dengan ada platform pembangunan ekonomi pada masa Pemerintahan Presiden tertentu, yang tidak dinamakan menggunakan nama mereka. Aspek yang paling penting bukan pada penamaannya, yang perlu kita peredebatkan.

Namun sejauh mana efektifitas dan efesiensi implementasi dari platform pembangunan ekonomi tersebut, yang memiliki dampak rill bagi pertumbuhan, pemberdayaan dan kebermanfaat bagi rakyat di tanah air. Pasalnya terdapat para Kepala Negara/ Kepala Pemerintahan Indonesia, dimana platform pembangunan ekonomi tidak dinamakan dengan menggunakan nama mereka. Tetapi justru mereka berhasil dalam implementasi platform pembangunan ekonomi, secara menyeluruh dan berkesinambungan. Dampaknya adanya pertumbuhan, pemberdayaan dan kebermanfaat bagi rakyat di tanah air.

***

Dalam perkembangan pemikiran ekonomi pembangunan pada dasawarsa 1990-an di tanah air, timbul istilah baru yang cepat menjadi populer kala itu, antara lain istilah Widjojonomics dan Habibienomics. Jika ditilik istilah Widjojonomics, dan Habibienomics, sebenarnya mengikuti peristilahan Reaganomics yang muncul di Amerika Serikat pada dasawarsa ’80-an. Reaganomics, yang disebut juga supply-side economics atau ekonomi voodoo itu, merupakan pemikiran ekonomi, yang merefleksikan kebijaksanaan ekonomi yang ditempuh oleh Ronald Wilson Reagan (1911-2004), Presiden Amerika Serikat ke-40 pada waktu itu.

Istilah Reaganomics pertama kali diperkenalkan oleh Paul Harvey (1918-2009), seorang penyiar radio berkewarganegaan Amerika Serikat. Istilah ini adalah gabungan dari nama Ronald Wilson Reagan, Presiden Amerika Serikat, dan kata ekonomi. Penyusunan konsep Reagenomic, tentu saja bukan Reagan pribadi, melainkan Tim Penasehat Ekonomi Presiden Amerika Serikat kala itu, dengan tokoh-tokohnya antara lain ; Arthur Raffer, Norman Ture, dan Paul Creaig Robert. Tetapi disebut Reaganomics karena konsep kebijaksanaan itu secara formal dikemukakan dan dijalankan oleh Presiden Reagan.

Ditanah air terdapat juga istilah demikian, ini dapat kita temukan pada istilah Widjojonomics. Istilah Widjojonomics tidak disebutkan kapan pertama kali diperkenalkan, namun diperkirakan istilah ini dipopulerkan pada tahun 1990-an, tatkala Widjojo Nitisastro (1927-2012) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekuin), sukses membawa keberhasilan dalam pembangunan nasional Indonesia, yang kala itu dipimpin Jenderal Soeharto pada era 1970 an-1980-an bersama kawan-kawannya, antara lain ; Emil Salim, Ali Wardhana, Sumarlin, dan Harun Zain, yang digelari Mafia Berkeley.

Pasalnya rata-rata mereka adalah lulusan dari University of California at Berkeley-Amerika Serikat. Widjojonomics adalah modernisasi sistem ekonomi yang mencakup pasar, fiskal dan utang luar negeri yang diharap melahirkan trickle down effect. Teori trickle down effect beranggapan bahwa, jika kebijakan ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kaum kaya, maka akan menetes ke rakyat miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan dan perluasan pasar.

Sedangkan, istilah Habibienomics pertama kali ditawarkan oleh pengamat ekonomi terkemuka Indonesia yakni, Kwik Kian Gie dalam Harian Kompas 3 Maret 1993, dengan tulisannya berjudul : ” Konsep Pembangunan Ekonomi Prof. Habibie”. Tulisan itu sendiri merupakan sebuah ulasannya terhadap pemikiran Habibie Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), mengenai strategi industrialisasi yang dilontarkannya dalam kesempatan memperkenalkan berdirinya Center for information and Development Studies (CIDES).

Pada kesempatan itu, Habibie menyampaikan sebuah makalah, yang berjudul : “Pembangunan Ekonomi Berdasarkan Nilai Tambah Dengan Orientasi Pengembangan Teknologi dan Industri”. Makalah tersebut, sebenarnya merupakan penjelasan resmi dari pemikiran yang sebelumnya telah dilontarkan secara lisan oleh Habibie. Implikasi dari Habibienomics dinilai cukup fleksibel, dan mampu mewadahi grand fusion antara pertumbuhan, pemerataan, partisipasi, dan kepentingan nasional.

Dalam Habibienomics perekonomian harus dikembangkan melalui perebutan teknologi canggih untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju. Indonesia tidak boleh hanya menjadi negara yang hanya bisa memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif. Tapi harus memiliki keunggulan kompetitif. Pasca kepemimpinan Presiden Habibie (1936-2019), terdapat tiga presiden yang dalam platform pembangunan ekonominya di tanah air, tidak menggunakan istilah nomics dibelakang nama mereka. Hal ini dapat dilihat pada Presiden Abdurrahman Wahid/Gus Dur (1940-2009), dimana tidak menggunakan istilah Abdurrahmanomics atau Gus Durnomics.

Begitu juga Presiden Megawati Soekarno Putri (2001-2004), tidak menggunakan istilah Megawatinomics. Kondisi serupa ditemukan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (2004-2014), dimana juga tidak menggunakan istilah Yudhoyonomics atau SBYnomics. Walaupun ketiga Presiden ini, tidak memakai istilah nomic dibelakang nama mereka, tapi mereka memiliki platform pembangunan ekonomi, yang direalisasikan tatkala mereka memerintah. Misalnya saja Presiden Abdurahman Wahid/Gus Dur, dalam platform pembangunan ekonomi, fokus mendahulukan kesetaraan ekonomi (economic equality) dibandingkan pertumbuhan ekonomi (economic growth).

Sedangkan Presiden Megawati Soekarno Putri memiliki platform pembangunan ekonomi, dimana fokus pada pemulihan ekonomi pasca krisis, stabilisasi makro ekonomi, dan reformasi sektoral. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono/SBY dalam plat form pembangunan ekonomi, dimana fokus pada pemeliharaan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat miskin, serta penataan kelembagaan dan sistem perlindungan sosial. Prioritas lain adalah meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim.

Dalam perkembangannya pasca kepemimpinan ketiga Presiden ini, istilah nomics dibelakang nama Presiden kembali lagi digunakan. Hal ini ditemukan pada era Presiden Joko Widodo (2014-2024), dimana istilah Jokowinomics populer di masa kepemimpinan Presiden Indonesia ke-7 tersebut. Lantas apa itu Jokowinomics ? Jokowinomics merupakan gaya kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo. Istilah ini pertamakali diperkenalkan James Jordan Gulid, seorang Indonesianis dari Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam (RSIS) Singapura. Menurut Guild (2019), Presiden Joko Widodo hendak menciptakan kesejahteraan ekonomi yang lebih merata melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur fisik.

Pembangunan ini banyak bertumpu pada Badan Usama Milik Negara (BUMN), sehingga beberapa pihak menyebut bahwa Presiden Joko Widodo sedang menerapkan state capitalism. Jokowinomics dinilai membuat Presiden Joko Widodo mengorbankan beberapa hal. Salah satunya adalah citra progresifnya, karena harus membuat kesepakatan dengan oligarki dan elite politik. Dalam dinamikanya Jokowinomic memiliki arah utama pembangunan tidak sekadar infrastruktur, tetapi juga sumber daya manusia dan ekonomi kerakyatan.

Sedangkan Pangestu (2020) dalam artikelnya berjudul : “ Jokowinomics: A New Developmentalism with Rising Skyscrapers and Sinking Indonesian Civil Rights Liberty,” mengatakan bahwa, Jokowinomics, yang menjadi jargon model pembangunan ala Presiden Joko Widodo, seringkali dipamerkan sebagai prestasi nasional, untuk memenangkan hati konstituen melalui gedung pencakar langit, jembatan penghubung dan transportasi umum modern. Pendekatan teknokratik dan pragmatis ini disebut oleh dunia akademisi sebagai bentuk “new developmentalism ”.

Setelah masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masih terdapat salah seorang Presiden yang dalam flatform pembangunan ekonominya di tanah air, juga menggunakan istilah nomics dibelakang namanya. Hal ini dapat kita lihat pada Presiden Prabowo Subianto (2024-2029), dimana telah memperkenalkan istilah Prabowonomics. Lalu apa itu Prabowonomics ? Prabowonomics merupakan konsep transformasi demokrasi ekonomi nasional, yang didasari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, di mana seluruh kekayaan alam dikuasai negara untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat.

Prabowonomics muncul sebagai visi ekonomi dari Presiden Prabowo Subianto, yang menjanjikan kebangkitan ekonomi nasional dengan mengandalkan dominasi negara, nasionalisme ekonomi, dan keterlibatan militer. (Ronaldo 2025). Menurut Qodari (2025) bahwa, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki konsep transformasi demokrasi ekonomi yang dinamai dengan Prabowonomics. Prabowonomics merupakan konsep ekonomi Prabowo yang didasari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, di mana seluruh kekayaan alam dikuasai negara untuk dipergunakan bagi kemakmuran rakyat.

Prabowonomics berfokus pada pembangunan ekonomi yang berbasis pada kedaulatan pangan, energi, dan peningkatan daya saing industri nasional. Kebijakan ekonomi Prabowonomics menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, dan penghapusan kemiskinan absolut dengan fokus pada investasi, ekspor, serta pengembangan sektor-sektor strategis seperti pertanian, manufaktur, dan teknologi. Meskipun Prabowonomics memiliki visi dan misi ekonomi yang baik bagi kepentingan negara dan rakyat, namun mendapat sorotan kritis.

Menurut Amsari (2025) bahwa, sejatinya konsep Prabowonomics yang didasari Pasal 33 UUD 1945 merupakan konsep ekonomi yang baik. Sebab berupaya menjamin rakyatnya memperoleh kemakmuran dari hasil kekayaan alam yang dikuasai negara. Masalahnya, seluruh Menteri Ekonomi di Kabinet Merah Putih adalah orang-orang mantan Presiden Joko Widodo. Bagaimana mugkin pemerintahan Prabowo mampu melakukan akselerasi dan transformasi ekonomi apabila para pembantu yang ditunjuk di bidang ekonomi tidak memperjuangkan gagasan dari Prabowo sendiri. (kompas.id 2019, suara.com 2023, emedia.dpr.go.id 2024, wikipedia.org 2025, tempo.co 2025).

Terlepas dari itu, implementasi platform pembangunan ekonomi Prabowo Subianto Presiden Indonesia ke-8, yang dikenal dengan Prabonomic tengah berlangsung. Banyak ekspetasi dari rakyat di tanah air, agar realisasi dari konsep Prabowonomics tersebut, dengan jalan negara mengelola berbagai sumber daya, yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Dampak rillnya terhadap kesejahteraan rakyat. Kendati demikian, implementasi Prabowonomic tidaklah sepi dari kritikan, dimana masih banyak persoalan politik, ekonomi, dan hukum yang perlu ditata dengan baik oleh Presiden Prabowo Subianto. Hal ini sebagai jalan untuk mensukseskan konsep Prabowonomics tersebut.

*** Penulis adalah Staf Dosen Fisipol Unpatti, Ambon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *