Oleh :
M. Saleh Wattiheluw

SABUROmedia — Provinsi Maluku lagi-lagi mendapat capaian WTP untuk kesekian kalinya, meskipun demikian BPK juga menyertakan “ 305 temuan dan sejumlah poin rekomendasi yang sangat pantastis” satu prestasi hasil pemeriksaan keuangan daerah TA 2024 yang luar biasa.

Tidaklah heran kalau Ketua DPRD dalam Pidato maupun sambutan pada acara penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh BPK, Ketua DPRD merespon dan mengungkapkan catatan kritis terhadap berbagai problematika yang intinya harus menjadi perhatian kedepan. Demikian juga Gubernur HL dalam acara syukuran di kampus UIN AMSA memberikan atensi bahwa tidak bangga dan tidak puas dengan raihan WTP, jika masih banyak catatan temuan dan rekomendasi dari BPK. Sangatlah wajar ungkapan rasa jumawa atau rasa prihatin dari kedua Petinggi daerah ini.

Sesungguhnya publik pasti tahu bahwa WTP, adalah salah satu pernyataan atau opini dari BPK, tentunya atas dasar proses penilaian pelaporan keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) telah sesuai dengan prinsip akuntansi, dimana entitas atau bukti-bukti pelaporan dan penggunaan keuangan daerah benar adanya.

Raihan WTP Pemda Provinsi Maluku tahun 2024, jika dicermati memang sangat tidak berkorelasi dengan fakta lapangan, artinya kontradiksi dengan pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik yang masih banyak bermasalah misalnya soal kebocoran anggaran, dugaan proyek fiktif, aset-aset daerah belum terurus, hingga kemandirian BUMD, satu sisi daerah masih terbebani dengan hutang masa lalu yang berdampak pada keuangan daerah.
Jika kondisi demikian, maka apalah artinya capaian WTP secara berturut-turut kalau kemudian Maluku masih tertinggal, mengapa tidak WDP saja, bahkan mungkin “Discleamer” agar ada tantangan kedepan. Adalah sangat tidak rasional kalau ada yang berbangga dengan raihan WTP yang paradoks itu.

Memang secara normatif dan prosudural WTP di butuhkan, hanya saja WTP bukan satu-satunya “kriteria” untuk mengukur kemajuan suatu daerah. Pada titik ini maka catatan kritis dari ketua DPRD maupun Gubernur tersirat makna yang penting agar kedua lembaga yaitu legislatif dan eksekutif meningkatkan peran dan fungsi terutama fungsi penganggaran dan pengawasan secara maksimal agar anggaran belanja dapat dimanfaatkan secara efektif, efisien agar berdampak langsung terhadap persoalan-persoalan fundamental sosial ekonomi dan saran infrastruktur sebut saja, kemiskinan, pengangguran, pendapatan perkapita, pendidikan dan kesehatan serta jalan jembatan.

Bagaimanapun juga problematika daerah adalah problematika kumulatif yang harus menjadi tanggungjawab bersama. Selain itu juga Gubernur harus berusaha menghadirkan investor untuk berinvestasi di Maluku.

Publik Maluku pasti berharap agar kedepan capaian WTP harus diraih dengan prosudur yang normal dan wajar, linier secara positif dengan fakta lapangan artinya Pemda harus berusaha untuk meminimalisir temuan-temuan BPK dan mengurangi poin rekomendasi yang intinya mengingatkan Pemda untuk mempertanggungjawabkan maksimal selama 60 hari. Berikutnya Gubernur HL maupun Bupati, Walikota harus membutuhkan personal-personal birokrat yang handal dan mumpuni didukung dengan Inspektorat yang kuat dan kredibel untuk Maluku pung bae.

*** Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik, Dosen Senior Unidjar Masohi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *