Oleh :
M. Azis Tunny

SABUROmedia — Kepulauan Maluku memiliki karakteristik akuatik terestrial (wilayah laut lebih besar dari daratan) dan mengandung biodiversity perikanan terbesar di dunia. Estimasi total potensi perikanan tangkap berdasarkan Kepmen KP No. 19 tahun 2022, pada WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) 714, 715, dan 718 di wilayah Kepulauan Maluku mencapai 222.890 ton. WPP 718 di Laut Arafura merupakan wilayah dengan potensi perikanan tangkap tertinggi di Indonesia.

Sebagai Provinsi dengan tiga fishing ground strategis (Banda, Seram, dan Arafura) yang menyumbang 37 persen produksi perikanan nasional, Maluku seharusnya menjadi pusat kemakmuran maritim Indonesia. Namun, Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) justru makin mengukuhkan ketidakadilan struktural karena mengalihkan kekayaan laut dari rakyat ke oligarki.

Alih-alih mendorong hilirisasi yang memakmurkan daerah, kebijakan ini malah menjadikan Maluku sebagai korban sistemik dari sentralisasi kekuasaan dan perampasan sumber daya alam. Gubernur dan DPRD Maluku telah bersuara, mendesak pencabutan PP No.11 Tahun 2023 dan Permen KKP No. 28 Tahun 2023. PP No. 11 Tahun 2023 mengatur tentang Penangkapan Ikan Terukur secara umum, sementara Permen KKP No.28 Tahun 2023 menjelaskan pelaksanaan PP tersebut, yang secara khusus merampas hak daerah atas Zona WPP 718 di Laut Arafura, jantung perikanan Kepulauan Aru.

Regulasi ini ibarat mengubah sumber hidup menjadi medan eksploitasi. Zona 718, area penangkapan ikan paling produktif di Laut Arafura, adalah bukti nyata kegagalan tata kelola perikanan nasional. Regulasi tentang penangkapan ikan terukur telah membuka kran eksploitasi besar-besaran untuk kapal industri berteknologi canggih (purse seine, longliner) yang dipandu fishing master profesional. Sementara nelayan tradisional Aru, yang turun-temurun mengelola zona ini, dipaksa mundur ke wilayah sempit 12 mil laut.

Data Dinas Perikanan Maluku (2024) menunjukkan sebanyak 85 persen tangkapan di Zona 718 dikuasai kapal pemegang izin pusat karena rata-rata kapal diatas 30 GT. Nelayan lokal dipaksa keluar dari zona tangkap. Sementara industri pengolahan di Dobo dan sekitarnya kekurangan pasokan ikan karena hasil tangkapan langsung dibawa ke luar provinsi, bahkan sebagian melalui praktek transhipment, atau memindahkan muatan ikan di laut.

Masyarakat Maluku semestinya skeptis dengan segala regulasi dan kebijakan yang mengatur daerah ini. Termasuk skeptis pada kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang merupakan bagian integral dari konsep Blue Economy, yang digaungkan oleh Gunter Pauli dalam buku Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs.

Pauli mendefinisikan konsep ini sebagai ekonomi berkelanjutan yang mengutamakan aspek lokal serta kelestarian alam (Syakur, Aronds, and Aqil 2023). Kendati secara definisi seakan membawa niat baik, Blue Economy atau ekonomi biru malah menimbulkan permasalahan di pelbagai negara. Misalnya di Seychelles, penerapan ekonomi biru mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan, karena industri tunanya dikuasai oleh armada tangkap dari Uni Eropa.

Sementara di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tingkat deplesi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, akhirnya mengakibatkan kesenjangan dan meningkatkan angka kemiskinan serta krisis ekologi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2023).

Hal itu terjadi karena konsep ekonomi biru sesungguhnya disusun untuk melayani kepentingan korporasi dalam mengeksploitasi laut seluas-luasnya (Wahana Lingkungan Hidup, 2022). Kebijakan ini diorder, dan sebelum diimplementasikan, pemerintah sengaja mau “cek ombak”, atau respon dari masyarakat di daerah.

Di Indonesia sendiri, implementasi kebijakan ekonomi biru disusun untuk melayani korporasi skala besar (Wahana Lingkungan Hidup 2022). Salah satunya bisa dilihat dari PP No. 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur beserta Peraturan Menteri Kelautan Perikanan 28/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan ini menguntungkan korporasi, serta meminggirkan nelayan kecil dan merusak keberlanjutan lingkungan.

Kebijakan ini bukan hanya tidak adil, tetapi secara terang-terangan melanggar Pasal 33 UUD 1945 yang menjamin kedaulatan negara atas sumber daya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perikanan skala kecil (small-scale fisheries) sangat penting diterapkan di negara berkembang, dimana ketergantungan pada sumberdaya alam sangat tinggi dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan. (Econusa, 2025).

Selain masalah Penangkapan Ikan Terukur, sentralisasi izin kapal yang di pusat juga telah membunuh hilirisasi di hulu. Ketentuan izin kapal >30 GT hanya di pusat merupakan pukulan telak bagi kedaulatan ekonomi Maluku. Akibatnya, pemerintah daerah tak memiliki kewenangan mengatur kuota tangkapan untuk konsumsi dan industri lokal.

Lebih dari 80 persen kapal besar di perairan Maluku dimiliki perusahaan dari luar, membawa hasil tangkapan ke pelabuhan dan pabrik-pabrik di Jawa atau Sulawesi. Padahal, desentralisasi izin dapat menjamin pasokan bahan baku industri lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan PAD.

Pembatasan 12 mil laut, ibarat ranjau kriminalisasi bagi nelayan tradisional yang mendiami pulau-pulau dan daerah pesisir di Maluku. Mereka diperhadapkan dengan pembatasan wilayah tangkap hanya 12 mil laut, dan ini jelas-jelas sangat diskriminatif.

Nelayan tradisional Maluku yang telah berabad-abad memanfaatkan Zona 718 yang berada di luar 12 mil, namun dengan peraturan penangkap, aktivitas mereka dianggap ilegal tanpa izin pusat, yang mustahil diakses oleh nelayan kecil. Sementara kapal-kapal milik industri bebas mengeksploitasi zona tersebut, bahkan ada yang masih menggunakan alat tangkap destruktif seperti pukat harimau.

Pemerintah pusat lantas memberi gula-gula yakni keharusan membangun infrastruktur darat bagi kapal-kapal ikan yang beroperasi di Laut Maluku. Namun itu ibarat solusi palsu karena tanpa dukungan sistemik. Kewajiban membangun kantor, cold storage, atau pabrik pengolahan di Maluku adalah kebohongan kebijakan.

DPRD Maluku secara resmi, melalui Ketua DPRD Maluku Benhur G. Watubun, telah mendesak pencabutan PP No. 11 Tahun 2023 dan Permen KP No. 28 Tahun 2023. PP No. 11 Tahun 2023 karena dianggap melanggar otonomi daerah (UU No. 23/2014) dengan merampas hak pengelolaan Zona 718. Kebijakan Menteri KKP dianggap memiskinkan nelayan lokal, dan memicu overfishing oleh kapal industri. Akibat lainnya, kebijakan ini juga menjadi faktor penghambat hilirisasi karena memutus rantai pasok industri pengolahan lokal.

Sejumlah kebijakan dan regulasi perlu ditata ulang berbasis keadilan sehingga tidak merugikan Maluku, dan memberikan dampak struktural, karena merampas Zona 718.

Diperlukan juga desentralisasi izin kapal >30 GT ke pemerintah Maluku dengan kuota wajib 40 persen untuk memenuhi industri lokal, guna mendukung program hilirisasi di sektor perikanan. Batas melaut 12 mil laut perlu ditinjau, dan direvisi kembali dengan hak kelola prefensial nelayan tradisional. Karakteristik Maluku yang archipelagos, tidak bisa disamakan dengan provinsi lain yang berkarakter continental.

Laut Maluku bukanlah statistik Jakarta, dan dihitung sebatas angka-angka. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur telah mengubah Maluku, sebagai lumbung dan penyangga pangan nasional, menjadi korban keserakahan sistemik negara. Hilirisasi hanyalah ilusi selama kebijakan dibuat di Jakarta tanpa mendengar jerit nelayan pulau-pulau dan daerah pesisir. Saya sangat setuju, dan mendukung apabila DPRD Maluku memimpin koor ini, menyuarakan perlawanan.

Kini saatnya pemerintah pusat membuktikan komitmen keadilan. Cabut semua aturan yang merampas hak hidup orang Maluku, kembalikan kedaulatan pada mereka yang menjaga lautnya secara turun-temurun. Sudah terlalu lama orang Maluku, sebagai satu dari delapan provinsi yang mendirikan negara ini, berbaik hati buat Jakarta.

Revisi kebijakan dengan mencabut semua regulasi perikanan yang merugikan Maluku bukanlah pilihan, tapi ini kewajiban konstitusional oleh negara. Sebab, Laut Maluku adalah denyut nadi rakyatnya, bukan sekadar laporan angka-angka di spreadsheet menteri, bahkan presiden.

*** Penulis adalah Ketua Umum BPD Hipmi Maluku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *