Oleh:
Dr. M. J. Latuconsina., S.IP., MA
SABUROmedia — Mengawalinya meminjam ungkapan Herakleitos (540-480 SM), seorang filsuf Yunani pra Sokratik, yang tulisan-tulisannya mengkritik para filsuf dan tokoh-tokoh terkenal, seperti : Homeros, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan Hekataios. Ia mengungkapkan bahwa, ” karakter yang baik tidak terbentuk dalam seminggu atau sebulan. Itu dibuat sedikit demi sedikit, hari demi hari. Upaya yang berlarut-larut dan sabar diperlukan untuk mengembangkan karakter yang baik.”
Qoutes bermakna filosfis dan kontemplatif dari Herakleitos tersebut, tentu relevan dengan narasi dalam artikel ini. Pasalnya memaparkan pendidikan karakter, yang secara substantif melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action) didalam implementasinya kepada generasi bangsa di lembaga-lembaga pendidikan di tanah air. Dampak positif dari impelementasi pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa tersebut tentu ada, baik itu untuk saat ini dan pada waktu yang akan datang.
***
Terlepas dari itu, tujuan dari pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan pendidikan nasional, juga akan mampu menghasilakan kapasitas sumber daya manusia (SDM), yang dimiliki bangsa dan negara. Dengan kapasitas SDM yang maksimal, akan menjadi penopang bagi upaya wewujudkan cita-cita bangsa yakni, mencerdasakan sekaligus mencerahkan kehidupan bangsa dan negara. Hal ini merupakan esensi penting dari pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi dalam upaya memajukan pendidikan di tanah air. Komitmen Pemerintah tersebut, ditunjukan dengan pembangunan inprastruktur pendidikan : Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Dimana pembangunan instrastruktur pendidikan per tingkatannya itu disokong dari Anggaran Pendapatan Belanda Negara/Daerah (APBN/D), maupun disupport antara kemitraan Pemerintah dengan kalangan swasta, yang berkontribusi memajukan pendidikan nasional.
Pada tahun anggaran 2024 lalu, Pemerintah telah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik bidang pendidikan sebesar Rp15,29 triliun untuk pembangunan sarana dan prasarana di 12.626 satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Pembangunan infrastruktur pendidikan ini mencakup jenjang PAUD, SD, SMP, SKB, SMA, SLB, dan SMK. Hal ini termasuk didalamnya mencakup pembangunan infrastruktur PT di Indonesia pada tahun 2024, yang fokusnya pada pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan. (Kemendigbud,2023).
Dengan komitmen serius dari Pemerintah dalam membangunan inprastruktur pendidikan per tingkatannya di tanah air tersebut. Tentu terdapat ekspetasi dari kita selaku warga masyarakat, agar dapat digunakan oleh generasi muda bangsa, dalam mengenyam pendidikan. Outputnya meningkatkan wawasan mereka tentang ilmu pengetahuan (science), sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada tingkatan berikutnya, maupun sebagai modal untuk mereka mencari pekerjaan tatkala mereka sudah lulusan dari SLTA dan PT.
Dalam konteks ini, pembangunan inprastruktur pendidikan per tingkatannya di tanah air oleh Pemerintah tidak sekedar untuk menciptakan generasi muda bangsa, yang mampu memahami ilmu pengetahuan semata. Tapi mampu menciptkan generasi muda bangsa, yang terampil yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Hal ini akan berimplikasi positif terhadap terserapnya mereka pada pasar kerja, sekaligus menekan angka pengguran yang tidak kita harapkan bersama.
Bahkan Pemerintah tidak sekedar untuk menciptakan generasi muda bangsa, yang mampu memahami ilmu pengetahuan saja. Namun para generasi muda bangsa tersebut, diharapkan harus memiliki kemampuan dalam menciptakan lapangan kerja. Dengan cara seperti ini, maka tentunya akan mengurangi beban Pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan, dimana dari sisi anggaran untuk proses rekruitmen, pendidikan dasar kepegawaian sampai dengan penggajian, tentu menelan anggaran yang tidak sedikit.
Diluar upaya Pemerintah yang gencar membangun insfrastruktur pendidikan tersebut, ternyata meyisahkan problem. Hal ini dikarenakan, tidak representasinya insprastruktur pendidikan per tingkatan mulai dari PAUD, SD, SLTP dan SMA di Daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), yang masih jauh dari layak. Dimana wilayah ini mengalami keterbatasan dalam aksesibilitas, infrastruktur, dan pelayanan dasar. Dampaknya bangunan sekolah yang reyot, minim dan tidak layaknya fasilitas sekolah, akses ke sekolah yang sulit, ketiadaan listrik, serta jumlah guru yang tidak sepadan dengan kapasitas murid yang harus diajari di kelas.
Meskipun demikian, Pemerintah tetap memiliki komitmen serius, untuk membangun inprastruktur pendidikan per tingkatannya, yang merata dan representatif di seluruh tanah air. termasuk di Daerah 3T. Hal ini dilakukan agar mampu menjamin aksesebilitas generasi bangsa untuk mengenyam pendidikan, tanpa perlu pergi jauh lagi hingga ke desa atau kelurahan tetangga, hanya untuk sekeder bersekolah. Komitmen Pemerintah tersebut, menandakan Pemerintah respons terhadap kepentingan generasi bangsa di di Daerah 3T, yang sangat membutuhkan inprastruktur pendidikan yang layak.
Terlepas dari itu, pelaksanaan pendidikan di tanah air, tentu tidak hanya berkutat menyangkut dengan penyediaan inpratstruktur pendidikan, yang memadai bagi generasi muda bangsa saja, yang diikuti dengan outputnya yakni bertambahnya pengetahuan generasi muda bangsa, yang menyangkut dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Namun lebih dari itu, mampu menghasilkan generasi muda bangsa yang berkarakter sebagai hasil dari pelaksanaan pendidikan itu sendiri.
Hal ini menandaskan kepada kita bahwa, substansi penting dari pendidikan yaitu pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa. Pasalnya dengan pendidikan karakter bagi para generasi muda bangsa, akan berdampak pada perilaku mereka dalam kehidupan bermasyarakat pada hari ini, dan pada masa yang akan datang, sekaligus memiliki dampak positifnya kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasalnya generasi muda bangsa tersebut merupakan pewaris masa depan bangsa, yang turut menjadi penentu dari maju tidaknya bangsa dan negara pada hari esok.
Relevan dengan itu, Suyanto (2010) mangatakan bahwa, pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendapat serupa dikemukakan Muslich (2011) bahwa, pendidikan karakter adalah suatu sistem pemahaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dari berbagai pendapat dimaksud menandakan kepada kita begitu pentingnya pendidikan karakter bagi genarasi muda bangsa dari TK, SD, SLTP, SLTA sampai dengan PT, yang mencakup komponen : pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dari implementasi pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa, diperlukan adanya kolaborasi dari level keluarga, Pemerintah dan para stakeholder terkait dalam bidang pendidikan.
Pasalnya keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa merupakan tanggujawab bersama. Hal ini berkaitan dengan pencapaian pendidikan karkater itu sendiri, dimana tidak hanya untuk kepentingan pribadi generasi muda bangsa dan keluarganya semata. Tapi juga untuk kepentingan bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Dimana baiknya kehidupan bangsa dan negara pada waktu yang akan datang, sangat tergantung pada genarasi muda bangsa, yang akan mengambil peran-peran startegis baik itu secara personal dan secara umum di tengah-tengah kehidupan bangsa dan negara.
Secara spesifik Pimpinan Pusata (PP) Muhamadiyah (2009) mengemukakan ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi: 1) religious, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; 2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan;
Selanjutnya 3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan 4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antar peradaban bangsa-bangsa. Ciri-ciri karakter SDM tersebut perlu diimplementasikan oleh generasi muda bangsa, tatkala mereka tumbuh dewasa dan beraktifitas di tengah-tengah kehidupan bangsa dan negara.
Beranjak dari perspektif vital pendidikan karakter tersebut, sebenarnya banyak kalangan yang konsen mengamati implementasi pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa, justru pesimis dengan output dari pelaksanaan pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa. Sebab, dalam pandangan mereka, meskipun pendidikan karakter bagi generasi muda bangsa intens diberikan dari tahun ke tahun, namun tidak berdampak masif terhadap penurunan angka berbagai tindak pidana umum (pidum) : korupsi, penipuan, pencurian, pembegalan, penjambretan, asusila, penganiayaan, narkoba, pencemaraan nama baik, penghilangan nyawa, dan beberapa tindak pidana umum lainnya.
Berbagai kalangan yang konsen mengamati implementasi pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa tersebut lantas bertanya dengan nada pesimis, apakah tidak adanya penurunan berbagai tindak pidana umum tersebut, sebagai bukti dari gagalnya pelaksanaan pendidikan karakter kepada generasi muda bangasa ?. Tentu kita tidak bisa menjawabnya secara simpel bahwa, itu semata-mata karena gagalnya implementasi dari pelaksanaan pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa.
Hingga akibatnya mereka melakukan tindak pidana umum, yang merugikan kepentingan umum. Namun tentunya kita perlu menyadari bahwa terdapat aspek determinen lainnya, yang berdampak pada tindak pidana umum tersebut. Salah satu diantaranya yakni, faktor sosial-ekonomi, dimana orang sampai dengan nekat melakukan tindak pidana umum, karena dililit kemiskinan. Sehingga menyambung hidupnya dengan melakukan tindak pidana umum seperti : mencuri, menjambret, membegal, mencopet, dan menipu.
Kendati demikian, ditengah pesimisme berbagai kalangan yang konsen mengamati implementasi pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa tersebut, tentunya kita selaku warga masyarakat tetap memiliki optimisme yang kuat, dengan pelaksanaan pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa. Mekanismenya dengan tetap melaksanaan pendidikan karakter secara holistik dan berkesinambungan kepada generasi mdua bangsa. Hal ini diikuti dengan proses evaluasi secara serius, sehingga pada akhirnya pelaksanaan pendidikan karakter kepada generasi muda bangsa dapat berhasil dengan baik.
*** Penulis adalah Staf Dosen Fisipol, Universitas Pattimura