Oleh:
Harmin Samiun

SABUROmedia — Akhir akhir ini banyak berita bersileweran dibeberapa beranda media sosial yang memberitakan salah satu anggota fraksi Golkar komisi XI DPR RI yang mengusulkan kasino sebagai salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP) saat rapat kerja dengan jajaran direktorat jenderal anggaran kementerian keuangan 12 Mei 2025.

Pandangan bersangkutan mengkaitkan dengan negara teluk Uni Emirat Arab yang membuka layanan kasino untuk meningkatkan pendapatan negara. Usulan itu menuai kritik dari beberapa warga net termasuk majelis ulama Indonesia ( MUI) bidang dakwah dan ukhuwah menolak keras usulan tersebut, dengan satu alasan argumen bahwa kasino tak dibenarkan dalam konteks hukum dan norma yang berlaku di Indonesia.

Tentu penolakan itu sangatlah mendasar, sebab Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi tegaknya nilai nilai sosial dan agama di tengah intentitas masyarakat yang majemuk. Walaupun usulan dimaksud belum direspon positif oleh kementerian terkait selaku pengambil kebijakan penuh dalam pemerintahan.

Namun publik menangkap bahwa hal itu merupakan sinyal yang disinyalir membuka ruang bagi munculnya bibit atau embrio kejahatan sosial serat dengan tindakan amoral yang kontras dengan norma etika keagamaan yang menjunjung tinggi nilai kebaikan di tengah masyarakat.

Pembukaan kasino di ruang publik memantik penyalahgunaan harta yang dimiliki seseorang untuk digunakan pada jalur yang tak tepat.

Moral Kebangsaan Di Tengah Dinamika Politik

Islam yang menjunjung tinggi kehormatan jiwa dan harta serta mengatur urusan pemanfaatan harta agar tak salah digunakan. Sebab ada batas syariat yang mensyaratkan seseorang untuk tak terjebak dalam tindakan perjudian dan semacamnya. Hal itu sangat konsederan dengan penjelasan ayat.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.( Q.S Al-Maidah:90).

Kehadiran negara dalam panggung kekuasaan secara normatif mengatur urusan hak privasi pribadi seseorang dengan keyakinan agamanya agar tak terjebak dalam sekularisme politik yang amoral.

Pasal 29 ayat 1 dan 2 menjadi instrumen negara untuk menjunjung tinggi moralitas bernegara dalam setiap pengambil kebijakan yang dilahirkan dalam panggung kekuasaan baik dalam birokrasi pemerintahan eksekutif maupun dunia parlemen.

Dengan ini pemerintah punya kewajiban untuk memproteksi dan mengidentifikasi sumber pendapatan negara yang dianggap layak dan tepat sesuai potensi sumber daya alam yang dimiliki dan dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kaidah norma hukum dan keagamaan. Kiranya DPR RI sebagai mitra eksekutif harus memberikan masukan yang konstruktif terhadap sumber penerimaan negara kepada pemerintah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dikelola kader_kader bangsa sesuai spesifikasi bidang ilmu yang dimiliki sebagai bagian dari pemberdayaan ekonomi yang berasaskan spirit gotong royong dan keluargaan. Hal itu sangat relevan dengan amanat konstitusi tepatnya pasal 33 UUD ’45.

Kehadiran negara dalam instrumen kekuasaan yang dijalankan oleh presiden bersama jajaran kabinet pemerintahan di dalamnya memiliki kewajiban secara mutlak untuk menjaga, melindungi dan menggunakan sumber daya alam tersebut dengan sebaik-baiknya serta mengedepankan sikap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam dimaksud agar kemiskinan, ketimpangan sosial dan sikap disintegrasi bangsa dapat terhindar dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Di tengah efesiensi anggaran dari setiap kementerian dan lembaga imbas dari tata kelola bernegara tak mengindahkan kaidah norma yang berlaku menjadi pintu masuk bagi oknum tertentu terjebak dalam pragmatisme sempit bermuara pada penyalahgunaan jabatan yang berindikasi adanya korupsi dan semacamnya.

Tindakan yang demikian patut disesalkan sebab mencederai etika dan moral kebangsaan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi tegaknya supermasi hukum yang berkeadilan. Maka pemerintahan dan parlemen memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga eksistensi etika sosial yang berlaku dengan tak mencampuri urusan pendapatan negara dengan segmentasi politik culas menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sumber penerimaan negara yang dirasa inkonstitusional.

*** Penulis adalah Staf Pengajar SMP Cendekia Ambon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *