Oleh :
Dr. M. J. Latuconsina., S.IP., MA
“ Sejarah adalah suatu perjanjian di antara orang yang sudah meninggal, mereka yang masih hidup, dan mereka yang belum dilahirkan.”
SABUROmedia — Ungkapan kontemplatif historic ini merupakan qoutes dari Edmund Burke (1729-1797), seorang penulis berkebangsaan Irlandia, yang dikenang sebagai pelopor filosofis konservatif modern. Qoutesnya ini, relevan dengan ulasan buku ini. Pasalnya mendeskripsikan sejarah yang ditulis para sejarawan (historian), tentang dinamika kidupan orang-orang di masa lampau, yang telah tiada dari aspek sosial, politik dan ekonomi. Konteksnya, sebagai sebuah komparasi kehidupan di masa lampau dan di masa kini.
*
Membaca judul ulasan buku ini, pikiran kita melayang-layang ke masa lampau, tatkala kawasan yang bernama Boven Digoel menjadi kamp konsentrasi di era Pemerintahan Hindia Belanda, yang letaknya di Papua bagian selatan, tepatnya ditepi Sungai Digul hilir. yang beroperasi sejak tahun 1927 hingga tahun 1947. Pemerintah Hindia Belanda menggunakannya untuk menahan ribuan orang-orang di Nusantara, yang sebagian besar adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), para nasionalis yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia bersama keluarga mereka. (Wikipedia,2025).
Judul buku ini pada mulanya berbahasa Belanda : ” De vlinders van Boven Digoel : verboren verhalen over kolonialisme ”, yang ditulis oleh Alicia Schrirkker, dimana untuk pertama kali diterbitkan oleh Uitgeverij Prometheus, Amsterdam di tahun 2021 lalu. Kemudian diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo dalam bahasa Indonesia di tahun 2024 lalu, dengan jumlah halaman xxi+342. Adapun judul karya histografi ini dalam bahasa Indonesia yakni : “ Kupu-Kupu Boven Digoel ”
Meskipun judul buku ini adalah “Kupu-Kupu Boven Digoel”, ternyata tidak seluruh konten dari karya histografi ini mendeskripsikan secara komprehensif tentang kamp konsentrasi di era Pemerintahan Hindia Belanda tersebut. Namun pada penghujung karya histografi ini, hanya sedikit mengisahkan tentang kamp pembuangan di era kolonial Belanda tersebut. Hal ini membawa kita untuk mengetahui sisi gelap, dari kamp pembuangan di ujung paling timur Nusantara pada zamannya tersebut.
Secara global konten buku ini menarasikan kondisi sosial, politik, dan ekonomi Nusantara pada zaman Hindia Belanda. Dimana, jika kita membacanya secara saksama, kita dapat mengetahui secara komprehensif menyangkut dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi Nusantara di era Hindia Belanda kala itu, yang sesuai dengan lokus kejadiannya. Karya histografi ini tatkala dibaca bak sebuah novel sejarah, dimana penulisnya memaparkan tidak terlampau rigit layaknya sebuah karya ilmiah. Melainkan dinarasikan secar bersahaja, sehingga mampu dipahami secara mudah oleh khalayak pembaca.
Terdapat 12 pemaparan dalam karya histografi dari pengajar senior dan Direktur Riset di Leiden University Institue for History di Negeri Belanda. Ke-12 pemaparan itu yakni : 1) Garis Kolonial di Dalan Keluarga, 2) Para Raja Kulit Putih di Tengah Rimbah, 3) Sebuah Dunia yang Berbeda, 4) Bayang-Bayang Januari, 5) Penculikan Tapan dan Changa, 6) Korban Keserakahan dan Tirani yang Malang, 7) Kebiasaan Lama dan Ide-Ide Baru, 8) Ke Mana Sekarang Engkau Ingin Pergi ?, 9) Celana Garis-Garis dari Amurang, 10) Anak-Anak Banjarmasin, 11) Pake Terselubung, dan 12) Kupu-Kupu dari Boven Digoel.
Karya histografi ini, tentu bukan merupakan suatu karya fiksi, melainkan sebuah karya yang berangkat dari fakta sejarah masa lampau. Tapi bagi para khalayak pembaca, tentu memiliki catatan kritis. Hal ini berkaitan dengan penulisnya yang berkewarganegaraan Belanda. Sehingga narasi histografinya dengan cara pandang Belanda. Hal ini yang berbeda dengan deskripsi sejarah Nusantara, yang ditorehkan oleh Sartono Kartodirdjo (1921-2007). Ia dikenal karena upayanya untuk menulis sejarah Indonesia dengan cara pandang Indonesia sendiri, bukan hanya dari perspektif Eropa (Belanda).
Dalam disertasi Sartono berjudul : “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia.” Karya ilmiah, yang ia buat untuk meraih gelar doktoralnya di Universitas Amesterdam Belanda dinilai banyak orang sebagai jembatan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Sartono menganggap bahwa, disertasinya merupakan bentuk protes terhadap penulisan sejarah Indonesia yang konvensional dan Neerlandosenteris.(Wikipedia, 2025).
Terlepas dari, meskipun terdapat catatan kritis dari para khalayak pembaca, menyangkut dengan karya histografi Alicia Schrirkker. Pasalnya karya histografi ini dinarasikan dengan cara pandang Belanda. Namun perlu disimak oleh para khalayak pembaca, yang gemar membaca karya histografi dengan cara pandang Indonesia. Hal ini menjadi komparasi untuk karya histografi dari sudut penulisan Belanda dan Indonesia. Disanalah akan menjadi jembatan sejarah (historical bridge), untuk saling melengkapi satu sama lain. Karya histogarfi dari Alicia Schrirkker ini menarik dibaca bagi para khayalak pembaca, yang gemar membaca histografi Nusantara dari sisi dinamika sosial, politik dan ekonomi di era Pemerintahan Hindia Belanda.
*** Penulis adalah Staf Dosen Fisipol Universitas Pattimura