Oleh : Chazali H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS)
SABUROmedia, – Hari-hari ini, di berbagai media, diberitakan bahwa ada sekurangnya 6 daerah Kabupaten/Kota pengajuan PSBB-nya ditolak Menkes, dr.Terawan karena belum memenuhi syarat.
Dalam suasana wabah covid-19 yang semakin menggila sejak 2 minggu terakhir ini, tentu berita penolakan tersebut, mengkhawatirkan masyarakat. Apakah dengan penolakan itu, virusnya akan berhenti bergerak cepat di wilayah Kabupaten/Kota tersebut?. Apakah dengan ditolaknya usulan PSBB, jumlah kasus atau yang mati masih sedikit, dan dana pemda tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduknya, lantas dibiarkan saja, sampai jumlah kasus dan atau mati meningkat dengan cepat. Apakah kondisi itu tidak masuk kategori terlambat?.
Dalam catatan kami ada 6 daerah ang ditolak, di antaranya, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur yang ditolak PSBB pada 11 April; Kota Sorong, Papua Barat dan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada 12 April. Kabupaten Fakfak, Papua Barat, juga mendapat penolakan pengajuan PSBB yang dilakukan pada 14 April. Kemudian ada pula Kabupaten Boolang Mangondow, Sulawesi Utara yang ditolak pada 15 April; dan Kota Gorontalo, yang ditolak pada 19 April.
Dijelaskan, dasar penolakan dari Menkes dr. Terawan Agus Putranto adalah karena kejadian penyebaran virus corona dienam daerah tersebut belum separah daerah lain yang telah menerima status PSBB.
“(Pengajuan PSBB) ditolak karena tidak memenuhi aspek epidemiologi dan aspek lain,” tutur Terawan dalam keterangannya
Segala ketentuan untuk mengajukan PSBB diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 9/2020 tentang Pedoman PSBB, dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Kriteria PSBB diatur dalam Pasal 2 Permenkes 9/2020. Yang mana dijelaskan, daerah yang bisa ditetapkan status PSBB adalah daerah dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat, dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah.
Selain itu, daerah bisa ditetapkan PSBB jika terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
PSBB berpotensi gagal
Jika pendekatan pemerintah pusat seperti yang ditunjukkan Menkes dr.Terawan yang menurut UU 6/2018, diberikan mandat untuk melaksanakan UU tersebut , menurut Pasal 2, Kekarantinaan Kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan: perikemanusiaan; manfaat; pelindungan; keadilan; nondiskriminatif; kepentingan umum; keterpaduan; kesadaran hukum; dan kedaulatan negara. Apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan asas dimaksud?.
Apakah alasan kasus sedikit atau yang mati belum banyak, tidak perlu diterapkan PSBB, sedangkan kabupaten sekitarnya sudah ada yang terinfeksi, dan karena wilayah terbuka, potensi ODP atau PDP nya sudah diketemukan, tetapi APBD nya kecil sehingga tidak cukup uang menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya, dibiarkan sampai kasus atau angka kematian meningkat. Apakah tidak melanggar asas perikemanusiaan; pelindungan; keadilan; nondiskriminatif; dan keterpaduan.
PSBB itu prinsipnya, memutuskan rantai penularan karena kontak antar manusia. Mobilitas masyarakat tidak mengenal batas wilayah, dan dia sendiri juga tidak tahu membawa virus atau tidak, karena umumnya tanpa gejala di tahap awalnya. Strategi utama adalah mencegah kontak antar manusia dalam jangka waktu masa inkubasi virus yaitu 14 hari.
Jika daerah yang masih sedikit kasus, lebih mudah melakukan PSBB-nya. Dapat dengan mudah dilakukan tracing, sehingga upaya pencegahan lebih efektif. Lebih sulit menegakkan PSBB di wilayah yang sudah menjadi zona merah atau bahkan menjadi epicentrum seperti DKI Jakarta.
Seperti yang dikatakan dr.Pandu Riono, MPH, Ph.D ahli epidemiologi dari FKM UI, PSBB itu harus berskala nasional. Karena sudah pandemi dan kecepatan penularannya luar biasa, jika secara nasional dilakukan PSBB, maka setiap Kab/Kota bisa dikunci pergerakan manusia secara simultan dan terintegrasi untuk jangka waktu 14 hari.
Setelah 14 hari, secara berlahan dapat dilakukan pelonggaran wilayah Kab/Kota yang sudah dinyatakan terkendali, dan kasusnya menurun.
Jika sejak awal strateginya dilakukan secara nasional, tidak model menunggu usulan daerah, upaya pengendalian wabah dapat lebih terkontrol, dan tenaga medis di RS dapat melakukan pelayanan perawatan dan penanganan dengan maksimal sesuai dengan SOP yang ditetapkan dalam protokol kesehatan WHO.
Memutuskan mata rantai penularan antar manusia merupakan kunci keberhasilan mengatasi covid-19. Pelayanan medis lebih pada upaya menyembuhkan bagi yang sempat terinfeksi.
Jika model memutuskan rantai itu, melalui mendaftar, di teliti, kurang lengkap di tolak, diperbaiki lagi. Ada yang ditolak, tidak mengajukan lagi, sepertinya kita sedang bermain srimulat dengan virus corona.
Kelihatannya para penyelenggara negara di Republik ini, sedang asyik menonton permainan srimulat itu, sambil menikmati hidangan yang disajikan para panglima talam. (**)