Oleh :
ABDULLAH HITIMALA., S.Pi
SABUROmedia — Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pemilu merupakan salah satu elemen terpenting untuk merawat kedaulatan rakyat, karena meletakkan rakyat sebagai titik tumpuan utama sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Pemilihan umum (Pemilu) pada awalnya dilakukan hanya bertujuan untuk memilih anggota DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, namun setelah Amandemen ke-IV UUD 1945 pada tahun 2002, maka pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), telah disepakati untuk dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Pilpres sebagai bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004.
Di Indonesia sendiri sudah melaksanakan lima kali perhelatan pemilu legislatif dan empat kali pemilu presiden setelah reformasi, yang dimulai dari tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan terakhir pada tahun 2019 yang merupakan penyelenggaraan pemilu serentak pertama yang menggabungkan pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pelaksanaan pemilu 2019 berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Untuk tahun 2024 pemerintah menetapkan pemilu serentak yaitu pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilakukan bersamaan dengan pemilu DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Hal ini sebagaimana tertuang dalam PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Pemilu Umum di tahun 2024 bukanlah ajang perebutan tahta kekuasaan semata namun lebih dari itu adalah dapat memberi pembelajaran dan pengalaman berharga bagi segenap bangsa, sehingga pemilu yang dikehendaki bersama dapat berjalan secara damai dan beradab. Pemilu yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika. Sehingga sirkulasi elite politik dapat berjalan dengan baik dan dapat memberi jaminan agar pemilu tidak saja berlangsung secara jujur dan adil, tetapi juga dapat menghasilkan figur-figur yang kredibel, akuntabel, dan kapabel sehingga dapat menjaga amanah dan kehormatan yang dititipkan dari rakyat kepadanya.
Permasalahan pergantian kekuasaan ini sering menjadi daya tarik dan pesona yang luar biasa. Ketika akan memimpin amat mudah tergoda untuk tidak hanya sekedar berkuasa, namun akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Selain mempunyai daya Tarik yang mempesona, kekuasaan juga cenderung mempunyai apa yang disebut dengan the power to destoy yang dahsyat. Kekuatan rusak kekuasaan dapat melampaui norma-norma yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis, ras, ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi merebutkan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etika; nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakan kekuasaan. Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap oleh Lord Acton, seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, bahwa, power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.
Pemilu sudah dianggap sebagai ukuran demokrasi karena rakyatlah yang mempunyai kedaulatan tertinggi dalam menentukan sikapnya sebagai wujud atas pemenuhan hak-hak konstitusionalnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilu dapat diejawantahkan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih figurnya untuk duduk di legislatif, dan dalam struktur eksekutif.
Diharapkan pada Pemilu serentak 2024 dapat menjadi agenda transisi demokrasi, sehingga diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota legislatif, agar tidak boleh terjebak dalam game politik yang oportunity, terkhusus dalam memperjuangkan agenda subjektif masing-masing. Orientasi yang sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh, oleh karena itu, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum yang merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana perwujudan demokrasi yang menyeluruh.
Tiga problematika dan tantangan pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024 yaitu :
Efek dan Risiko Penyelenggara Tingkat KPPS
Kondisi ini pada akhirnya membutuhkan rasionalisasi dimana bisa saja dilakukan upaya untuk memajukan jadwal pemungutan suara pemilu legislatif, tidak harus pada April 2024, namun bisa maju satu bulan.
Sementara itu problem ketiga juga tidak kalah pentingnya, yakni menyangkut problem beban berat bagi penyelenggara pemilu yang harus menyelenggarakan pemilihan dengan tujuh jenis pemilu pada tahun yang sama (2024), yakni pemilihan presiden, pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan akan dilanjutkan dengan Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Walikota/Bupati.
Berkaca pada Pemilu 2019 yang semestinya dipertimbangkan, ketika faktor kelelahan dan sakit bawaan, berdasarkan data terdapat 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.157 petugas KPPS sakit. Oleh sebab itu untuk menghadapi pemilu serentak 2024, sebaiknya dalam perekrutan badan ad hoc (PPK, PPS, Pantarlih, dan KPPS) perlu diperhatikan syarat minimalnya harus di bawah 50 tahun.
Strategi Penyaluran Logistik
Penyaluran logistik yang berkaitan dengan masa kampanye yakni 75 hari. Waktu kampanye yang hanya 75 hari ini tentu membutuhkan pencermatan Penyelenggara Pemilu agar proses distribusi alat peraga dan jadwal kampanye dapat terselenggara dengan adil bagi seluruh peserta pemilu. Belum lagi kalau ada sengketa calon yang akan memengaruhi jadwal produksi logistik sampai distribusinya.
Penyaluran logistik dapat berjalan dengan baik ketika tidak adanya kekurangan personel terutama aparatur di bagian logistik yang jumlahnya hanya sekitar 10 orang. Profesionalisme dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang paling fundamental dalam mewujudkan pemilihan umum yang demokratis di negara seperti Indonesia.
Oleh karena itu, keinginan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dapat tercapai apabila penyelenggara pemilu memantapkan nilai-nilai profesionalisme dan etika. Begitu juga sebaliknya, jika penyelenggara pemilu menerobos aturan dan nilai-nilai profesionalisme dan etika, maka dapat berpotensi menghambat terwujudnya pemilu yang demokratis.
Berdasarkan fenomena sosial yang terjadi di lapangan, menunjukkan banyak anggota penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar etika dengan bersikap dan bertindak kurang profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal ini didasari dari Bawaslu (Laporan Kinerja, 2019). Merujuk pada keseluruhan indeks di tingkat provinsi, rata-rata pengaruh terbesar kerawanan Pemilu 2024 nanti adalah penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil serta terkait dimensi kontestasi.
Dengan adanya kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga perlu adanya pengawasan yang intens dan peningkatan kinerja mereka dalam penyelenggaraan pemilu proses yang dilakukan merupakan tahapan pendewasaan institusi penyelenggara pemilu tidak sekejap mata dapat melakukan penyelenggaraan pemilu dengan label yang sempurna. Dibutuhkan proses yang bertahap dan waktu penyesuaian yang terjadwal dan sistematis.
Penataan Daerah Pemilihan (Dapil) DPRD Kab/Kota
penataan daerah pemilihan (dapil) Anggota DPRD kabupaten/kota pada pemilihan umum tahun 2024 harus sejalan dengan semangat perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Penataan dapil harus sejalan dengan UU No 7 Tahun 2017 yang di dalamnya terdapat 7 prinsip penataan dapil. tujuh prinsip penataan dapil yang dimaksud adalah kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas penduduk dan prinsip kesinambungan berdasarkan pada prinsip kesinambungan, maka dapil yang sudah terbentuk pada tahun 2019 lalu dapat dipertahankan komposisinya.
Kecuali dapil tersebut sudah tidak lagi memenuhi prinsip-prinsip penataan dapil, atau terdapat penambahan atau pengurangan jumlah kecamatan, adanya perubahan jumlah penduduk yang mengakibatkan berubahnya alokasi kursi dapil menjadi lebih dari 12 atau kurang dari 3 dan atau sebab atau alasan lain dengan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang terpenting adalah penyederhanaan ini salah satunya adalah meringankan biaya pemilu. penataan dapil itu bukan untuk menyempitkan dapil terlalu kecil, karena akan memangkas representasi dan profesionalisme. Namun jika terlalu lebar juga memiliki masalah dengan biaya politik yang tinggi. Penataan dapil ini memang sangat penting, makanya perlu dirumuskan hal yang prinsip di dalam terbentuknya dapil ditingkat kabupaten/kota.
*** Penulis adalah Aktifis Himpunan Mahasiswa Islam dan Mantan Ketua Umum Hipma Nusa Puan