Oleh :
Tammat R. Talaohu
SABUROmedia — Tulisan saya kali ini merupakan rangkaian dari agenda Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) yang melaksanakan diskusi publik dengan tema; “ Memperkuat Sinergi Untuk Mendorong Momentum Pemulihan Ekonomi,” pada Senin (31/10/2022). Tulisan ini menjadi ikhtiar untuk ikut memperkuat momentum pemulihan sebagaimana dimaksud dalam judul di atas, dengan lokus kajian pada daerah berciri kepulauan. Ini terutama karena ISEI Cabang Ambon dipercayakan menjadi tuan rumah dari diskusi bertaraf nasional ini. Selain itu, umumnya daerah berciri kepulauan atau provinsi kepulauan rentang kendalinya jauh dari pusat kekuasaan negara. Ini sekaligus menjadi indikasi bahwa dari aspek kebijakan daerah-daerah dimaksud belum menjadi prioritas. Aspek lainnya adalah selama ini provinsi kepulauan telah menjadi kantong kemiskinan terbesar dan masih tertinggal dibanding daerah lain yang berciri daratan.
Momentum pemulihan yang dimaksudkan adalah ketika ada perlakuan yang berimbang dan proporsional serta tidak memperlakukan secara sama strategi pembangunan antara daerah kepulauan dan non-kepulauan. Topik ini harus tetap diperkuat karena semangat desentralisasi yang diadopsi sejak reformasi 1998, toh tidak membawa Maluku dan daerah kepulauan lainnya, ke taraf perbaikan yang semestinya. Meski kita akui bahwa perubahan dan kemajuan itu memang ada, tapi tidak dalam kecepatan yang kita kehendaki. Maluku sudah terlalu lama tidak beranjak dari statusnya sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Karenanya, setelah puluhan tahun kebijakan otonomi daerah diadopsi, kita harus terbuka untuk menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan penerapan otonomi daerah selama ini.
Dalam bukunya, Jalan Tengah Desentralisasi Bagi Daerah Otonom Berkarakteristik Kepulauan di Indonesia, Petrus Polyando (2020), menemukan beberapa catatan tentang sebab kegagalan penerapan otonomi di daerah berciri kepulauan: Pertama, basis konstitusi yang digunakan sebagai kerangka politik dan kerangka hukum, yang digunakan dalam perumusan kebijakan desentralisasi secara eksplisit belum mengakomodasi pengakuan akan karakteristik wilayah negara yang berciri kepulauan. Dalam hal ini, kita bisa membandingkan kedudukan pasal 1 UUD 1945 (bentuk negara kesatuan), pasal 18 UUD 1945 (level pemerintahan), dan pasal 25 A UUD 1945 (tentang kewilayahan). Kedua, kondisi lingkungan sosial politik yang belum fokus dan stabil memperhatikan keragaman daerah sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan desentralisasi yang cenderung sama. Dalam hal ini, penyerahan wewenang dari pusat ke daerah tidak berdasarkan kategorisasi atas kondisi geografis daerah seperti halnya daerah kepulauan dan non-kepulauan. Ketiga, parameter penyerahan kewenangan yang digunakan selama ini cenderung menghasilkan besaran maupun jumlah urusan yang sama antarlevel pemerintahan yang sama sehingga berdampak pada kebutuhan daerah otonomi kepulauan terhadap beberapa kewenangan spesifik untuk mengelola daerahnya, belum terakomodasi secara gamblang. Keempat, model organisasi pemerintahan di daerah otonom berkarakteristik kepulauan yang dibentuk belum menjadi wadah yang ideal menjalankan fungsi pemerintahan yang dibutuhkan di daerah kepulauan. Keterbatasan kemampuan perumus kebijakan lokal dalam merumuskan organisasi perangkat daerah sehingga pembentukan organisasi selalu merujuk pada pedoman pusat. Kelima, keterbatasan SDM pelaksana tekhnis, manajerial dan pengambil kebijakan politik daerah sangat menyulitkan pelaksanaan kebijakan desentralisasi di lapangan. Keenam, pengelolaan sumber daya ekonomi daerah kepulauan belum menggali potensi lokal lainnya. Daerah masih memfokuskan sektor primer sebagai prioritas sumber penghasilan sementara sektor sekunder dan tersier belum dijadikan skala prioritas. Hal ini ditambah dengan perubahan regulasi yang berdampak pada pasang surut pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan dalam mengelola potensi lokal. Akibatnya pengelolaan wilayah menjadi tidak fokus. Ketujuh, hubungan eksternal antar daerah otonom kepulauan dengan lembaga supranasional (provinsi dan pusat), yang tercermin dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan belum mendukung administrasi pemerintahan yang efektif dan pengelolaan wilayah berkelanjutan. Mekanisme kerja yang ada sangat meresahkan daerah di mana banyak permasalahan lokal yang dihadapi sulit diatasi oleh daerah mengingat adanya pembatasan kewenangan daerah.
Akibat pendekatan yang tidak tepat di atas, maka beberapa indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa umumnya provinsi kepulauan memang masih tertinggal (Nur Kholis, tempo.co, 2022). Antara lain; jumlah penduduk di delapan provinsi kepulauan sekitar 23 juta jiwa atau 8,37 persen dari total penduduk Indonesia. Data BPS (2022), menunjukan bahwa jumlah penduduk di provinsi kepulauan terus bertambah sepanjang 2010-2021 dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dari dibanding nasional dan provinsi non-kepulauan. Rata-rata pertumbuhan penduduk di provinsi kepulauan sebesar 1,56 persen pada 2011-2021. Sedangkan pertumbuhan penduduk nasional dan provinsi non-kepulauan 1,19 persen. Artinya, perkembangan jumlah penduduk di daerah kepulauan lebih cepat dibanding daerah berbasis daratan.
Tingkat kemiskinan di provinsi kepulauan secara rata-rata lebih tinggi di banding provinsi non-kepulauan. Perbedaannya rata-rata mencapai 0,66 persen pada 2010-2022. Begitu juga dengan data Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang mencerminkan dimensi kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup layak. Rata-rata IPM di provinsi kepulauan lebih rendah dibanding provinsi non- kepulauan. Perbedaannya mencapai 0,98 pada 2010-2021. Penyebab utama rendahnya IPM di provinsi kepulauan adalah kondisi pendidikan (rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah) serta rendahnya daya beli masyarakat. Sementara dari sisi keuangan daerah, daerah kepulauan, terutama kabupaten/kota kepulauan, memiliki ketergantungan yang lebih tinggi terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Kebutuhan daerah kepulauan untuk belanja modal lebih besar dibandingkan daerah non-kepulauan.
Aspek lainnya yang ikut menentukan ketertinggalan provinsi kepulauan adalah posisi kepala daerah. Dalam hal ini Gubernur yang lebih memposisikan dirinya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah ketimbang sebagai pimpinan masyarakat daerah, tempat dimana ia telah dipilih dalam Pilkada langsung. Akibatnya, Gubernur telah “dipaksa” untuk lebih mengalah guna mengakomodir kebijakan pemerintah pusat ketimbang secara gigih memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah. Dalam kasus ini, di Maluku sebagai contoh, kita bisa menghubungkannya dengan terbengkalainya penerapan Maluku sebagai lumbung ikan nasional serta pembangunan proyek strategis nasional Ambon New Port. Termasuk dalam hal ini adalah berlarut-larutnya tahapan ekplorasi PI 10 persen di Blok Masela.
Pada akhirnya, bagi kita di Maluku, momentum pemulihan ekonomi lebih tergantung pada bagaimana cara pemerintah pusat memperlakukan kita. Dalam hal kebijakan fiskal, misalnya, sudah saatnya pemerintah pusat merevisi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, menyamakan formula perhitungan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus antara daerah kepulauan dan non- kepulauan hanya akan mengawetkan ketertinggalan daerah kepulauan. Demikian halnya dengan kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang secara sangat terbatas diberikan kepada daerah kepulauan. Tanpa perubahan pendekatan dalam formula kebijakan pembangunan terhadap daerah kepulauan, maka momentum pemulihan ekonomi akan terasa asing bagi kita di Maluku. Bukankah demikian ?
*** Penulis adalah (Wakil Ketua II ISEI-Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia-Cabang Ambon).