Oleh ;

Rusdi Abidin

 

SABUROmedia — Mengenal perbedaan tentang agama bukan hal baru atau karena saya berkesempatan tinggal di Kota Ambon bersama orang tua dan saudara-saudara Saya. Sejak orang tua, kakek, nenek dan bahkan generasi sebelum mereka sudah hidup dalam toleransi di tanah Maluku. Mereka mendiami Pulau Ambon dan Seram sudah beregenerasi jauh sebelum kolonial menginjakan kakinya di Kepulauan Maluku.

Bahkan Ayah Saya sendiri dipelihara sejak kecil dalam keluarga Nasrani Marga Sohilait di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat, karena sejak kecil Ayah saya sudah yatim piatu. Hubungan Ayah Saya dengan keluarga Sohilait karena ketertarikan kepada hasil kebun tanaman patatas milik kakek Saya. Patatas tersebut dibeli dan dijual lagi oleh keluarga Sohilait, Ayah Saya disekolahkan hingga selesai Sekolah Dasar. Tidak berhenti disitu, disematkan marga atau fam Sohilait, juga diberikan lahan dan hasil kebun atau Dusun.

Selesai Sekolah Dasar, Ayah Saya pindah tinggal bersama keluarga Hurasan di Negeri Hitu. Sama persis di Negeri Allang, Ayah Saya disematkan arken marga Hurasan.

Demikian kakek Saya atau Ayah dari Ibu Saya sudah hidup bermukim di Kota Masohi jauh Kota masih hutan belantara, membuka lahan bersama tokoh masyarakat baik tokoh masyarakat Seram maupun yang datang. Termasuk membuka lahan pemukiman masyarakat yang kini bernama kelurahan Lesane. Sejak era itu kakek Saya sudah berdampingan dengan keluarga Nasrani di Kelurahan Letwaru, Negeri Amahai, Negeri Haruru serta Negeri Makariki.

Hidup mereka sudah saling toleransi, saling baku bantu dalam pembangunan rumah ibadah maupun dalam kerja kebun dan bangun rumah. Interaksi hidup orang basudara sudah terbentuk. Itu sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tidak dibuat-buat atau diada-adakan, itu keniscayaan. Keniscayaan talenta untuk hidup berdampingan dalam perbedaan – pluralis, walau itu tidak bisa diucapkan terbuka oleh mereka.

Mungkin mereka tidak mengenal GPM seperti generasi saat ini. Tetapi cara hidup mereka di eranya yang cair berdampingan dengan saudara Nasrani, sesungguhnya juga adalah GPM dalam bahasa pergaulan masyarakat bawah. Juga adalah ungkapan toleransi dengan sikap tindakan, bukan dengan ucapan.

Selamat HUT GPM ke-86, selalu menjadi elemen sipil Maluku yang tumbuh dan tangguh untuk bangsa dan negara.

 

*** Penulis adalah Penggiat Demokrasi PAMOR/ Mantan Aktifis HMI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *