Oleh ;
Rusdi Abidin
SABUROmedia — Selepas dari rezim politik otoriterianis orde baru (orba), sesungguhnya sistem politik dan ekonomi nasional tidak mengalami perubahan berarti. Rezim politik reformasi justru banyak menunjukan kesamaan dengan sistem politik dan ekonomi nasional rezim orde baru, yaitu politik ekonomi otoriterianis yang didukung oleh tiga elemen utama; utang (neo-imperialis), perkoncoan (feodalis dan borjuasi) dan persaingan monopolistik. Tidak ada reformasi ekonomi. Bahkan bisa dibilang kelanjutan dari orde ekonomi otoriterianis. Praktik politik otoriterianis, pada prinsipnya praktik yang mengandalkan modal investasi asing dan bisnis kapital uang sebagai lokomotif pembentukan kekuasaan demokrasi.
Hal itu terindikasi dari prinsip pengelolaan ekonomi nasional yang bertumpu pada utang, sama persis utang pemerintah orba dengan pola pengelolaan utang, dalam artian lebih mencirikan sebagai instrumen politik kekuasaan dan bukan instrumen kedaulatan ekonomi rakyat. Ciri itu yang melahirkan utang yang berjilid-jilid dan berlipat ganda dan tidak dianggap resiko sebagai jebakan politik global dari kapitalis global dan neoimperialis yang disengajakan untuk terpola hubungan ketergantungan politik akut terhadap neoimperialisme. Jadi apa yang dirasakan dari iklim reformasi dalam praktik politik ekonomi demokrasi adalah iklim demokrasi neoliberal orba yang monopolistik yang ditransfer menjadi persaingan kebebasan ekonomi. Bukan kebebasan politik.
Warisan Orba
Walau reformasi sudah berlangsung lebih dari 20 tahun, namun hal yang tidak bisa dinafikan adalah warisan sistem ekonomi politik orba dalam rezim reformasi. Warisan tersebut adalah utang dan watak politik feodalisme. Rezim orba mewarisi utang dalam dua kepemimpinan nasional. Pertama, Soeharto sebesar Rp. 551,4 triliun dengan rasio terhadap PDB mencapai 57,7 persen. Kedua, B.J. Habibie mencapai Rp. 938,8 triliun dengan rasio terhadap PDP 85,4 persen. Sementara watak feodal tercermin pada aktor organisasi politik kekuasaannya, elit militeris, birokrasi dan relasi big bisnis yang melahirkan klas borjuasi nasional.
Dalam rezim reformasi nampak kelanjutan warisan orba yang menonjol ada di era Presiden SBY dan era Joko Widodo. SBY mewarisi utang Rp. 2.608,7 triliun dengan rasio PDB 24,7 persen. Presiden Joko Widodo, sesuai data Kementerian Keuangan per 26 Juni 2021 mencapai Rp. 6.418,5 triliun dengan rasio terhadap PDB mencapai 40,49 persen. Rasio utang tersebut sudah mendekati lampu merah karena resiko kemampuan membayar semakin kecil. Padahal masih ada sisa masa kepemimpinan dua tahun lebih. Sementara kedua Presiden sebelumnya Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, walau juga ada utang tetapi itu hanyalah dampak utang yang ditinggalkan rezim orba. Mereka berdua selain mengalami masa kepemimpinan yang sangat pendek. Juga tidak memiliki akar politik dan bisnis monopolistik dengan orba karena oposisi kritisnya. Berbeda dengan SBY dan Presiden Joko Widodo yang banyak dikelilingi oleh aktor dan borjuasi yang memiliki sejarah panjang dan generasi pelanjut orba.
Warisan orba itu tidak lepas dari keberhasilannya membentuk kekuasaan sentralistik – otoriterianis hasil memboncengi modal investasi asing dan utang kapitalis uang neoimperialisme atau meminjam istilah salah ekonom kritis Paul Baran menjalankan “kapitalisme monopoli” selama 32 tahun. Jika menggunakan cara pandangan kritis terhadap ciri pengelolaan kekuasaan orba dengan sistem pengelolaan ekonomi sentralistik berbasis aliran modal asing dan utang dengan fakta menguat watak feodalis dan keterbelakangan atau keterisolasian daerah maka pada akhirnya dapat dikatakan adalah tatanan kelanjutan dari kolonialisme dan neoimperialisme global. Sebab jelas secara teori imperialis menyatakan “kolonialisme bukanlah suatu kejadian sejarah, melainkan lebih merupakan ekspresi dari akumulasi kapital dalam skala yang makin besar. Asal usul dari apa yang dikenal dari sebagai keterbelakangan (underdevelopment) dapat diketemukan gejalanya pada proses penggabungan wilayah ke dalam ekonomi kapitalis dunia”.
Yang dimaksud dalam teori imperialis tersebut adalah penggabungan wilayah ke dalam proses ekonomi kapitalis dunia, oleh Frank Andre Gunder adalah proses menginkorporasikan wilayah-wilayah atau daerah-daerah terbelakang dalam proses pembangunan ke dalam arus sejarah dunia yang tunggal – modal imperialisme global dengan meminjam aktor-aktor nasionalis dalam negara berkembang menjadi penghubung dengan pusat modal imperialis global. Atau membentuk hubungan pheriperial – satelit dengan centris – metropolis.
Dalam konteks itu, Indonesia tidak lebih adalah negara subordinat dari kedaulatan wilayah modal imperialis global. Karena memiliki ciri wilayah dan watak sosial yang dimaksud dalam katagori imperialisme serta memiliki sejarah panjang inkorporasi kolonialisme eropa. Selain secara antropologis memiliki watak feodalis dan kebiasaan hedonis sehingga dianggap gampang tergiur tawaran konsepsi fordis dalam bantuan dan utang yang datang dari pihak luar. Sudah diketahui bahwa watak dan kebiasaan tersebut tidak memiliki kepekaan – nalar kritis untuk menilai bantuan dan utang beresiko untuk ditindas, dieksploitasi dan dijajah dikemudian hari. Fakta ketergantungan pada utang dan aliran modal investasi asing selama 32 tahun oleh rezim orba plus rezim reformasi menjadi petunjuk kuat masuk terperangkap dalam kurungan neoimperialisme modal global sebagaimana yang dikecam oleh Presiden RI pertama Soekarno.
Padahal seperti diungkapkan Dawam Rahardjo, praktik ekonomi di rezim politik orba sejak tahun 1966 adalah kritik atau antitesis terhadap ekonomi terpimpin Soekarno yang dinilai pelaksanaannya terjerumus kedalam kebiasaan yang menonjolkan unsur terpimpinnya daripada unsur ekonomi yang efisien sehingga dinilai bergerak ke arah etatis (terpusat, serba negara). Dari arah tersebut kemudian ekonomi terpimpin disebut sebagai ekonomi komando dan rezim orba menginginkan digeserkan ke sistem ekonomi pasar (neoliberal) agar mencapai derajat rasional dan efisien.
Tetapi selama 32 tahun rezim orba justru benar-benar mempraktikkan sistem ekonomi komando – sentralistik dan otoriterianis. Ekonomi dikendalikan dari Jakarta. Pusat kekuasaan adalah bandar modal dan anggaran. Peran sebagai bandar karena dukungan politik dalam bantuan modal, utang luar negeri dan investasi asing. Dengan begitu ekonomi komando bekerja mengatur sistem politik, mengendalikan pemerintahan dan dua partai boneka serta mengatur tempratur demokrasi politik sesuai selera kekuasaan. Kebebasan politik sipil diberangus, kebebasan monopoli usaha besar ekonomi – bigbisnis dibiarkan mengurita.
Untuk menopang ekonomi komando, terlihat bagaimana merawat feodalis dan petualang politik. Membangun perkoncoan politik hingga pembentukan kerajaan bisnis dan klas borjuasi nasional. Menempatkan kekuatan militeris dalam pos-pos utama bisnis negara hingga jabatan strategis birokrasi. Memperalat semangat nasionalis untuk meraup kekayaan negara untuk pribadi dan kelompok dengan memboncengi aliran atau invesatasi modal asing dan anggaran serta fasilitas negara untuk tujuan berkuasa dan mempertahankan kekuasaan.
Pola ekonomi komando tersebut yang kemudian nampak diteruskan dalam rezim politik reformasi. Tidak ada antitesis dari rezim politik reformasi, sebagaimana orba mengkritik sistem ekonomi orde lama. Jelas nampak sebagian besar aktor politik, relasi bisnis, teknokratis, mesin birokrasi dari reformasi adalah produk rezim orba yang telah mampan mengumpulkan harta kekayaan plus ajaran berutang kapital uang monopolistik selama 32 tahun dari rezim orba. Bukti atas hal itu setidaknya terlihat dari 48 orang obligor dan debitur BLBI yang berhasil mengambil harta negara dalam bentuk uang senilai Rp 111 triliun (Tempo.co, 26 Agustus 2006). Itu belum termasuk klas borjuasi nasional yang merampok dana talangan Bank Century. Bukti tersebut baru sebagian kecil dari praktik ekonomi komando orba yang membiarkan watak feodal dan neoimperialisme bekerja dalam tubuh ekonomi bangsa.
Utang; Inkorporasi Negara dalam Imperialisme Global
Utang negara yang dikelola oleh rezim orba pada akhirnya menjerumuskannya pada kepemimpinan sentralistik dan otoriterianis. Kritik reduksionis orba terhadap orla atas penerapan demokrasi terpimpin, justru berbalik dipraktikan secara massif dalam bentuk yang menyimpang dan radikal. Ketika rezim orba berkembang pesat secara ekonomi dan perlahan ingin menggeserkan patron modal neoimperialisnenya, maka hukum badai ekonomi alias krisis moneter global yang mengakhiri kekuasaannya sendiri. Hukum badai ekonomi bukan berlaku bagi Indonesia saja, tetapi bagi sebagian besar negara berkembang (negara dunia ketiga) yang berada skema menyusui pada patron modal neoimperalis global.
Konsep pengelolaan politik dan ekonomi negara berbasis utang ala neoimperialisme global yang berhasil menghantarkan rezim orba berkuasa sangat lama, bukan berarti karena kehebatan personal Presiden Soeharto dan menganggapnya jauh lebih berhasil dari Presiden Soekarno. Justru sebaliknya Presiden Soekarno jauh lebih memahami menghadapi situasi global dan keadaan bangsa yang terjajah. Soekarno lebih banyak memiliki informasi dan pengetahuan sepak terjang tentang kolonialisme dan imperialisme termasuk pengaruhnya terhadap kemerdekaan Indonesia dan sejumlah negara-negara berkembang sesaat pasca perang dunia II. Sehingga tidak mudah menerima tawaran mengiurkan dari penguasa kapital uang dan modal investasi global. Derajat hubungan politik luar negeri dikendalikan secara bebas, mandiri dan berwibawa dengan negara-negara besar penguasa modal. Demikian pula sesama negara bangsa yang baru merdeka.
Sebagai tokoh pergerakan nasional, tentu memiliki informasi yang akurat tentang pergolakan politik dunia dari negara-negara besar sekutu blok kapital yang berencana menguasai negara-negara bangsa yang baru merdeka dengan skema utang kapital uang neoimperialisme. Sebab setahun sebelum kemerdekaan Indonesia, telah dilangsungkan Konferensi Bretton Woods yang diprakarsai Presiden AS Frankiln Delano Roosevelt dan diarsiteki Harry Dexter White (mata-mata Soviet) dan ekonomi AS terkemuka John M. Keynes. Konferensi yang dilaksanakan pada Juli 1944 dihadiri oleh 44 negara sekutu. Hasil dari konferensi tersebut membentuk lembaga kembar keuangan dunia Monetary Fund (IMF) dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang kemudian menjadi Bank Dunia (World Bank) untuk menyokong pembangunan negara bangsa yang merdeka pasca perang dunia II, dan rencana pembentukan PBB atau kelompok negara anti-axis.
Namun dibalik misi pendirian lembaga kembar keuangan dunia tersebut terselib motif menciptakan kartel perbankan yang terdiri Bank Sentral milik pribadi, yang nantinya dioperasikan secara bertahap untuk mendikte kebijakan kredit bank dan penyaluran bantuan keuangan di semua bangsa. Motif itu seiring keberhasilan dari kelompok penguasa kapital uang di AS mengolkan UU Federal Reserve pada tahun 1913. Rencana mengendalikan dunia dengan bisnis uang oleh kelompok penguasa kapital uang sebagai kelanjutan imperialisme global dengan memperalat pemimpin negara maju – negara sekutu tentu informasinya terhendus di kalangan tokoh nasionalis. Itu sebabnya elit nasional tidak gegabah mengambil pilihan kerjasama luar negeri secara ekonomi dengan blok sekutu yang didukung oleh kelompok penguasa kapital uang. Seiring tidak adanya pengakuan internasional dari blok negara sekutu tersebut atas kemerdekaan Indonesia.
Situasi tersebut dan rencana neoimperialisme tentu tidak bisa dihadapi dengan pemikiran standar, selain penguasaan pengetahuan, wawasan luas dan keyakinan atas suatu perjuangan nasional. Diakui atau tidak, itu yang dimiliki oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Kemampuan dan keberaniannya bersikap pada politik imperialisme global termasuk terhadap ancaman perang. Salah bukti sikap tersebut misalkan, keberaniannya mengeluarkan keputusan, menyatakan uang NICA (golden) ilegal dan menariknya dari peredaran hanya dalam kurun waktu dua bulan lebih setelah kemerdekaan, 2 Oktober 1945. Lalu setahun kemudian 3 Oktober 1946 mengedarkan mata uang rupiah (Rp) dengan nilai satu rupiah setara 0,5 gram emas.
Padahal jika Seokarno mau bertindak dengan memanfaatkan jabatan presiden untuk menerima utang dan modal investasi sebesar-besarnya dari kelompok kapital uang global itu, jauh melampaui kemampuan rezim orde baru maupun orde reformasi. Tapi itu tidak lakukannya, karena menyadari mental bangsa belum siap. Soekarno dan Mohammad Hatta paham ada resiko besar dari pemberian utang dan modal investasi asing. Itu bukan berarti Soekarno anti utang dan investasi asing. Tetapi karena dibalik utang kapital uang dan aliran investasi asing penuh dengan motif melanjutkan kolonialisme dan neoimperialisme global dengan memperalat negara-negara sekutu. Itu berarti negara hidup dalam ketergantungan utang dan kemerdekaan tidak ada gunanya.
Bahwa pilihan rezim politik orba untuk memimpin dan mengendalikan kekuasaan pasca Soekarno berbasis utang dan investasi asing kelompok penguasa kapital uang global kelak beresiko besar bagi negara dan bangsa sangat mungkin disadarinya. Demikian terhadap cara yang dilakukan akan diwarisi dan diikuti oleh generasi penerus. Sebagaimana nampak pada rezim politik reformasi. Kekuasaan politik berbasis utang kapital uang menjadi ciri utama dari demokrasi neoliberal atau demokrasi pasar. Ciri tersebut dijawab pola kekuasaan otoriterianis untuk memuluskan kepentingan penguasa kapital uang. Kebebasan warga sipil dibatasi dan kebebasan persaingan monopolistik dirawat. Sebelum dan diawal memimpin sikap dan kebijakannya sangat populis, tetapi di tengah kepemimpinan menjadi anti populis dan kebebasan (otoriterian) serta diakhir periode kembalinya menjadi ramah dan pro keadilan. Siapa pun dia ketika mengambil pilihan memimpin dengan bergantung pada utang kapital uang maka pola kepemimpinnya berada seperti di atas.
Cara berutang kapital uang untuk menjadi pemimpin nasional saat ini telah menyatu dalam sistem demokrasi nasional. Sebab mereka (elit nasional) yang memprakarsai cara tersebut telah mengintegrasikan diri ke dalam “borjuasi internasional” yang menjadi transnasional kernel (kelompok inti) dan proses internasionalisasi pasar dalam negeri. Mereka menumbuhkan kapitalisme negara dan kapitalisme lokal yang merupakan bagian dari kapitalisme global (penguasa kapital uang). Hal tersebut menggambarkan lebih jauh mereka telah menginkorporasikan negara ke dalam sistem kapitalisme global dengan akibat terjadi deformasi struktural berupa; pemasukan teknologi yang tidak cocok dengan kebutuhan tenaga kerja dalam negeri. Distorsi dalam alokasi sumber-sumber untuk memproduksi barang-barang sekunder yang menyimpang dari kebutuhan rakyat banyak. Hambatan terhadap pemupukan modal swadaya dan mandiri. Marginasisasi produsen dalam negeri dan penyisihan sebagian konsumen yang tak mampu membeli produksi. Dari situ mereka melakukan penyesuaian istilah imperialisme dengan stagnasi, untuk tujuan rakyat bisa menerima kebijakan yang diambil.
Sistem Ekonomi Nasional
Kita hanya mengenal dua konsep model sistem ekonomi nasional pasca kemerdekaan hingga saat ini. Sistem ekonomi yang digerakan secara terpisah atau juga bisa dikatakan dikombinasikan mengikuti pola dan arah kepemimpinan serta sistem politik nasional. Pertama, sistem ekonomi terpimpin dan kedua, sistem ekonomi pasar (neoliberal). Sacara historis sistem ekonomi terpimpin dimulai pasca kemerdekaan 1959 – 1966. Sementara sistem ekonomi pasar kita anut dari 1966 sampai saat ini.
Walau sistem ekonomi terpimpin tidak sepopuler “demokrasi terpimpin” dan berumur pendek bersamaan dengan berakhirnya kepemimpinan Presiden Soekarno, namun sistem ekonomi itu bukanlah sekedar jargon politik dari pemimpin nasional. Sistem ekonomi terpimpin bagian jalan mencapai cita-cita revolusi bangsa dengan berupaya melepaskan watak ekonomi eksploitatif, penghisapan dan neoimperialisme yang masih hidup dalam tubuh bangsa indonesia. Karenanya boleh dikatakan antitesis atas teori liberal imperialisme. Konsep ekonomi terpimpin dideklarasikan yang dikenal dengan deklarasi ekonomi 28 Maret 1963. Disebutkan rumusan tujuan ekonomi terpimpin adalah “menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokrasi yang bersih dari sisa-sisa feodalisme dan mencapai tahap-tahap ekonomi sosialis Indonesia tanpa adanya penghisapan manusia oleh manusia”. Ekonomi sosialis Indonesia mendasar pada suatu tindakan keberpihakan pada kebangsaan dan kerakyatan untuk mencapai derajat kemanusiaan dan keadilan sosial sebagai inti dari rumusan pandangan Pancasila.
Jika melihat proses dimulainya ekonomi terpimpin, kita bisa menarik konklusif bahwa proses tersebut dimulai ketika Pemimpin Nasional Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang pembubaran konstituante dan kembali pada UUD 1945. Artinya 14 tahun (1945 – 1959), elit politik terlibat dalam perselisihan politik nasional yang tidak selesai dan tidak membawa dampak berarti bagi arah dan orientasi pengelolaan ekonomi nasional pasca kolonialis. Walau begitu 4 tahun kemudian barulah konsep sistem ekonomi terpimpin lahir dan usianya hanya 2 tahun.
Sepintas secara politik tidak ada bedanya diksi terpimpin dan otoriterianis. Sebab keduanya bermakna terpusat, terkomando sentralistik – etatisme. Namun secara konsepsional makna keberpihakan ekonominya berbeda. Ekonomi terpimpin bukanlah ekonomi terpusat atau komando yang menafikan kebebasan sipil. Tetapi upaya mengarahkan suatu tatanan masyarakat bangsa untuk mencapai suatu tindakan ekonomi mandiri atau berdikari. Jelas itu ditunjukan dalam rumusannya untuk memberikan jawaban fungsional dari konstitusi yaitu “upaya membersihkan dari sisa-sisa feodalisme dan mencapai tahap-tahap ekonomi sosialis Indonesia tanpa adanya penghisapan manusia oleh manusia”.
Karenanya dipilih diksi terpimpin, yang bermakna dituntun, diarahkan. Pilihan itu bukanlah tanpa alasan, karena keadaan bangsa yang baru merdeka dari jeratan radikalis jajahan dan neoimperialisme serta mengakarnya watak feodalis dalam bangsa sendiri menyebabkan hidup dalam kemisikinan, kebodohan dan penghisapan oleh kekuatan ekonomi asing. Sehingga butuh arahan dan panduan pada bangsa untuk mengelola ekonominya disatu pihak dan dipihak lain ketegasan sikap untuk memberantas watak feodalis dan neofeodalis yang masih subur sehingga tidak menemunbuhkan sistem rente dan penghisapan bagi bangsa sendiri.
Sistem ekonomi pasar (neoliberal) sendiri walau tidak disebutkan dalam dokumen resmi, tapi secara faktual terlihat ciri konsep dan praktiknya oleh rezim politik orde baru. Ciri konsep tergambar jelas dari apa yang disebut dengan “Trilogi Pembangunan” orde baru (orba) yaitu Stabilitas politik, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan. Dalam praktiknya konsep trilogi menekankan pentingnya “mengalirnya modal asing” ke dalam negeri untuk tujuan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi. Praktik neoliberal tidak lepas dari dukungan politik Amerika Serikat dan percobaan belajar dari perselisihan elit politik masa lalu.
Karena sifat dari ekonomi neoliberal yang berorientasi pasar, terbuka dan kebebasan bersaing serta bercirikan positifis ekonomika maka derajat penghisapan dan penindasan ekonomi antar pihak yang kuat secara modal terhadap yang lemah tidak menjadi perhatiannya. Perhatian utamanya diarahkan pada kebijakan makro ekonomika seperti moneter, fiskal, penanaman modal asing, industri, perdagangan luar, perubahan kelembagaan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan seterusnya. Dengan begitu dapat diyakini suatu prinsip ekonomi yang rasional dan efisien.
Oleh rezim politik orde baru gambaran tersebut dianggap jalan terwujudnya demokrasi ekonomi. Dengan adanya pembangunan dan kesejahteraan ekonomi maka itulah wujud nyata demokrasi. Ini yang dikemudian menjadi dasar bagi Soeharto untuk mengalamatkan kepemimpinannya sebagai orde ekonomi atau orde baru. Orde yang membedakannya dengan Soekarno yang disebutnya orde politik atau orde lama. Walau begitu dalam kenyataannya Soeharto banyak mengadopsi konsep dan sistem kolonial dan orde lama. Tidak ada yang baru atau mengalami pembaharuan selain dua hal yang paling populer, yaitu fusi partai politik hingga tersisa dua partai dan praktik developmentalisme etatis atau pengendalian kekuasaan secara sentralistik dengan memboncengi kekuatan modal ekonomi asing.
Catatan Kritis
Tulisan bagian ini, saya tidak memberikan kesimpulan dan menyugguhkan jawaban dari dilema atau masalah-masalah yang mendera demokrasi dan sistem kepemimpinan nasional sebagaimana gambaran naratif di atas. Sebab semua pihak punya kesimpulan dan pandangan sendiri dari keadaan sistem politik ekonomi demokrasi nasional saat ini. Masing-masing bisa rasakan dan lebih mengetahuinya. Dalam pandangan saya, bahwa demokrasi nasional menurut cara yang ditempuh tentu akan mengalir sebagaimana yang diyakini jalannya oleh elit, para borjuasi nasional sesuai kehendak penguasa kapital uang dengan derajat perlakuan kebebasan persaingan monopolistik termasuk menginkorporasikan kedaulatan ekonomi dan politik negara bangsa ke dalam sistem kapitalisme uang global. Lingkup fakta tersebut sudah dapat dipahami bukanlah hal baru, tapi hal berulang yang terwarisi oleh rezim orba dan direproduksi sesuai kehendak generasi pelanjutnya.
Olehnya itu menutup tulisan ini, saya menakar beberapa catatan kritis. Pertama, penguasa kapital uang global dan derajat perlakuannya dalam sistem demokrasi nasional sangat mungkin memberikan implaksi luas bagi pelemahan keadaban bangsa. Sebab instrumen yang dipakai adalah “invasi ekonomi” relasi kapital uang dan aliran investasi asing dari penguasa kapital uang. Itu dilakukan dengan meminjam tangan bangsa lain yang memiliki topangan kapital uang dan teknologi. Kiranya posisi bangsa kita berada dalam ancaman itu.
Kedua, tidak bisa sangkal bangsa ini memiliki potensi untuk menyediakan habitus bagi imperialisme. Sejarah panjang kolonialisme dan imperialisme dan mengakar watak feodalis adalah portofolio yang dikantongi penguasa kapital uang global. Salah satu ciri watak feodalis yang sangat kental adalah “memboncengi”. Ciri yang nampak dalam praktik demokrasi nasional yang senantiasa mereproduksi dua kekuatan utama. Secara sosiopolitik melahirkan pemimpin bersikap otoriterianis dan bersikap boneka. Secara sosioekonomi melahirkan kelompok borjuasi dan praktik oligarkis dari peran agen penguasa kapital uang global. Keberhasilan kedua kekuatan tidak lepas keberhasilan memboncengi keadaan mentalis lingkungan sosial politik bangsa yang lemah.
Kita tahu bersama pengaruh watak feodal dalam pembuatan kebijikan politik ekonomi dan pelaksanaan demokrasi nasional sangat kuat. Boleh dikatakan telah mewujud watak neofeodalis. Watak yang lahir dari suatu kebijakan politik ekonomi hasil kombinasi ala feodalis dengan ekonomi kapitalis (neoliberalistik) yang mengarahkan masuknya modal asing untuk menjadi daya penindas dan penghisapan ekonomi. Tidak saja sumberdaya alam yang dikuras, manusianya pun diposisikan sebagai buruh kasar dan murah.
Ketiga, dampak yang ditimbulkan dari cara yang diambil adalah menjalarnya sikap memboncengi, menjadi anutan bangsa. Oleh Franz Magnis Suseno disebutkan, ada kesan masyarakat diajarkan Mumpungisme. Cari kesempatan bisa membonceng. Cari tempat yang basah. Bonceng pada orang yang sudah berkedudukan, itulah cara untuk maju. Akibatnya tercipta hubungan timbal balik – mutualparasitme pada lingkungan elit politik pemerintahan dan sebaliknya. Dalam kadar tersebut pada akhirnya memasung sistem demokrasi dalam praktik oligarkis, berbiaya mahal dan berujung pada penghisapan sumberdaya ekonomi bangsa.
Karenanya tak heran jika hasil dari logika kesejahteraan dalam demokrasi nasional menuai kenyataannya bahwa di lapisan elit yang tidak lebih dari 10 persen menguasai aset nasional yang demikian besar. Sebaliknya di lapisan menengah ke bawah hanya memperoleh 10 persen dari aset nasional. Jelas disparitas dan gap tersebut dibentuk oleh alur kebijakan politik elit yang kental praktik feodal atau neofeodal yang berjumpa dengan kelas menengah yang kuat dibentuk atau dipengaruhi oleh lingkungan mentalitas menerabas, premanis dan membungkuk. Disparitas pendapatan dan gap ekonomi bangsa menjadi indikator yang paling nyata untuk melihat relasi kolonialisme dan imperialisme itu masih hidup. Atau bisa disebut kolonialisme dan imperialisme lanjutan.
Catatan kritis di atas bermuara pada praktik demokrasi semu (quasi demokrasi). Demokrasi yang disandera oleh kaum penguasa kapital uang dan bangsa hanya menjadi instrumen legitimasi formil. Sementara negara sebagai penjaga penguasa kapital uang global. Alias berperan sebagai budak dan mandor bagi kaum borjuasi dan penguasa kapital uang. Itu terus berulang dari rezim orba hingga rezim reformasi.
Sejatinya kita masih punya stock konsep pembanding yang digagas oleh pendiri bangsa Soekarno dan Mohammad Hatta konsepsi “ekonomi sosialis Indonesia” yang gagal dan digagalkan oleh generasi penggantinya. 32 tahun konsepsi tersebut dibenamkan oleh rezim orba, dengan coba mengalamatkan secara politis sebagai agenda PKI, radikal, subversif dan seterusnya. Demikian pula juga dalam rezim reformasi, terutama pada konsepsi partai politik tidak nampak. Tetapi ironinya, kebesaran tokoh tersebut dibawa-bawa oleh mereka yang berkuasa.
Padahal secara konseptual praktik kapitalisme uang dalam sistem demokrasi negara-negara berkembang telah dikritis keras oleh para pemikir dan ekonom kapitalis anti sosialis dan dianggap berbahaya, seperti Schumpeter, J. Stiglitz dan lain sebagainya. Diluar ekonom mazhab sosialis. Tetapi kemudian mereka berbalik arah melihat kenyataan kontrol dunia dan demokrasi oleh penguasa kapital uang dengan cara “manipulasi uang”. Bahkan menurut Schumpeter “demokrasi sejati yang meliputi aspek politik dan ekonomi hanya dapat diwujudkan dengan dan dalam sosialisme”. Terlepas dari kenyataan pilihan cara berdemokrasi saat ini dianggap sebagai kebenaran, yang jelas pendiri negara pernah meletakan konsepsi yang disebutkan tahap-tahap menuju ekonomi sosialis Indonesia.
*** Pegiat Parliament Responsive Forum (Pamor)