Oleh :
Harmin Samiun
SABUROmedia — Pasca reformasi ’99 terjadi perubahan sistem ketatanegaraan dengan memunculnya beberapa lembaga negara yang dibentuk melalui amandemen UUD ’45, termasuk perubahan itu membuka ruang kebebasan dibidang sosial yang memantik setiap individu atau kelompok masyarakat untuk mendirikan orginisasi atau Lembaga sosial yang dirasa penting.
Secara regulatif, munculnya ormas di ruang publik diberikan ruang kebebasan oleh negara melalui mekanisme aturan yang baku dengan lahirnya Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang ormas sebagai payung hukum bagi kelompok masyarakat secara suka rela mendirikan organisasi kemasyarakatan dengan prinsip kebermanfaatan serta menjaga harmonisasi sosial di tengah keberagaman intentitas masyarakat.
Keadaan demikian merupakan bagian ekspresi hak asasi manusia dijamin dalam konstitusi maupun regulasi di bawahnya tak boleh diintervensi atau kooptasi oleh siapapun sepanjang kehadiran ormas itu diakui legalitasnya oleh lembaga yang berwenang.
Namun keberadaannya ada batas normatif mensyaratkan untuk tak boleh melakukan tindakan diluar prosedur hukum, sebab negara hadir melalui kepolisian memiliki mekanisme kelembangaan untuk memproteksi dan mengawasi ruang gerak dari ormas yang dibentuk, agar bisa menjamin keamanan dan ketertiban di tengah intentitas masyarakat.
Sehubungan dengan hal dimaksud, menyikapi beberapa ulasan media akhir-akhir ini memberitakan salah satu ormas yang terkesan melakukan tindakan permanisme terhadap aparatur penegak hukum, disaat menertibkan ormas tersebut yang dianggap meresahkan masyarakat.
Ormas seperti itu, mestinya memberikan kontribusi positif setiap bidang keorganisasian dengan berbagai macam program sosial yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Namun keberadaannya memunculkan stigma negatif dan antipati publik akibat tindakan yang dilakukan meresahkan masyarakat. Kondisi seperti itu, tak boleh menjamur dan dibiarkan sebab merusak tatanan sosial.
Kehadiran negara melalui organ, kekuasaan diberikan otoritas penuh untuk menjaga stabilitas masyarakat lewat kepolisian sebagai alat negara dengan beban tugas yang dimiliki untuk lebih progresif dan responsip dalam mengatasi problem sosial yang terjadi.
Jika negara tak bisa menertibkan tindakan permanisme yang dilakukan oknum tertentu dibalik jubah ormas ini.
Hal itu sangat mengkhawatirkan tergangunya stabilitas sosial bahkan menjadi ancaman bagi keutuhan negara. Dengan demikian, pemerintah dengan tugas kenegaraan memiliki tanggung jawab moril mensterilkan ormas yang dianggap melakukan pelanggaran sosial baik berupa tindakan permanisme, vandalisme, pemungutan liar, pemalangan dan semacamnya, dengan tetap mengedepankan “asas praduga tak bersalah” sebagai prinsip hukum dengan memproteksi dan mengidentifikasi potensi pelanggaran, agar tercipta ketertiban dan keamanan.
Kepolisian sebagai alat negara diberikan tanggung jawab penuh secara regulatif untuk mengayomi dan melindungi masyarakat dari adanya problem sosial. Sebab kehadiran institusi tersebut menjadi jembatan bagi tegaknya supermasi hukum di republik ini.
*** Penulis adalah Pengajar SMP Cendika Ambon & Pemerhati Kebijakan Publik