Oleh :
Hasbollah Toisuta
SABUROmedia — Sebuah tarian penyambutan tamu diperankan dengan baik dan apik oleh gadis-gadis desa Ohoidertawun di pagi menjelang siang itu (25-08-2022). Bersamaan dengan itu Tokoh Tua Adat Ohoidertawun yang digelari Pati, bapak Tonce Woersok menyampaikan ucapan selamat datang kepada tim dari Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) di bumi Ohoidertawun. Hadir juga bersama dalam penyambutan itu, Imam Masjid Ohoidertawun, bapak Sarajuddin Sarwadan.
Diiringi tim qasidah dari ibu-ibu majilis taklim Ohoidertawun kami selanjutnya bersama menuju tempat kegiatan.
Saya termasuk salah satu di antara fasilitator yang diminta oleh Sinode GPM (Departemen Pengembangan Oikumene Semesta – Biro Pengembangan Hubungan Antar Agama, Denominasi dan Aliran Kepercayaan Sinode GPM) untuk menjadi fasilitator pada Workshop yang bertemakan “Peran GPM dan Agama Lainnya dalam Memperkuat Kerjasama Antar Iman”. Kegiatan Workshop ini mengikutsertakan selain para pendeta, tapi juga tokoh-tokoh agama lintas Iman.
Ketua rombongan kami adalah Wakil Sekretaris Umum Sinode GPM, Pdt. Dr. Rudy Rahabeat, M.Si, (Wakil Sekretaris Umum MPH Sinode GPM).
Selain Saya dan Pdt. Dr. Rudy Rahabeat, bersama kami juga ikut Ibu Pdt. Olla Noija (sebagai Ketua penyelenggara kegiatan ini), Ibu Pdt. Syiwabessy, Prof. Dr. Angky Rumahuru (Rektor IAKN Ambon), Dr. Stev Gasperz. (Wakil Rektor IV UKIM Ambon), Dr. Abd. Rauf (FKPT), Embong Salampessy (Jusnalis Tempo), Idho dan beberapa staf lainnya.
Ohoidertawun adalah salah satu Desa (Ohoi) di Kei Kecil yang jaraknya sekitar 20 Km dari Kota Tual Maluku Tenggara. Posisi Desa ini seperti umumnya negeri-negeri di Maluku, berada dipesisir pantai “Met Bal Sorbay” yang sangat eksotik dan menawan dipandang mata.
Desa Ohoidertawun sendiri adalah sebuah desa kecil, namun penduduknya hudup dengan punuh kebersahajaan, damai dan toleran. Di Ohoidertawun masyarakatnya heterogen namun kebersamaan terasa sangat kuat. Di bagian barat negeri ini terdapat komunitas muslim. Bagian tengahnya komunitas Kristen Protestan sedangkan pada bagian timur disana bermukim komunitas Katolik. Lebih ke timur lagi di sana terdapat komunitas Hindu dan Budha. Hanya gang (lorong) yang menjadi pembatas satu komunitas dengan komunitas lainnya.
Seperti dituturkan oleh Pak Kadir, pemilik rumah tempat saya menginap, di Ohoidertawun kehidupan warga masyarakat berlangsung secara damai. Warga saling mendukung untuk kegiatan-kegiatan bersama. Kearifan hidup saling membantu (maren – masohi) selalu menjadi bagian penting dari proses memelihara kesesamaan. Hal ini bisa dilihat sejak kedatangan kami, meski kegiatan yang kami hadiri ini adalah kegiatan dari Gereja Protestan Maluku, namun segenap warga lintas iman di Ohoidertawun turut terlibat penuh mensukseskan kegiatan ini. Demikian ceminan hidup yang berdasar pada pandangan hidup “aini-ain” (ale rasa beta ras – Maluku Tengah). Luar biasa.
Setelah makan siang, acara langsung dimulai dengan penampilan grup qasidah Ibu-ibu Majelis Taklim Ohoidertawun. Sebuah lagu berjudul Toleransi, dibawakan ibu-ibu dengan sangat menarik. Setalah itu lagu karya Farangky Syiahailatuwa, Pancasila Rumah Kita, juga dibawakan dengan sangat baik oleh Ibu-ibu Jemaat GPM Ohoidertawun.
Hadir dalam acara pembukaan, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Maluku Tenggara, dan juga kepala Kantor Agama Kota Tual, bersama pewakilan FKUB, selain tentu saja Ketua dan segenap anggota Klasis GPM di Ohoidertawun.
Seperti dituturkan oleh tokoh adat, Tonce Woersok, dalam bincang-bincang informal saat rehat, setelah tiba di tempat kegiatan, “Ohoidertawun adalah termasuk salah satu Desa (Ohoi) di Kei Maluku Tenggara, yang sepanjang konflik Maluku (1999-2003), Desa ini sama sekali tidak terimbas oleh konflik. Warga masyarakat – yang bebeda kaeyakinan agama itu – saling bahu membahu memperkuat sesama untuk tidak terprovokasi dengan ganasnya konflik.
Ketika saya menanyakan mengapa warga desa Ohoidertawun begitu kuat dan tidak bisa terpengaruh dengan provokasi dari luar? Pak Tonce dengan bangganya menyatakan bahwa nilai-nilai keraifan kami memang menjadi bagian penting dalam memelihara kedamaian dan menghalau setiap upaya provokasi. “Semua itu bersumber dari filosofi hidup kami yakni “Loor Lebay”, katanya.
Dalam tradisi adat dan kearifan lokal masyarakat Maluku Tenggara, umumnya kita mengenal hukum adat “Larvul Ngabal” dengan tujuh pasalnya yang termasyhur, disamping tentunya nilai-nilai kearifan lain seperti “Ursiw” dan “Lorlim”. Namun demikian filosofi hidup “Loor Lebay” tampak lebih penting lagi memberi sumbangsih bagi proses memelihara kebersamaan dan perdamaian. “Loor Lebay” menurut Tonce dan juga diaminkan oleh Imam Sarajuddin, adalah pandangan hidup yang mengambil jalan tengah atau moderat. Dengan begitu filsafat hidup berdasar “Loor Lebay” memposisikan suatu pada proporsinya, tidak berlebihan dalam satu sikap pandangan. Pandangan seperti inilah yg selanjutnya menempatkan posisi Desa Ohoidertawun – termasuk desa-desa yang memiliki filosofi hudup yang sama – justeru mengambil peran penting sebagai penengah (Loor Lebay) dalam menyelesaikan konflik Maluku (khususnya yang terjadi di Maluku Tenggara). Lebih jauh menurut Tonci dan Sarajuddin, jila “Larvul” dan “Ngabal” berkonflik maka “Loor Lebay”-lah yang jadi penengahnya.
Tonce dan Sarajuddin telah memberi bukti akan peran kokohnya nilai-nilai kearifan lokal bagi hubungan bersaudaraan lintas iman dan lintas komunitas dalam arti luas.
Sepanjang tiga hari kegiatan Workshop ini (25, 26 dan 27 Agustus), begitu banyak hal-hal baru yang saya temukan berkaitan dengan kekayaan khasanah budaya masyarakat kita. Mengenai sikap masyarakat Ohoidertawun terhadap Agama, baik Tonce maupun Sarajuddin berpandangan bahwa Agama itu hadir belakangan, sementara adat dan kearifan hidup “Loor Lebay”, “Larvul Ngabal”, “Ursiw Lorlim” berikut segenap nilai-nilainya telah membersamai kami selama berabad-abad. Dalam bahasa yang sederhana, “Adat kami duluan baru agama kemudian”. Karena itu agama tidak harus mendelegitimasi nilai-nilai kearifan hidup kami dalam bersesama.
Sebuah anekdot disampaikan oleh Imam Sarajuddin di tengah berlangsungnya kegiatan;
“Dahulu ketika semua warga Ohoidertawun dan sekitarnya ini sudah memeluk Agama Islam dan Kristen, masih terdapat salah seorang warga yang belum mau memeluk agama. Dibujuk untuk ikut menjadi muslim, beliau menolak. Dia juga menolak ketika diajak memeluk Kristen. Si fulan yang belum mau memeluk agama ini adalah seorang tokoh yang disegani dan memiliki kebun kelapa yang cukup luas. Ketika kemudian ditanya kenapa dia tidak mau beragama? Jawabnya, “bagaimana saya mau beragama kalau nanti karakter saya seperti kalian-kalian yang sok beragama ini”. “Tuh coba lihat, pohon-pohon kelapa saya itu dicuri buahnya oleh kalian-kalian yang katanya beragama?”. “Saya hanya khawatir kalau saya jadi muslim atau kristen malah saya jadi pencuri seperti kalian-kalian ini”.
Anekdot yang dikisahkan Imam Sarajuddin ini sontak membuat seisi ruangan itu pecah, semua peserta tertawa lepas. Sebuah sindiran bahwa beragama itu harus membentuk perilaku dan karakter. Beragama tidak sekedar pengakuan iman semata, melainkan harus diuji dengan moralitas, etika dan keadaban publik.
Dari anekdot Imam Sarajuddin ini selanjutnya memantik Pdt. Rudy Rahabeat yang memfasilitasi sesi percakapan ini dengan mengutip kisah Mahatma Gandhi yang konon sangat tertarik dengan ajaran Kristus, namun kemudian tidak bisa menjadi pengikut Kristus karena Gandhi melihat ada pandangan dan sikap yang sangat rasiis dikalangan pemuka-pemuka Kristen di Eropa. Suatu sikap yang tentunya berbanding terbalik dengan misi kemanusiaan Kristus itu sendiri.
*** Penulis adalah Pekerja Perdamaian, Ketua Yayasan Sombar Maluku.