Oleh :

Ismail Borut., M.Pd

             

 SABUROmedia — Secara sosiologi masyarakat Wandan adalah masyarakat asli Fukarndan (Banda) yang berhijrah dikepulauan Kei pada 17 Abad yang silam. Kegembiraan masyarakat Wandan, tepatnya pada tanggal 16 Juni 2022 di Fukarndan (Banda Nairah) menjadi satu peristiwa penting dalam sejarah kehidupan masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) di bumi Jazirah Al-Muluk ini.  Pertemuan sakral itu diistilahkan sebagai ‘’Persaudaraan Sejati’’ mereka disambut para raja-raja dan pemerintah Maluku Tenggah yang penuh dengan kegembiraan, tanggisan, dan pelukan, karena selama 400 tahun mereka meninggalkan Fukarndan (Banda) dari tahun 1621 M yang silam. Persaudaraan sejati ini dimaknai sebagai kohesi sosial masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) dengan masyarakat Banda Nairah Maluku Tenggah dalam bingkai persaudaraan, kekeluargaan, atau dalam bahasa agama Islam adalah ‘’Habluminanas’’. Pertemuan sakral ini sebagai awal pertama kali dalam sejarah kehidupan masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) dibumi Jazirah Al-Muluk ini demi menjaga dan merawat Fukarndan (Banda Nairah) sebagai negeri yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah dan merawat khazana kebudayaan dan peradaban Islam di Fukarndan yang berjaya 12-17 abad yang silam.

Rombongan masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) yang dipimpin Raja Banda Ely “Rat Waer Ohoitel ’’ Basar Almudin Latar, Imam Masjid Al-Mukaramah Banda Ely ‘’Rahan Leb’’ Tunggala Salamun, tokoh masyarakat dan toko agama itu, dalam suasana yang mengembirakan, dalam mengikuti Laskar Muhiba Budaya Jalur Rempa Nusantara yang puncaknya pada tanggal 19-21 Juni 2022 di Banda Nairah. Momentum ini meniscayakan bahwa Fukarndan nama sebenarnya Banda Nairah pada abad pertengahan menjadi pusaran masyarakat dunia dan masyarakat nusantara. Usainya perang salib dan penaklukan kesultanan Turki atas Bizantium memberikan wajah baru pada geopolitik Eropa dan Timur Tenggah. Kondisi ini sangat penting untuk dinamika perdagangan rempah pala di Eropa sebagai pasar utama dari negeri Fukarndan sebagai pemasok utama rempah pala. Penaklukan kesultanan Turki membuat rempah di Eropa semakin susah dan mahal sedangkan bangsa Eropa telah teranjur terikat cita rasa rempah pala. Bahkan lebih jahu rempah pala telah menjadi satu simbol atau stastus yang penting kalah itu.

Rempah yang menjadi simbol kebutuhan masyarakat Eropa yang mengadalkan perdagangan rempah dari bangsa Arab, Cina maupun India, hubungan ini terbangun begitu lama, merupakan rantai utama yang bersumber dari negeri Fukarndan. Para sejarawan menyatakan bahwa kedatangan bangsa Eropa di nusantara dengan misi utama yakni gold, glory dan gospel yang disering di degungkan. Semboyang ini muncul dari Vatikan tanggapan atas pertikaian Spanyol dan Portugis kalah itu. Kedatangan bangsa Eropa di nusantara ini, akan membawa dinamika baru bagi bangsa Indonesia dengan kekuatan militer yang modern, mengancurkan nilai budaya, kekayaan alam dan khazana peradaban Islam masyarakat Fukarndan.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, Portugis (1512), Belanda (1600) Penduduk yang mendiami pulau Fukarndan saat itu memiliki Kerajaan Islam ’Lebe Telu Rat At’’ disimbolisasikan sebagai konsep kepemimpinan agama dan pemerintahan. Dengan adanya Kerajaan Islam ini membuat masyarakat Fukarndan sebagai penyiar (pendakwah) Islam di Asia dan Nusatara (James T Colling, Guru Besar Universitas Kebangsaan Malaysa: 2016), bahkan orang Fukarndan punya Hikayat dalam bahasa Melayu menulis sampai di Asia pada 25  tahun dan suda masuk 400 tahun sampai di Malaka, dan menurutnya bahasa Fukarndan suda tercampur dengan bahasa Melayu sampai di Malaka. Begitu majunya Islam di tanah Fukarndan dibumi ‘’Jazirah Al-Muluk’’ itu, membuat Jan Pieter Zoon Gubernur VOC membumi hanguskan rakyat Fukarndan, peristiwa itu sebagai genosida pertama dinusatara tahun 1621 pada abad ke 17 M. Dengan adanya kerajaan Islam ‘’Lebe Telu Rat At’’ ini maka bangsa arab menamakan Maluku sebagai ‘’Jazirah Al-mamlakatul Mulukiyah’’ atau Tanah Raja-Raja, dinukilkan oleh Ibnu Khaldum dalam sebuah karya spektakuler yang berjudul Mukadimah.

Kekejaman dan kekerasan secara masal oleh Gubernur VOC Jan Pieter Zoon itu, berhasil membunuh 44 Orang Kay, para orang kay itu adalah pemimpin atau tokoh ditanah Fukarndan (Banda), membuat eksodusnya orang Fukarndan (Banda) meninggalkan kampung halamanya demi mempertahankan akida Islam,  perlindungan jiwa (hifzh an-nafs) dan martabat kemanusian (al-karamah al-insaniyah). Hijrah merupakan sebuah pemikiran yang tepat bagi masyarakat Fukarndan (Banda) saat itu, konsesus bersama ini, Istilah bahasa Wandan ‘’Runtet Rosonon’’ yang di bicarakan dinegeri Lonthor itu membawa dinamika tersendiri bagi masyarakat Fukarndan saat itu.

Dengan adanya hijrah ini akan memberikan arti penting bagi masyarakat Fukarndan saat itu, untuk menyelamatkan dirinya, dan agama dari kekejaman dan kekerasan para tentara VOC saat itu. Dalam ilmu onotan (pataka) masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) yang selalu diaktualkan pada tarian Wanhar yakni  ‘’Piter  Zoon kun neee merampas buah palah asil Banda eee, asil Banda eee, kam ana Wandan neee tida mau di jajah eee-tidak mau dijajah ee’’ pataka ini menujukan sebuah dramatika bahwa orang Fukarndan (Banda) tidak mau dijajah oleh penguasa VOC Jan Pieter Zoon dan tidak mau merampas hak-hak kekayaan pala ditanah Fukarndan. Kekerasan dan kekejaman oleh penguasa VOC Jan Pieter Zoon ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terbesar dalam sepajang sejarah umat manusia.

 Ketika masyarakat Fukarndan hijrah tahun 1621 M, mereka disambut oleh Raja Baldut Adat (Rat Dullah), mereka diberikan hak keistimewaan mendiami wilayah Kei Besar Utara Timur sampai saat ini. Mereka membentuk komunitas masyarakat Wandan yang diberi nama ‘’Banda Ely’’ atau masyarakat setempat menyembutnya ‘’Wandan El’’. Kata El adalah sebuah nama orang yang diperintahkan Raja Baldut Adat (Rat Dullah) untuk menyerahkan sebagian tanah untuk orang Wandan (Banda Ely) sebagai tempat tinggal mereka, ketika mereka hijrah dari negeri Fukarndan pada tahun 1621 M di Kei Besar Utara Timur Kabupaten Maluku Tenggara.

Selama 400 tahun lebih dikepulauan Kei masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) ini masih mengunakan bahasa Wandan atau disebut ‘’Turwandan’’ sebagai alat komunikasi antara sesama yang merupakan tatanan kearifan lokal mereka selama mendiami negeri Fukarndan saat itu. Tatanan Kearifan ini meniscayakan indentitas diri mereka sebagai kelompok hijrah yang berasal dari negeri Fukarndan (Banda) sekarang ini. Dikepulauan Kei mereka juga terlibat secara aktif dalam pergerakan Islam, kebudayaan dan peristiwa penting lainnya dalam peradaban mereka orang Wandan. Orang Fukarndan (Banda) bukan saja hijrah dikepulauan Kei yang membentuk komunitas Wandan (Banda Ely-Elat) itu, tetapi orang Fukarndan (Banda) juga menyebar diwilayah  nusatara ini dari tahun 1579 ketika Portugis melakukan perlawanan dengan rakyat Fukarndan (Banda) saat itu, sampai dengan tahun 1621 M.

Dikepulauan Kei Besar, kelompok Wandan ini membentuk persekutuan adat yang disebut ‘’Waer Ohoitel’’ yang dipimpin oleh seorang Raja (Rat) sebagai simbol kepemimpinan adat masyarakat Banda Ely pada abad ke 19 silam atau diperkirakan tahun 1820 M. Persekutuan itu memiliki kewilayahan “Waer Ohoitel’’ dari ohoi Tuburlay sampai ohoi Banda Efruan. Bukan saja persekutuan adat yang dipimpin oleh seorang Raja (Rat), tetapi juga religiuitas kepemimpinan keagamaan ‘’Rahan Leb’’ yang merupakan turunan yang dibawah dari Negeri Fukarndan (Banda) sampai di Banda Ely saat ini. Sebelum dibentuknya Rat Waer Ohoitel pada tahun 1820 itu dinamika kepemimpinan adat dan agama masi dipegang Rahan Leb ketika masyarakat Wandan (Banda Ely) hijrah pada tahun 1621 M.

Selama 400 tahun dikepulauan Kei Besar, kelompok Wandan ini hidup dalam persaudaraan, kekeluargaan, dan perdamaian dalam interaksi sosial antara masyarakat setempat. Jelas bagi masyarakat Banda Ely, diistilahkan ‘’Perjumpaan manusia’’ adalah suatu bentuk interaksi yang mengikat seseorang dalam misi persaudaraa istilah bahasa Wandan ‘’Rumoh Lafano’’ ‘’belano’’ antara negeri   satu dengan negeri yang lain, atau di interpretasi luas adalah manusia menjadi sesama bagi yang lain melainkan saudara yang teorginisir dalam pengayuban lintas negeri (Ohoi) dalam hidup baku bae dalam kerangka AIN NI AIN. Budaya rukun yang berasas kekerabatan ini adalah hubungan sosial antara masyarakat dua atau lebih negeri yang merasa diri mereka sekerabat walaupun berbeda agama, etnik, dan pulau. Inilah satu bentuk kerukunan lintas agama, etnik, dan pulau.

Bukan saja pengayuban lintas negeri yang menjadi kearifan lokal mereka dalam membangun peradaban persaudaraan sejati, tetapi ada pengayuban marga dalam, istilah Wandan Umbeter’’ dan juga pengayuban yang mengikat semua marga di dalamnya diistilahkan ’’Rumo Kaitelu, Rumo Kainemu, Rumo Kaiitu dan lainnya, sebagai kohesi sosial masyarakat Wandan yang hidup selama 400 tahun menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam membangun kepentingan bersama di wilayah Waer Ohoitel Kei Besar Utara Timur Kabupaten Maluku Tenggara. Memijam bahasa Prof Dr M Huliselan bahwa munculnya marga ‘’Umbeter’’ di Maluku akibat perkembangan transformasi kewilayahan masyarakat pengunungan ke pesisir pantai membentuk ‘’Negeri atau Kampung’’ pada tahun 1656 sehingga negeri itu membentuk kelompok pengayuban marga ‘’Umbeter’’ sebagai kohesi sosial mereka dalam membangun hubungan kekerabatan dan persaudaraan sejati di Negeri.

Dalam masalah religiusitas keagamaan masyarakat Banda Ely telah mempunyai pusat peribadatan masjid sebagai khazana peradaban Islam di Kei Besar Utara Timur Maluku Tenggara. Masjid pertama yang dimiliki masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) adalah Masjid Al-Mukaramah yang berada dipusat ‘’Wama Tukamun Kaikoli’’ Masjid  ini dibangun ketika masyarakat Wandan (Banda Ely) hijrah pada tahun 1621 M. Masjid ini diambil dari nama Masjid Al-Mukaramah dinegeri Fukarndan (Banda Nairah) saat itu yang merupakan pusat pengembangan dan peradaban masyarakat Islam yang berjaya di bumi Jazirah Al-Muluk pada abad 12-17 M. Bahkan pada tahun 1790-1899 masyarakat Banda Elat melaksanakan Shalat Jumat dan Sholat lima waktu di Masjid Al-Mukaramah Banda Ely pada waktu itu, dalam bahasa Wandan ’’Rosobian Jumat Ndafan waktu limo wa funuo Ely ambani neee, mereka berlayar mengunakan perahu menuju Negeri Wandan (Banda Ely). Kemudian di tahun 1823 dibangun Masjid As-Sura, Masjid yang didirikan ulama kharismatik Syekh Lebe Sura Salamun ini yang berada di ‘’Wama Tukamun Kubtelu’’  Futelu (kampung lama Banda Ely) masjid ini pada tahun 1970, ditransformasikan dari Masjid As-Sura menjadi masjid Ar-Rahman. Bagimana seorang Muhammad Saw begitu waktu beliau hijrah ke Madinah yang mula-mula beliau buat bukanlah istana, rumah atau benteng (beliau hijrah dalam situasi diintai, dikejar dan bahkan akan dibunuh tetapi mendirikan masjid sebagai pusat pengembangan masyarakat dan peradaban umat Islam.

Masjid adalah lambang kebesaran Islam, ia sebagai barameter untuk membangun hukuwah Islamiyah di dalamnya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang Islami yang di dasarkan atas pendekatan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu selama 400 tahun masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) mengunakan masjid sebagai pergerakan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakan yang meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, seni dan kebudayaan yang multi kompleks yang sangat besar dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat Islam Wandan. Masyarakat Islam Wandan telah memiliki 5 kelembagaan masjid yang tersebar dinegeri Wandan (Banda Ely) dari ohoi Tuburlay sampai ohoi Banda Efruan. Begitu juga masyarakat Banda Elat telah memiliki 9 kelembagaan masjid dari Elat sampai ohoi Wakol yang berdiri kokoh sampai saat ini.

Meninggalkan Negeri Fukarndan 400 tahun silam itu, mereka bukan saja bermukim dikepulauan Kei Besar, baik Banda Ely maupun Banda Elat tetapi mereka menyebar diwilayah nusantara ini. Transformasi kependudukan merupakan kebutuhan penting dalam peningkatan kehidupan sosial masyarakat Wandan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sumber daya kehidupan sosial dan ekonomi merupakan kebutuhan yang mendasar, yang menjadi faktor penting dalam mentransformasi kehidupan mereka untuk hidup menyebar dalam pusat-pusat perkotaan, sehingga pada tahun 1957 mereka membentuk pemukiman ‘’Kompleks Banda’’ yang berada dipusat kota Tual sampai saat ini. Kebutuhan untuk melakukan transformasi (a complete change in Oxford) merupakan keniscayaan dimana suatu kondisi masyarakat dari proses pembangunannya bermaksud untuk atau membutuhkan langkah ‘’berpindah’’ dari suatu fase prinsipil tertentu ke fase prinsip berikutnya. Tranfsormasi kependudukan yang lebih besar pada tahun 2000 dengan perkembangan pengelolahan tata Kota Tual, mereka membentuk pemukiman baru di Desa Fidatan: Kompleks Banda Ely-Fidatan, Desa Manggun: Kompleks Banda Ely-Mangun, Kompleks Banda Ely-Un dan Kompleks Banda Ely-Warhir yang merupakan persekutuan utama masyarakat Banda Ely-Elat.

Begitu juga dikota Ambon, Negeri Batu Merah merupakan tempat persingaan pertama masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) dikota Ambon semenjak tahun 1958, pemukiman itu disebut Kompleks Banda Ely lingkungan satu Masjid Muhajirin. Dengan adanya perkembangan sosial politik dan ekonomi tahun 1970 masyarakat Wandan (Banda Ely-Elat) melakukan hijrah ketempat lain membentuk pemukiman di Benteng Atas, Salobar, Wainitu (Talake Dalam) sampai tahun 1999. Baik juga Ahuru dan THR (1990-2005), Galungung (1990-2000), Kapaha (2000) Kebung Cengkeh (2000), Gunung Melintang (2000), Air Besar (2000). Pemukiman ini merupakan basis utama persekutuan masyarakat Wandan di Kota Ambon. Begitu juga wilayah lain di Indonesia, Kepulauan Aru, Buru, Buru Selatan, Pulau Seram, Maluku Utara, Makassar, Jawa, Yogyakarta  dan kota lainnya di Indonesia.

Maluku dalam berbagai kebijakan pembangunan tidak bisa lepas pisahkan dari pulau Fukarndan (Banda Nairah) sebagai pengasil rempah palah, lumbung ikan, wisata, dan pusat peninggalan sejarah peradaban orang Wandan yang berjaya pada abad 12-17 M. Sebagai daerah pulau merupakan entitas pesisir dengan keunikan tersendiri yang berkontribusi dalam pembangunan manusia Indonesia. Momentum Laskar Muhiba Budaya Jalur Rempa Nusantara yang dilaksanakan pada 19-21 Juni 2022 di pulau Banda Nairah ini dengan memberikan arti penting bagi masyarakat Wandan, karena selama 400 tahun mereka berdiri ditanah Fukarndan (Banda) dengan masyarakat Banda Ely-Elat yang dipimpin Raja Banda Ely ‘’Rat Waer ohoitel’’  Basar Almudin Latar, dan Imam Masjid Al-Mukaramah ‘’Rahan Leb’’ Tunggala Salamun, atau dalam bahasa Wandan ‘’Kam feruk koko keketik tambir funuo fukarndan raroni, ndafan mancia warbutelu funuo Ely ndafan Elat kikijaka ndafan Rat Waer ohoitel ndafan lebe rora Rahan Leb’’. Itulah Negeri Leluhur Kami tanah Fukarndan (Banda), tanah barakate, tanah yang penghasil rempah yang mendunia pada abad 15-17 M. Raja Banda Ely (Waer Ohoitel) Basar Almudin Latar menyampaikan ‘’Jagalah Negeri Leluhur Kami Untuk Indonesia’’  (Ndakan funuo kam ombominisini Ndonok Indonesia) bahwa Fukarndan merupakan wilayah integral yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan masyarakat nusantara.

 

*** Penulis adalah Direktur Lebe Sura Institut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *