Oleh :

Ismail Borut., M.Pd

 

SABUROmedia — Negeri Fukarndan (Banda Naira) dikenal sebagai pengasil rempah pala dinusatara pada abad ke- 15, yang menarik bangsa Arab, Persia, Cina dan Eropa ke Pulau Fukarndan (Banda). Pala di Pulau Fukarndan mulai dibudidayakan pada tahun 1450 Masehi, Pliny seorang sejarawan Romawi menyatakan bahwa pala telah menjadi barang dagangan mewah dan mahal yang dapat ditemukan di Pasar Romawi kuno yang dibawa para pedagang Arab dan Cina. Pada abad ke- 9 pala Pulau Wandan digunakan oleh bangsa Mesir dan India sebagai pengawet jasad, manfaat lainnya terdapat pada kulit pala yang dapat digunakan untuk membuat parfum dan biji pala memiliki khasiat sebagai obatan, bumbu masak, kosmetik hingga minyak atsiri. Karena manfaatnya yang banyak, membuat pala di Pulau Wandan semakin dikenal bahkan hal tersebut membuat bangsa Eropa berlomba-lomba untuk datang ke Pulau Wandan pada abad ke-15 Masehi.

Bangsa Eropa yang pertama kali menapaki di Pulau Fukarndan adalah bangsa Portugis tahun 1512 yang dipimpin d’Aberu. Bangsa Belanda tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini datang ke Pulau Fukarndan tahun 1599. Kemudian yang terakhir bangsa Inggris datang ke Pulau Fukarndan tahun 1601. Berdasarkan Convention of London (1814), daerah Maluku diserahkan Inggris kepada Belanda. Belanda kemudian menerapkan praktek monopoli perdagangan di wilayah ini, dan melakukan tindakan-tindakan lain yang sangat merugikan rakyat Fukarndan. Penjajahan kolonialisme Hindia Belanda dalam kurun waktu 350 tahun banyak menimbulkan korban jiwa, harta dan tentunya sangat menyengsarakan rakyat Fukarndan. Salah satunya adalah para 44 orang Kay Fukarndan yang gugur di medan jihad dari para pemberontakan kolonialisme Gubernur Jan Pieter Zoon Coon tahun 1621, peristiwa itu di sebut Banda Mord atau bahasa Turwandan (Banda Ely-Elat) Funo Fukarndan Mbuyangiro pada Abad ke-17  yang lalu.

Maka jauh sebelum kedatangan bangsa Arab, Persia dan Eropa penduduk yang mendiami Pulau Fukarndan ini terbagi menjadi dua kelompok besar persekutuan, yakni Ursiuw dan Lorlim. ‘’Ur dan Lor’’ berarti kelompok atau persekutuan mayarakat Fukarndan, Ursiuw yang memiliki wilayah kekuasaan di Negeri Salamun dan Lorlim yang dipimpin negeri Lonthor. Kedua kelompok Ursiuw dan Lorlim ini di sebut model konsesus sosial politik, peradaban masyarakat Fukarndan saat itu yang memiliki legitimasi persekutuan sosial budaya yang mengatur konsesus bersama, persaudaraan orang Fukarndan yang hidup dalam satu bingkai kepemimpinan Lebe Telu Rat At.

Ditengah kehancuran dunia Islam di pulau Fukarndan, baik secara politik dan konsepsional yang diikuti oleh runtuhnya simbol kepemimpinan Islam Lebe Telu Rat At  di Pulau Fukarndan pada abad ke-17 M, dan diikuti runtuhnya negeri Islam lainnya di Maluku. Perang Huamual berkobar ditahun 1602-1651 (50 tahun Perang Huamual) telah membumi hanguskan 98 negeri dan tinggal satu-satunya negeri yaitu Negeri Luhu sebagaimana yang dituangkan dalam bahasa Huamual yang sekarang ini menjadi bahasa adat Luhu dan sering dipakai dalam upacara adat (ritual adat) disaat pelantikan raja atau Upulatu Luhu. Raja Iha dengan kerajaannya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa (Siri Sori dengan Kerajaannya). Perang Kapahaha 1637-1646 ini dipimpin oleh seorang kapitan Telukabessi (Ahmad Leikawa). Pusat pertahanan Telukabessi ialah benteng Kapahaha yang terletak diatas Bukit Kapahaha yaitu sebuah Bukit batu terjal. terletak diantara gunung Salahutu dan petuanan negeri Morella sebelah utara Pulau Ambon. Kerajaan Iha terlibat dalam sebuah perlawanan melawan kolonial Belanda yang disebut perang Iha 1632-1652 yang mengakibatkan kerajaan ini kehilangan sebagian daerah dan rakyatnya sehingga kemudian mengalami kemunduran. Datangnya kolonialisme dunia barat, Portugis, Inggris, Belanda dan lainya ke negeri negeri muslim untuk monopoli, eksploitasi kekayaan alam, dan menaklukan wilayah sebagaimana tergambar  dalam semboyan Gospel, Gold and Glory.

 

Para sejarawan telah menulis salah satu penyebab kebengisan Gubernur Jan Pieter Zoon Coon adalah kenangan pahit untuk balas dendam karena menyaksikan sendiri terbunuhnya pemimpin atau pejabat VOC yaitu Pieter Willemszoon Verhoeff atau masyarakat Fukarndan mengenalnya dengan panggilan Verhoofen yang dibunuh oleh seorang Srikandi Perempuan Wandan putri Mboi Bala yang menemui ajalnya yang disaksikan oleh Gubernur Jan Pieter Zoon Coon pada tahun 1609.  Itulah salah satu penyebab, ketika Jan Pieter Zoom Coom, menjadi penguasa VOC dia memerintahkan untuk memerangi rakyat Fukarndan di hampir semua kepulauan di Fukarndan.

Rakyat Fukarndan (Banda) berperang melawan bangsa Eropa pertama adalah Portugis, hal itu dimulai ketika seorang kapten, dari armada Portugis bernama Garcia Henriques memco membangun Benteng di Fokarndan (Banda). Para pemimpin orang kay menolak dan sepakat angkat senjata untuk menyerang Portugis, Portugis saat itu kehilangan banyak nyawa, memutuskan keluar dari Fukarndan. Kemudian Belanda dari 1609 ketika penguasa Pieter Willemszoon Verhoofel dibunuh oleh seorang Srikandi Fukarndan, tetapi juga ada seorang Putri Fukarndan dengan kekuataan spiritual dengan izin sang illahi menegelamkan armada kapal militer Belanda yang tengelam di Pulau Fukarndan (Banda) Putri itu bernama Ortetan Orosiuw. Rakyat Fukarndan berperang melawan Belanda selama 20 tahun dari tahun 1609 sampai 1621 yang membumikan hanguskan negeri Fukarndan. Kekejaman VOC dibawa perintah Jan Pieter Zoom, telah mengusik semua tatanan peradaban negeri Fukarndan yang menjadi salah satu  Peradaban Islam dikepulauan Jazirah Al-muluk saat itu, dan juga merusak tatanan kehidupan masyarakat Fukarndan dengan masyarakat lain di nusatara  yang melakukan perdangangan rempah Pala di Pulau Fukarndan, yakni bangsa Arab, Persia, Cina, Jawa dan lainya. Maka pedagang internasional abad pertengahan mengatakan bahwa Tuhan menciptakan pulau Fukarndan untuk Pala, yang tidak ada di tempat lain cuma di Pulau Fukarndan yang menjadi pusat rempah Pala bagi masyarakat nusantara dan internasional. Maka pala adalah bukti pulau Fukarndan sebagai salah satu pelaku pembangunan Perniagaan besar di nusatara yang melintas dunia.

Dalam peristiwa Genosia (Banda Mord) tahun 1621 itu, baik nyawa, harta benda, kekayaan alam, dan khazana peradaban Islam di tanah Fukarndan dibumi hanguskan oleh  Gubernur Jan Pieter Zoon Coon. Rakyat Fukarndan dalam suasana yang tidak nyaman akibat kekezaman itu, maka para pemuka agama, dan pemimpin Fukarndan melakukan pertemuan di negeri Lonthor untuk hijrah, meninggalkan tanah Fukarndan dengan kendaraan kora-kora (mbelan), perahu kulit sabut/kelapa sebagai kekuatan kesaktian menuju pulau Seram Kailolo, Pulau Ambon, Ambalau, Nusa Tenggara Timur, Makassar, Jawa (Batavia), Kur,  dan dikepulauan Kei yang mereka mendiami Kei Besar yakni Banda Ely-Elat.

Moment Laskar Muhiba Budaya Jalur Rempa Nusantara pada tanggal 19-21 Juni 2022 yang puncak kegiatannya di Pulau Fukarndan (Banda). Moment ini mengadirkan masyarakat Banda Ely-Elat yang dipimpin Raja Banda Ely (Rat Waer Ohoitel) Basar Almudin Latar, di sambut para Latupatti dinegeri Fukarndan (Banda Naira) dengan tarian cakalele dari negeri Salamun. Kehadiran masyarakat asli Banda Ely-Elat dipulau Banda Nairah menjadi ajang silaturahmi dan menujukan jati diri mereka sebagai penduduk asli Fukarndan (Banda) yang memiliki historis sejarah yang berpisah selama 500 tahun meninggalkan Fukarndan demi menjaga eksistensi kemurnian Wandan dan nilai tahuid yang Islami saat peristiwa Banda Mord tahun 1621 M.

 

*** Penulis adalah Direktur  Lebe Sura Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *