Oleh ;

Rusdi Abidin

 

SABUROmedia – Walau Pilpres baru digelar tahun 2024 namun persiapan ke arah pencapresan sudah dimulai saat ini. Sejumlah bakal calon presiden telah mendeklarasikan diri. Deklarasi dilakukan tidak saja didasarkan pada pendekatan survei, kajian, kalkulasi, simulasi, tetapi juga pada ramalan, anjang sana anjang sini-safari, sesajian dan seterusnya. Dari yang masuk akal, sampai yang tidak masuk akal pun dilakukan.

Itu semua untuk mencocok-cocok apa yang diinginkan bisa mendapatkan pembenaran dan dibenarkan pada pendekatan instrumental yang digunakan. Tentu itu didasarkan pada dua hal yang diutamakan dari seorang bacapres. Pertama, memiliki ketersediaan aliran dana yang besar. Kedua, pernah dan sedang dalam jabatan publik junto jabatan politik.

Sekalipun survei biaya termat besar tapi mau tidak mau harus dijalani karena dianggap instrumen ilmiah untuk pemetaan kekuatan dan untuk mempengaruhi opini publik. Juga bisa dijadikan pijakan untuk masuk dalam pendekatan lain untuk melihat kecocokan dan kemungkinan pembenaran dengan hasil survei.

Tapi pengalaman membuktikan skor survei bisa dipaksakan diatur untuk memenangkan capres yang dimaui, sekalipun survei si capres elektabilitasnya rendah. Artinya survei punya keberpihakan subjektif pada mereka yang menggunakannya. Subjektifitas tersebut karena bergantung pada siapa yang memesan dan mendanai.

 

Selain Survei

Selain pendekatan komersil survei untuk mengukur elektabilitas, tidak bisa dipungkiri sejumlah bacapres menggunakan pendekatan lain untuk meneropong dirinya lolos dalam pencapresan dan berharap terpilih sebagai Presiden RI. Pendekatan itu tidak lain untuk mencocok-cocokan dengan hasil survei dan membenarkan pandangan mereka yang mengelola Bacapres.

Pendekatan lain seperti menggunakan ramalan dan sejarah. Pendekatan ramalan selain dalam kajian dan prediksi indikatif juga lazim digunakan dalam bentuk pandangan tabularasa-spekulatif yang dianggap meyakinkan. Olehnya itu sekalipun pendekatan spekulatif tidak ilmiah tapi lebih digandrungi.

Misalkan yang populer adalah ramalan jangka Jayabaya. Yaitu ramalan Raja Kediri yang sangat dipegang kuat masyarakat jawa yang disebutkan dengan istilah “Notonogoro”. Suatu ramalan yang boleh dibilang mencocok-cocokkan (asal gathuk). Istilah notonogoro merupakan akronim dari nama-nama Presiden Indonesia yang diklaim sudah diramalkan Jayabaya. Ramalan tersebut tentu diterima oleh karena menjadi pegangan – tradisi dari etnis dengan jumlah pemilih terbesar.

Istilah Notonogoro diklaim adalah akronim dari suku kata no, to, no, go, ro pada nama Presiden. No pertama adalah akronim dari Soekarno Presiden pertama RI. Berikut to adalah suku kata akhir dari nama Soeharto Presiden RI kedua. Jadi kalau disatukan menjadi “Noto”. Lalu no berikutnya adalah suku kata terakhir dari nama Yudhoyono Presiden RI keenam dan Mulyono nama kecil Presiden ketujuh Joko Widodo. Sementara Presiden ketiga sampai kelima tidak diklaim masuk dalam ramalan Jayabaya karena dianggap tidak cukup memimpin dalam satu periode.

Diyakni yang akan jadi Presiden di 2024 pengganti Joko Widodo adalah bersuku kata “Go atau Ga”. Setidaknya ada 3 nama Bacapres yang populer dan diklaim memiliki kecocokan dengan suku kata Go yaitu Ganjar Pranowo Gubernur Jateng. Airlangga Hartato Ketum Partai Golkar dan Gatot Nurmantyo mantan Panglima TNI. Nama-nama Bacapres lain seperti Anies Baswedan, Prabowo, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar dianggap tidak bisa diklaim masuk dalam ramalan Jayabaya karena dianggap tidak memiliki kecocokan dengan suku kata Go atau Ga.

Ramalan Jayabaya dibangun dalam frame geoetnosentris Pulau Jawa atau orang yang memiliki asal usul ikatan emosional geonologis Jawa. Mereka yang di luar jawa dianggap tidak masuk dalam radar ramalan Jayabaya. Apakah ramalan Jayabaya untuk tahun 2024 berkenan dengan akronim “Go” atau “Ga” akan terbukti ?????.

Oleh karena itu ramalan ini hanya dianggap dapat digunakan karena Jawa adalah pemilih terbesar atau 1/2 dari seluruh pemilih Indonesia sehingga jika menggunakan sentimen etnis maka ramalan tersebut berada dalam posisi dominan dan memungkinkan ada kerelaan menerimanya. Tapi tentu yang sangat menikmati manfaat saat ini dari ramalan Jayabaya adalah nama sepertu Ganjar Pranowo, Airlangga Hartato, Gatot Nurmantyo yang kebetulan memiliki suku kata Ga atau Go.

Selain pendekatan tersebut, pendekatan yang lain adalah pendekatan sejarah. Suatu upaya mencocokan spirite diri sang Bacapres dengan tempat atau kota yang dianggap memiliki pengaruh sejarah bagi pembentukan nasionalisme, pemimpin nasional – Presiden RI. Seolah kota-kota tersebut dirasa memiliki nilai sejarah yang dipercaya dapat memberikan restu untuk menjadi Presiden RI. Setidaknya ada 3 kota yang memiliki pengaruh tersebut diantaranya, Surabaya, Solo dan Yogyakarta.

Tak heran jika kita melihat selain figur yang berasal daerah – kota itu, para Bacapres lain ikut mendekatkan diri dengan kota-kota dimaksud, minimal dengan menyelenggarakan deklarasi bacapres. Tentu ini bukan suatu pandangan yang memiliki relevansi dengan kompetensi figur tetapi lebih pada upaya merebut pengaruh untuk diusung menjadi capres dan direstui menjadi Presiden. Jadi ketika kelak mereka terpilih jadi Presiden, maka dapat dicocokan dan dibenarkan bahwa merekalah yang direstui sejarah.

Di luar pendekatan di atas, pendekatan yang sangat pakem bagi kepemimpinan nasional adalah perpaduan Sipil – Militer. Pakem ini digunakan berdasarkan pertama, pengaruh kuat rezim orde baru dengan paradigma dwi fungsi militer – militeristiknya yang menghalalkan TNI berpolitik. Kedua asumsi kekuatan negara bangsa ada di tangan militer, sehingga kedaulatan negara merupakan tanggung jawab tentara.

Tanggung jawab atas kedaulatan negara diasosiasikan sebagai kekuatan yang merepresentasi rakyat atau bangsa (nasional). Bahwa politik dipahami secara konservatif sesuai pengalamannya adalah ruang pergolakan perbedaan yang potensial mengancam keutuhan negara yang datang dari dalam maupun dari luar. Dengan dasar itulah peran militer harus tetap berada dalam pentas politik nasional.

Memang tuntutan reformasi salah satunya menarik TNI ke barak meninggalkan panggung politik baik di parlemen maupun jabatan pada eksekutif. Tapi peran militer direposisi sedemikian rupa agar tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan siap pemimpin nasional atau Presiden dan Wakil Presiden RI.

Hal itu terlihat dari pengaruh militer baik dalam kepemimpinan Presiden SBY maupun Presiden Joko Widodo. Walau Jiko Widodo adalah Presiden sipil yang mengalahkan rivalnya Prabowo purnawiran tentara tetapi pada akhirnya Prabowo pun ikut bergabung dalam kabinet Joko Widodo sehingga menambah jumlah kursi menteri yang cukup signifikan berasal purnawiran jenderal tentara. Selain dukungan berasal dari kalangan purnawiran tentara yang memiliki pengaruh kuat di TNI.

Walau demikian relasi sipil-militer seringkali dikelola dalam pendekatan sejarah peran ketentaraan. Hal itu dihubungkan dengan kota-kota di Pulau Jawa yang dianggap merupakan simpul dan referensi lahirnya pendiri bangsa, pergolakan nasionalisme dan perjuangan perlawan rakyat terhadap kolonialisme.

Dalam konteks di atas maka relasi sipil – militer memiliki cukup banyak varian yang merepresentasi dari keduanya untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Misalkan untuk sipil yang dimaksud adalah ulama, cendekiawan, saudagar, feodal. Sedangkan militer yang lazimnya berasal dari kalangan purnawirawan Jenderal TNI. Bisa juga dipahami kalangan ulama, cendikiwan, pebisnis, konglomerat, feodal, ulama.

 

Berebut Pengaruh

Persaingan Bacapres lebih mengarah pada upaya “berebut pengaruh”. Siapa yang paling berpengaruh baik lewat opini publik survei maupun pengakuan dan dukungan elit politik dan elit sosial keagamaan. Pengaruh itu lebih menonjolkan jabatan dan jalinan provokasi atas identitas sang bacapres. Belum tampak terlihat sikap kritis Capres terhadap sistem politik dan berbagai ketimpangan politik demokrasi nasional.

Berebut pengaruh mengejala tidak saja melalui survei tapi pada upaya menemukan identitas sang Capres berdasarkan asal wilayahnya yang memiliki pemilih terbesar serta upaya mendapat “restu” dari tokoh-tokoh kharismatik di pusat-pusat spritualitas dan tradisi Jawa.

Bila bersandar pada fakta itu, maka pada akhirnya hasil survei tersandera oleh realitas jumlah pemilih terbesar pada Pulau Jawa. Jelas realitas tersebut akan dikapitalisasi menjadi kekuatan restu jawa. Restu jawa baik pada dukungan dari pusat-pusat ritual tradisionil dan pusat spiritualitas jawa maupun berkenan ramalan dan ucapan moral tokoh kharismatik Jawa sebagai bentuk restunya pada Bacapres.

Restu tokoh kharismatik Jawa itulah yang akan dijadikan pegang oleh elit politik dan para tim suksesi Bacapres. Sebab restu tokoh kharismatik Jawa adalah kepercayaan besar untuk mendapatkan aliran dana bagi sang Capres dan jaminan untuk memenangkan persaingan Capres 2024. Pendeknya dengan restu tokoh kharismatik jawa berarti menguasai Jawa dan Indonesia.

Setidaknya ada 3 pusat tradisi dan spritualitas Jawa yang memiliki pengaruh kuat merestui figuritas Capres yaitu Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Sultan Yogyakarta atau jika menggunakan stratifikasi sosial ada pada bangsawan, santri dan abangan sebagaimana diungkap oleh Clifford Geertz. Jika menggunakan pendekatan kota dan wilayah dalam sepktrum sejarah kebangsaan direpresentasikan Surabaya, Solo dan Yogyakarta (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta).

 

Proyeksi Kontestasi Capres 2024

Jika merunut kebelakang tentang kontestasi Capres, terdapat beberapa fenomena yang menarik dirujuk. Pertama, kontestasi diarahkan untuk diwarnai oleh dua pasangan Capres. Kedua, tidak berlebihan jika fakta kontestasi yang hanya dua pasangan Capres tersebut seperti mengisyaratkan pasangan kandidat tidak otonom berada dalam pengendalian Partai. Justru terkesan Partai cenderung mengikuti pola pembentukan pasangan Bacapres yang dikelola dan dikendalikan dari luar Partai.

Ketiga, belum ada catatan sejarah Capres yang memenangkan Pilpres adalah Ketua Umum Partai. Keempat, kemungkinan pertimbangan figur Presiden diatur tidak lepas dari frame sipil – militer. Kelima, Bacapres senantiasa diproyeksikan berasal dari daerah Jawa Tengah – Yogyakarta dan Jawa Timur. Keenam, selain Capres mendapatkan restu Jawa, sangat penting juga dilihat bagaimana restu asing atau keberpihakan pasar uang padanya.

Mari kita lihat proyeksi figur. Setelah SBY sebagai Presiden RI yang berasal Purnawiran Jenderal TNI adalah Joko Widodo yang berasal dari sipil. Namun orang-orang yang mengawal ketat Joko Widodo adalah para purnawiran Jenderal TNI yang sangat berpengaruh. Kendati TNI seringkali dihubungkan dengan masalah HAM di masa lalu namun hal itu tidak mengurangi peran tokohnya dalam panggung politik nasional.

Artinya para Capres tidak lepas dari pengaruh dan kendali kelompok mantan petinggi militer. Bila dirunut jauh kebelakang para petinggi militer tersebut adalah para kader binaan petinggi militer di rezim Orba. Mereka tidak saja Petinggi militer karena keahliannya tetapi juga sebagian adalah para pelaku bisnis dalam jaringan bisnis yang menglobal. Sehingga mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam lapangan politik dalam negeri terutama dalam hal ikut mempengaruhi dan menentukan siapa Presiden RI pasca reformasi.

Selain kekuatan politik bisnis purnawiran petinggi militer, ada kelompok saudagar – pedagang dan pialang saham global. Yang terakhir kekuatan Agamawan dan tokoh kharismatik Jawa yang memiliki basis pemilih tradisionil terbesar di pulau Jawa. Jika dikelompokan kekuatan yang mengitari seorang presiden Joko Widodo adalah purnawiran petinggi militer, saudagar dan agamawan serta tokoh kharismatik jawa.

Olehnya itu bila diproyeksi bagaimana kontestasi Capres 2024 ?. Tentu jawabnya adalah mereka yang ada pada restu tiga kekuatan tersebut. Restu kelompok berpengaruh dalam klan militer, restu agamawan dan tokoh tradisionil kharismatik jawa dan restu saudagar. Ketiga restu itu dibungkus menjadi satu dan diberi nama restu Jawa. Ketiga restu itu juga menjadi penentu restu asing.

Dari peta restu Jawa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan dalam kondisi normal maka proporsionalitas pasang Capres yang muncul dimungkinkan sebanyak 2 – 3 pasang yang bersaing di Pilpres 2024. Yaitu pasangan yang direstui mantan petinggi militer, direstui agamawan dan tokoh kharismatik jawa serta restu para saudagar. Lalu bagaimana kalau kondisi tidak normal ?…..

 

*** Penulis adalah Pegiat Parliament Responsive Forum (Pamor)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *