Oleh:

Abu Rery

 

SABUROmedia — Hamzah Sahal, dalam sebuah artikel  beliau sempat berkisah yang kisah itu beliau ambil dari buku “Berangkat Dari Pesantren” disana beliau mengisahkan perjumpaan yang manis antara KH. Syaifuddin Zuhri dan tokoh timur yang satu ini. Ya, beliau adalah A.M. Sangadji. Kisah ini terjadi saat ada perjumpaan antara KH. Saifuddin Zuhri yang saat itu mewakili partai Masyumi dan A.M. Sangadji yang saat itu mewakili partai PSII.

Pak A.M. Sangadji-lah, buka kiyai Saifuddin dalam tulisan beliau. Satu-satunya pemimpin yang memelihara kumis melintang, potongan kumis yang trade mark A.M. Sangadji, kata beliau dalam menggambarkan kisah perjumpaan itu.

Beliau mengisahkan kisah ini sebab dalam perjumpaan beliau dengan A.M. Sangadji  dalam suatu rapat umum partai Masyumi. Saat itu Kiai Syaifuddin menjadi pembicara untuk mewakili Masyumi sementara A.M.Sangadji mewakili partai PSII. Setelah Kiai Syaifuddin habis menyampaikan orasinya terkait Masyumi yang saat itu menolak perjanjian Linggarjati, sebab-sebab menolaknya beliau menyampaikan semuanya secara lugas walaupun ada pengangganggu dari perwakilan Persindo tetapi beliau berhasil dan menyampaikannya dengan baik.

Kini giliran A.M. Sangadji yang harus ber-orasi mewakili PSII, rupanya teriakan-teriakan itu semakin tidak terkendali. Disini Kiai Syaifuddin menggambarkan bagaimana sosok A.M. Sangadji, beliau memuji A.M.Sangadji sebagai tokoh yang pandai dalam berpidato seperti para tokoh-tokoh PSII yang lain. Semisal Tjokroaminoto dan  H.Agus Salim ditambah dengan perawakan-nya yang tinggi dan tegap membuat orang-orang begitu betah untuk menyimak pidato beliau.

Brengosee, Brengosee, Brengosee, suara itu menggema tatkalah A.M.Sangadji berdiri dan menaiki panggung. Cara-cara yang dilakukan anak-anak muda dari partai Pesindo ini rupanya tidak membuat A.M.Sangadji panik. Justru beliau dengan gagah tetap naik ke panggung untuk menyampaikan pidatonya. Tetap sebab beliau dari Maluku dan tidak paham dengan teriakan-teriakan para pemuda ini, beliau-pun menunjukan gesture ketidaktahua-an beliau kepada  kiai Syaifuddin.

Kumis… kumis, kata Syaifuddin. Oo, kumis saya ini toh, Kata Sangadji sambil di-pilin pilin kumisnya. Gaya A.M.Sangadji direkam betul oleh Kiai Syaifuddin dalam buku beliau.

Siapa yang benar-benar lelaki, merasa dirinya lelaki mari maju kesini, A.M.Sangadji kemudian menantang mereka satu per-satu tampil kedepan, siapa yang berani? Tanya beliau. Sinar mata A.M.Sangadji begitu kuat, tatapan beliau begitu tajam pada tiap anak muda itu. Hal itu membuat para tentara Sabilillah dan Hizbullah segera naik dan melingkari podium.

Rupanya tantangan A.M.Sangadji ini mampu membuat anak-anak muda yang ada saat itu terdiam, mereka tidak mampu berbuat apa-apa dan berbicara apa-apa. Yel-yel mereka yang tujuannya mengganggu jalannya pidato sang Jago Toea justru di bungkam dengan tantangan yang langsung datang dari sang jago toea.

A.M. Sangadji atau nama lengkapnya Abdul Moetolib Sangadji lahir tanggal 3 Juni 1889, beliau lahir di pulau Rohomoni, Haruku Maluku Tengah. Beliau adalah anak raja pada negeri Rohomoni, bapaknya bernama Abdul Wahab Sangadji dan ibunya Sitti Pattisahusiwa.

Perlawanan A.M. Sangadji sudah tertanam sejak beliau masih remaja, melihat ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat pribumi membuat A.M.Sangadji gerah dan membuat perlawanan kecil-kecilan. Saat  itu yang bisa mengenyam bangku sekolah hanya mereka kaum bangsawan dan mempunyai darah ningrat, A.M.Sangadji berada pada posisi ningrat. Ayahnya seorang raja pada negerinya membuat beliau bisa mengenyam bangku sekolah yang hal itu tidak dirasakan oleh kawan-kawan sejaman-nya.

Mengenyam pendidikan pada Hollandsche Inlandsche School (HIS). Lanjut ke Meer Uitgebreid Lager (MULO). “Orangnya suka membuat gaduh di dalam kelas dengan teman-teman sekelasanya yang saat itu berdarah Belanda dan China.” Begitu kesaksian yg ditulis oleh pak Sam Habib Mony dalam buku: Menuju Indonesia Merdeka, yang ditulis oleh beliau.

Sebab tidak mendapatkan persetujuan sang ayah untuk melanjutkan sekolahnya ke Jawa membuat A.M.Sangadji memilih untuk bekerja dengan Pemerintah Hindia Belanda di kota Saparua, pulau Ambon baru kemudian bisa hidup di Jawa usia beliau ditempatkan di Surabaya.

Pergaulan A.M.Sangadji terbilang luas, di tahun 1905 beliau sudah tertarik dan ikut bergabung dengan Sarekat Dagang Islam yang membersamai para tetua SDI mulai dari Samoenhudi sampai H.O.S.Tjokroamnioto.

Sebab pergaulan dengan Sarekat membuat beliau mendapatkan pandangan-pandangan baru terutama soal kolonialisme dan pandangan Indonesia ke depan.  Sebab pergaulannya dengan pergerakan-pergerakan yang ada saat itu membuat A.M.Sangadji mendapatkan perhatian yang lebih dari tentara Hindia Belanda saat itu.

Pada tahun 1928 pada kongres pemuda ke 2  yang dilangsungkan di Jakarta, Sangadji terlibat dan sempat mencetuskan Sumpah Pemuda. Dari sana reputasinya kian baik, orang-orang semakin menghormatinya, terlebih, Sangadji begitu pandai beretorika dan berpidato ini menjadi nilai untuk A.M.Sangadji saat itu.

A.M.Sangadji kemudian balik ke kampong halamannya di tahun 1932, disana A.M.Sangadji kemudian membawa narasi-narasi optimisme soalan Indonesia, membangun kembali pondasi kebangsaan itu kepada puda-pemuda yang ada dikampungnya. Bukan hanya itu, A.M.Sangadji kemudian membersamai sang kakak, Abdullah Sangadji, mendirikan pendidikan Sekolah Madrasah di kampong halamannya. Hal ini rupanya mendapatkan tanggapan yang positif dari masyarakat setempat. Mereka mendukung apa yang sudah dimulai oleh A.M.Sangadji dan sang Kaka Abdullah Sangadji.

Sekolah ini tidak sempat digunakan sebab sering diintai oleh pemerintah Hindia Belanda, saat itu A.M.Sangadji sudah mendapatkan posisi yang baik dalam partai Sarekat Islam. Yakni pimpinan Lajnah Tanfidziyah menggantikan H.O.S. Tjokroaminoto.

Sering diintai membuat A.M.Sangadji tidak patah semangat, beliau terus bergeriliya selama pulang kampong, Iha,Luhu, Ketapang, Olas bahkan Ani yang berada di pulau Seram Bagian Barat beliau kunjungi dan membangun Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pertama disana. Tetapi sekolah ini juga berhenti sebab kekurangan tenaga guru.

A.M.Sangadji, sendiri bukan hanya bergeriliya dalam soalan pendidikan. Tetapi beliau juga ikut serta dalam mengokrdinir kaum buruh kala itu, hal ini diungkapkan oleh Sejarawan Soedjono Hardjosoediro, beliau mongkordinir kaum buruh hingga sopir di masa pergerakan. Rumahnya yang terletak pada jalan Molenvliet adalah tempat kumpul para pemuda dan sopir yang ingin belajar agama disana.

Disaat daerah Jawa sudah mengetahui kemerdekaan bangsa ini, gegap kemerdekaan itu terasa dimana mana, sayangnya diluar Jawa belum mengetahui bahwa negaranya telah merdeka, A.M.Sangadji tidak diam, beliau kemudian mengumpulkan masyarakat dan menyampaikan kabar kemerdekaan dari Samarinda sampai Banjarmasin, Kalimantan Timur.

Manuver sang Jago Toea tercium,  Beliau kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Banjarmasin.  Tetapi penjara tidak membuat beliau untuk diam. Hal ini bisa kita lihat selepas beliau dibebaskan, beliau kemudian kembali ke Jawa dan lanjut berjuang disana.

Perjuangan A.M.Sangadji sangat membekas pada tiap-tiap kita, apalagi perjuangannya dengan Sarekat Islam beliau membersamai para tokoh-tokoh nasional kala itu. Bahkan kalau kita lihat sejarah buku Tandhim Sarekat Islam, yang menulis adalah beliau, A.M.Sangadji. hal ini juga diceritakan oleh beberapa orang dalam buku maupun artikel, semisal dalam  buku yang ditulis Ustadz Nuim Hidayat.

Beliau menulis dengan begitu baik saat-saat pak Tjokro bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw, dalam catatan yang Ustadz Nuim hidayat tulis, saat pak Tjokro bermimpi berjumpa dengan Rasulullah, saat itu A.M.Sangadji berada disampingnya sembari menulis apa yang diucapkan Pak Tjokroaminoto dalam mimpi itu.

Buku itu kemudian di waktu berikutnya menjadi buku tafsir program Asas dan program Tandhim Partai Sarekat Islam Indonesia.

A.M. Sangadji wafat pada saat agresi militer pertama Belanda, beliau meninggal saat setelah melaksanakan Ibadah shalat, sang jagoe toea berpulang dengan gagah dihadapan rabb-Nya.

 

*** Penulis adalah Mahasiswa Semester Akhir Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN SUKA Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *