Oleh ;
Rusdi Abidin
SABUROmedia — Memasuki tahun kedua periode kedua kepemimpinan Joko Widodo, sudah terlihat geliat usung – mengusung bacapres dari sejumlah Partai koalisi kekuasaan. Geliat itu tentu berkaitan dengan hasil survei elektabilitas tokoh oleh sejumlah lembaga survei. Namun geliat mengusung Bacapres dari Partai (terutama terlihat partai Golkar dan Nasdem) sepertinya tidak dilepaskan dari faktor pengaruh Joko Widodo sebagai Presiden. Padahal sebelumnya sekelompok orang dalam lingkaran kekuasaan getol mengkampanyekan Joko Widodo 3 periode dan amandemen UUD untuk kepentingan mengusungkan Joko Widodo 3 Periode.
Tabloid Tempo edisi 15 Agustus 2021, merilis sejumlah hasil survei elektabilitas bacapres dari lembaga survei. Hasil survei Charta Politik menempatkan tiga nama figur dengan elektabilitas siginifikan. Kader PDIP Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (GP) 16,2 persen, Pendiri P. Gerindra Menhan RI Prabowo Subianto (PS) 14,8 persen, Gubernur DKI Jakarta usungan PKS Anis Baswedan (AB) 14,6 persen. Sementara lembaga Survei Sigi menggambarkan hasil Anis Baswedan (AB) diurutan pertama 18,7persen diikuti Ganjar (GP) 16,5 persen.
Dari hasil itu sangat mungkin dirujuk oleh Partai Golkar selain mengadang-gadang Ketua Umumnya Airlangga Hartato (AH) sebagai Capres, Golkar juga berusaha menggaet GP. Demikian halnya Partai Nasdem yang sebelumnya menggadang AB juga berminat menggaet GP. Intinya kedua Partai tersebut berusaha menggaet figur yang memiliki kecenderungan elektabilitas besar. Berbeda dengan PDIP dan Partai Gerindra terlihat belum bersikap. Demikian Partai – Partai Agama – nasionalis PKB, PAN masih terkesan adem. Sementara Partai Demokrat masih fokus dengan Ketua Umumnya.
Menggeliatnya Partai Golkar, Partai Nasdem sejak dini dapat dipahami. Sebab lazimnya upaya menggaet figuritas bacapres di luar kader bisa menjadi strategi ekspansionis untuk menggalang dukungan massa dan elektabilitas Partai dalam persaingan Pileg 2024.
Ketika Golkar berusaha menggaet GP itu berarti ada keinginan besar dari Partai tersebut untuk meraih kursi lebih legislatif RI di Jawa Tengah yang menjadi basis terbesar PDIP.
Memang tidak bisa dikatakan bahwa strategi tersebut mengandung unsur penyimpangan dan penyelewengan etik politik. Karena lagi-lagi kebebasan politik menjadi tameng alasan untuk menutupi langkah partai yang telah diambil. Namun harus digarisbawahi peran etik partai yang harus dikedepankan adalah memberikan keteladanan dalam mengelola figuritas Capres. Bagaimana pun yang dipertontonkan oleh Partai tersebut jauh dari etik demokratik. Lebih menyenangi sikap ugal-ugalan, pragmatisme, saling memakan (homo homonilupus) antar Partai. Mengembangkan iklim adu-domba dalam internal partai orang untuk masuk menggaet kader Partai tertentu demi hasrat berkuasa. Sikap yang dijalankan, karena dilatari oleh relasi kapital uang dan jejaring oligarki.
Kampanye Gelap dan Isu Pencitraan
Hasil survei elektabilitas adalah salah satu instrumen isu untuk mengagregasi opini pencitraan figur politik demi tujuan meraih kursi kekuasaan. Jika mencermati saksama – kritis, survei elektabilitas bukanlah kegiatan tunggal atau terpisah dari kegiatan politik isu kekuasaan. Melainkan serangkaian kegiatan yang memiliki fungsinya masing-masing dengan tujuan utamanya satu. Karenanya yang mengelola survei adalah juga relasi kekuasaan (grup kekuasaan) yang dimodali untuk memobilisasi isu – opini di media sosial dan media massa.
Dalam konteks itu, dapat dilihat suatu rangkaian yang dimulai dari menggarap Joko Widodo untuk dipersiapkan menjadi Presiden, melindunginya sebagai Presiden hingga mamantapkan sikapnya untuk mendukung bacapres yang sudah dipersiapkan oleh salah satu kelompok kekuasaannya yang dominan sebagai penggantinya. Maka dalam proses desain tersebut ada terselip praktik “politik busuk” untuk mendapatkan ruang pengelolaan kekuasaan yang lebih kuat dan luas. Tentu dengan memanfaatkan kelengahan kepemimpinan Joko Widodo, mereka mengelola isu, kontra isu untuk menyerang, membungkam kelompok kritis dan oposisi serta sebaliknya melindungi dan meningkatkan citra kekuasaan. Isu-isu yang dipakai seperti mereka kelompok berkuasa pancasilais, cinta NKRI, toleran, pro perbedaan dst. Sebaliknya kelompok kalah dalam pilpres, kritis dan oposisi adalah kelompok radikal, teroris, intoleran, tidak pancasilais, anti NKRI dst. Itu adalah pola isu yang diciptakan untuk memberi batasan dembarkasi yang jelas siapa teman dan siapa lawan. Siapa tokoh lawan, siapa tokoh moderat dan siapa yang teridentifikasi potensial bisa diambil menjadi kawan kelompok kekuasaan.
Praktik busuk juga terindikasi dari model memoles figuritas kekuasaan dengan dandanan ragam atribut agar seolah memiliki tema yang merepresentasi tokoh pro rakyat jelata, pro adat, dan membela kaum lemah, tokoh nasionalis dan seterusnya. Praktik yang direkomendasikan oleh lembaga survei untuk menemukan identitas yang bisa dicocokan untuk kepentingan meninggikan elektabilitas dan komersialisasi bisnis politik. Disaat yang sama mengupayakan melakukan pembusukan (kampanye gelap) pada figur lain. Atau mencoba menampilkan figur lain persis produk barang di pasar publik. Ketika menguat dan dianggap rival maka dicitrakan negatif dan dikampanyekan macam-macam isu negatif oleh buzzerp.
Kerja tebar isu dan kontra isu, manipulasi isu, rekayasa isu hingga membuat berita-berita propagandais untuk maksud melindungi kelompok dominan berkuasa dan membungkam atau menghabisi kelompok lain yang dinilai lawan, oposisi adalah mencirikan pola kerja pasar liberal. Pola kerja yang berbasis kapital uang yang distribusikan lewat jejaring oligarkis. Kerja politik tersebut memiliki resonansi dengan praktik sentralistik kekuasaan pemerintahan – etatis. Dengan kekuasaan sentralistik – etatisme (slogan negara tidak boleh kalah) seluruh sumberdaya politik dan ekonomi dikendalikan secara terpusat di satu tangan kelompok dominan berkuasa. Bukan lagi seperti di tangan kekuasaan tunggal otoriterisme seperti orba. Itu pola disesuaikan dengan iklim demokrasi agar tidak terbaca publik.
Kelompok Dominan Berkuasa
Kelompok dominan berkuasa merupakan kelompok yang menjelaskan pengaruh sejumlah orang tertentu yang kuat diantara kelompok lain mengendalikan, mengatur lalu lintas kebijakan politik pemerintahan dari figur kekuasaan eksekutif. Sayangnya kelompok dominan berkuasa pasca reformasi adalah orang-orang lama atau generasi pelanjut yang memiliki ikatan emosional dengan rezim orde baru baik dari kalangan partai, mantan petinggi militeris, birokrat – teknokratis, kelompok binaan organisasi mahasiswa dan pengusaha. Oleh Donald Horowitz menyebut mereka adalah orang dalam (ODA). Ini sebutan lain lebih spesifik dari kelompok status quo atau istilah kritis reformasi mereka disebut dengan penumpang gelap.
Mereka terlibat terutama di Partai politik sejak tahun 1998 – 2002 dan memotori reformasi konstitusional yang mendahului pemilu. Konstitusi yang disesuaikan dengan kehendak demokrasi liberal. Mereka terus mengaktori dan memboncengi reformasi 2004 – 2009. Lalu beregenerasi menyusup masuk lagi mengendalikan rezim lewat partai politik ke periode-periode berikutnya. Mereka membawa ciri praktik kepemimpinan orba yang otoriterian – otokratis dan sangat personalitik. Dengan itu mereka mampu membuat kelompok oposisi menjadi lemah dan terkotak-kotak.
Kelompok dominan berkuasa menciptakan banyak relasi politik melalui ikatan politik kapital uang. Banyak loyalis dan massa bayaran. Sebagian dilatih untuk masuk merusak opini kritis tokoh oposisi. Sesekali menggunakan institusi hukum untuk memenjarakan lawan. Membentuk sel-sel politik kompromistis dst. Intrik untuk memandekan keputusan parlemen bila tidak menguntungkan. Memutarbalik fakta menjadi isu politik minor untuk menyerang mereka yang dianggap lawan. Propagandais untuk maksud mengadu adu domba dengan memanfaatkan sejarah kelam politik bangsa, isu agama, etnis, pri non pri yang potensial untuk melindungi kepentingan berkuasa.
Dari sejumlah ciri tersebut mengindikasi kesamaan yang dilakoni oleh kelompok oligarki orba. Secara konsepsional, praktik politik busuk memiliki asumsi “perang konvensional” dengan menempatkan relasi sosio antropologis sebagai basis pemetaan relasi kawan dan lawan atau musuh penguasa. Dalam pemetaan tersebut digambarkan ulama dan mahasiswa kritis adalah musuh dan harus diuber. Bangsawan, kaum feodal dan pengusaha harus dirangkul. Lawan ditaklukan dengan sedapat mungkin penaklukan bisa diterima sebagai kisah herois.
Tanggung jawab atas kewenangan yang diberikan penguasa pada kelompok dominan berkuasa pada gilirannya harus memiliki nilai tambah herois sehingga memberikan daya dukung memobilisasi opini untuk pencitraan sejumlah figur yang didesain (marketabel). Mereka tidak persoalkan asal muasal figur dari partai yang penting bisa sejalan dengan agenda kelompoknya. Kader partai atau bukan kader bukanlah yang subtansial. Sebab partai bagi kelompok dominan berkuasa adalah kenderaan politik yang berfungsi menghantarkan kepentingan berkuasa.
Capres Oligarki
Partai-partai besar yang berupaya melakukan ekspansionis pasar konstituen demi meraih elektabilitasnya pada Pileg 2024 dengan cara menggaet tokoh-tokoh di luar Partai untuk diusung dalam bursa pencapresan partainya merupakan ciri dari praktik pasar politik liberalis. Tujuan utama dari praktik tersebut semata berkuasa dan mengendalikan kekuasaan monopolistik, melindungi motif mengejar rente dari para pemodal dan pejudi uang internasional.
Partai- partai tersebut dikendalikan kuat bukan oleh Ketua Umum Partainya semata tetapi sekelompok orang atau beberapa orang yang dominan berkuasa dalam suatu rezim penguasa politik. Mereka bisa seperti itu, karena memiliki relasi megabisnis dan dukungan kapital uang untuk membiayai operasi politik kekuasaan. Mereka juga memiliki akses untuk membangun jejaring oligarki untuk mewadahi pembiayaan politik baik legislatif maupun eksekutif (Capres).
Praktik jejaring oligarki digunakan untuk mengalirkan kapital uang yang tujuan akhir adalah memenangkan kelompok dominan berkuasa pada sejumlah figur kekuasaan yang telah diusung partai. Artinya mereka akan membiayai sejumlah pengelolaan Partai, pendirian partai baru dan capres termasuk penyelenggara pemilu. Skenario politik akan dimulai dari desain hitung-hitungan statistik pemilu, pencitraan atau pasar elektabilitas tokoh hingga proyeksi hasil.
Di dalam skenario tersebut sudah termasuk langkah seperti diungkapkan Horowitz, mereka sebagai aktor politik memperhitungkan sederet mitra politik, bahkan lintas garis perselisihan agar bisa mencapai agenda-agenda mereka. Dengan alasan mengurangi intensitas perbedaan kelompok maka diciptakan suatu sistem pergaulan bebas politik multikutub yang relatif aman. Termasuk menciptakan sistem kepartaian yang kompleks (multipartai) yang difungsikan sebagai sebab dan alasan pengurangan konflik. Cara yang dipilih untuk menekan kaum reformis untuk melakukan penyederhanaan sistem kepartaian.
Mereka (kelompok dominan berkuasa) telah membaca bahwa realitas politik nasional mengandung bakat perpecahan yang bercorak banyak kutub. Bacaan itu tidak lepas karena pengalaman mereka menjadi bagian dari tokoh dan generasi yang terlibat sebagai klan orang dalam (ODA) yang mengidentifikasi diri sebagai para reformis konstitusional Indonesia, memilih institusi-institusi yang mengokohkan multipolaritas baik dalam politik kepartaian maupun relasi kelompok.
Jika mencermati proses dan ciri pengusungan bacapres (yang berasal dari orang di luar kader partai) oleh sejumlah partai yang berasal dari partai koalisi kekuasaan maka mengisyaratkan akan ada upaya kelompok dominan berkuasa mengulangi desain kesuksesan mendukung Joko Widodo. Pilihan itu diambil apabila kemungkinan besar kampanye Joko Widodo tiga periode mandek dan gagal total. Sebuah desain kompromistis berbasis kapital uang dengan mengadang-gadang capres sebagai figur nasionalis. Namun jauh dari dalam desain itu lebih bercorak oligarkis.
*** Penulis adalah pemerhati demokrasi lokal Unpatti