Oleh :
Pdt Daniel Wattimanela
SABUROmedia, — Saat mengikuti kuliah Teologi PL dari Dr. A. N. Radjawane, beliau menjelaskan apa arti hikmat. Menurutnya, hikmat adalah “hati yang dengar dan dengar” pada Tuhan. Orang Ambon bilang, “hati yang dengar-dengaran” pada Tuhan. Bukan telinga, tetapi hati yang mendengar; “dengar dan dengar”.
Salomo rupanya belajar dari pengalaman ayahnya. Meskipun ayahnya seorang raja yang beken, tetapi Daud kehilangan rasa hormat, kewibawaan karena bicara dan lakunya berbeda.
Jadi kita butuh hikmat supaya kita menjadi tanda kehadiran Tuhan, terutama dalam tugas dan tanggung jawab kita.
Orang menaruh respek, ada wibawa dalam diri kita, karena bicara dan laku sama. Istilahnya mungkin “konsisten”. Dan itu salah satu ciri Tuhan; tetap, tidak berubah, dalam dinamika yang terus bergerak. Jadi orang bisa melihat ‘konsistensi” dari Tuhan dalam diri kita. Mereka melihat Tuhan dalam jejak hidup kita.
Gereja pun begitu. Gereja dihormati, orang menjadi respek pada Gereja, Gereja menjadi kudus di tengah dunia, kalau [gereja] bicara dan laku sama. Gereja Abad Pertengahan pernah mengalami badai, hampir runtuh, karena kata dan laku berbeda.
Tapi Salomo ternyata hanya konsisten di awal. Beberapa waktu, setelah ia bangun Bait Allah yang beken itu, ia pun jatuh seperti ayahnya. Bahkan dia kemudian menjadi salah satu raja terkejam dalam sejarah Israel. Di masa anaknya, Rehabeam, Israel pecah menjadi dua.
Memang benar, fajar hanya sebentar. Sesudah itu, panas terik, dan semua akan terbenam. Salomo, bahkan Soekarno, Sang Putra Fajar, pun demikian.
Yang bertahan, adalah yang konsisten. Salah satu…, TUHAN.
Salam,
*** Penulis adalah Pendeta Gereja Protestan Maluku