SABUROmedia, Ambon – Pakar Hukum Tata Negara IAIN Ambon Dr. Nasaruddin Umar, S.H.,M.H. turut menyikapi keputusan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman memerintahkan TNI menurunkan baliho Habib Riziq Shihab dan Pangdam III Siliwangi Mayjen TNI Budi Wiryanto yang juga sudah menginstruksikan untuk membantu Satpol PP untuk melakukan pembongkaran untuk menurunkan Baliho yang tidak tertib termasuk milik HRS, seperti yang dilansir detiknew, selasa (24/11/2020). Selain mengacaukan sistem ketatanegaraan Indonesia juga berpotensi ancaman serius atas kemerdekaan hak-hak sipil warga negara.
Menurut Nasaruddin Umar tindakan pengerahan militer atau TNI di ruang publik akan menciptakan kegaduhan dan mengancam hak-hak sipil tidak tepat dilakukan selain dalam konteks mengoperasikan TNI untuk militer dan non militer dan sebagainya harus dengan izin Presiden tetapi juga tindakan subjektif pada jabatan pimpinan TNI disuatu wilayah seperti pangdam tidak diberikan autoritas oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sebab dalam ketentuan Pasal 3 UU RI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI telah ditegaskan bahwa dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Selanjutnya dipertegas pula dalam Pasal 17 UU TNI bahwa kewenangan dan tanggung jawab pengerahan TNI berada pada Presiden.
Secara filisofis UU RI No. 34 tahun 2004 tentang TNI juga telah mengaskan TNI sebagai alat pertahanan NKRI menurut Nasaruddin Umar memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Tugas utama tersebut tidak dapat ditafsirkan subjektif seorang panglima untuk mengambil keputusan sendiri tanpa izin presiden.
Maka segala tindakan TNI tidak bisa dilepas-pisahkan dari kebijakan atau ketentuan hukum nasional, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil dan hak asasi manusia seperti yang diamanakan secara filosofis dalam konsideran menimbang huruf d UU TNI, papar Nasaruddin Umar, Selasa (22/11/2020).
Menurut Nasaruddin Umar, secara yuridis Tugas pokok TNI diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU RI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI diantaranya melakukan operasi militer untuk perang, operasi militer selain perang, mengatasi gerakan saparatisme bersenjata dan pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamnkan wilayah perbatasan, obyek vital nasional yang bersifat strategis, membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dan lain-lain. Namun demikian pelaksanaan tugas TNI harus didasarkan pada kebijakan politik negara bukan atas keputusan subjektif seorang panglima sebab, hal ini didasarkan pada Pasal 5 UU TNI bahwa TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, demikian pula dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI tersebut disebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Keputusan dan kebijakan politik negara secara hukum tata negara dan pembentukan hukum nasional dikeluarkan oleh autoritas dari Presiden kepala negara maupun dilakukan bersama DPR.
“Karena itu maka tindakan Pangdam Jaya yang memerintahkan pasukannya melakukan pencabutan baliho HRS termasuk melakukan operasi rutin harus didasarkan oleh ketentuan hukum nasional, tidak tepat menterjemahkan langsung bahwa guna menegakkan kedulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan rakyat, bangsa dan NKRI maka pimpinan TNI dapat serta merta memerintahkan pasukannya untuk keluar untuk melakukan tindakan penegakan hukum atau penertiban baliho dengan mengerahkan pasukan dan alat militer. Sebab akan beresiko terjadi konflik horisontal masyarakat dengan TNI itu sendiri,” katanya.
Menurutnya, disinilah substansi utama mengapa segala tindakan yang mengatasnamakan TNI harus mendapat izin presiden sesuai kebijakan politik hukum negara sebab secara konstitusional Presiden memiliki kekuasan autoritatif atas TNI sebagaimana diatur pasal 10 UUD NRI Tahun 1945 menegaskan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Udara. Hal tersebut juga secara sistimatis melekat pada salah satu tugas Presiden menyatakan keadaan bahaya seperti yang diamanahkan Pasal 12 UUD NRI tahun 1945.
“Sehingga penggunaan institusi TNI dibatasi secara konstitusional secara ketat dalam hal apa TNI bisa digunakan untuk mencegah adanya upaya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) institusi militer untuk kepentingan politik seperti kudeta, pelanggaran HAM, dan lain-lain,” karenanya dalam konteks negara hukum diterapkan prinsip keabsahan atau Rechtmatigheid bahwa tindakan pemerintah harus sesuai dengan hukum dalam konteks TNI harus adanya wewenang yang cukup untuk bertindak dan dalam bertindak tidak boleh melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Dapat dibayangkan jika tindakan sepihak tanpa izin presiden TNI seorang pimpinan TNI setiap saat bisa mengerahkan pasukan militernya untuk tujuan tertentu hanya atas perintah pimpinan TNI secara kewilayaahan akan menciptakan ancaman serius terhadap keselamatan rakyat, kedaulatan negara, termasuk bisa mengancam keselamatan kepala negara jika disalah gunakan,” tegasnya.
Karenanya, menurutnya sudah jelas bagi kita bahwa yang membatasi langkah gerak maju TNI hanyalah dengan konstitusi dan undang-undang karenanya tidak bisa atas dasar permintaan Satpol PP atau harapan untuk membantu tugas satpol PP melindungi rakyat bukan aturan harus diatur dengan sebuah kewenangan dan batas-batas pembatasan kewenangan, sebagai konsekuensi Indonesia menganut supremasi of law.
Lebih lanjut, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa pertahanan negara dalam konteks UU TNI harus dimaknai sebagai segala upaya untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara. Artinya ada sifat restriksi hukum adanya pembatasan kewenangan penggunaan institusi negara hanya dalam konteks pertahanan negara atas ancaman bersenjata militer dan ancaman bersenjata seperti saparatis, terosis itupun secara mandatori keputusan itu melalui perintah Presiden sebagai kepala negara.
Dengan demikian, dari sisi kepentingan bangsa dan negara institusi TNI tidak diharapkan masuk pada wilayah autoritas publik dan aktivitas sipil untuk menjaga marwa TNI sebagai pelindung rakyat dan mencegah penyalahgunaan kewenangan atau detournement de pouvoir dan tindakan semena-mena atau willikeur demi melindungi kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum pancasila yang diatur dalam konstitusi, ” tutup Nasaruddin Umar.(SM)