Oleh: Abdul Karim Tawaulu*
SABUROmedia, Ambon – Gelombang peradaban terus bergerak maju menepi ke setiap sudut penjuru dunia.Disinyalir awal abad ke-7 merupakan titik star bangkitnya peradaban Islam. Melalui gerakan-gerakan pemikiran yang ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu agama, filsafat, tarikh (sejarah), linguistic, sastra, dan ilmu-ilmu eksata. Era pencerahan ini muncul pada masa Umawiyah dan puncak
kejayaan pada masa empirium Abbasiyah. Cahaya peradaban ini mengalami terang-redup dalam eksistensinya. Pengaruh besar yang melandasi pasang-surut arus peradaban besar ini ditengerai oleh perseteruan politik dua kekuasaan Islam tersebut. Walaupun demikian, perjalanan kehidupannya terus melaju hingga mampu melintasi benua dan selat, menembus tiap lekuk dunia ini.
Indonesia yang saat itu masih bernama Nusantara tidak luput dari paparan cahaya peradaban fenomenal itu. Pada abad ke-19 melalui Ahmad Darwis yang kemudian berganti nama menjadi KH. Ahmad Dahlan membawa kado tersebut ke tanah kelahirannya di Kauman dianggap sebagai awal kebangkitan peradaban islam. Maka melalui kontemplasi dan masukan-masukan kontruktif dari syaikh Ahmad Surkati, pada tahun 1912 tepatnya tanggal 18 bulan November didirikanlah perkumpulan sosial-keagamaan yang diberi nama Muhammadiyah. Nama ini sendiri dinisbatkan kepada Rasulullah SAW sebagai center of excellence-nya “madaniyah al-islamiyah peradaban
Islam). Dengan didirikannya perserikatan ini, kefakuman dan kejumudan dunia islam tanah Jawi perlahan mengalami transformasi. Salah satu pilot project perkumpulan ini adalah pemberantasan takhyul, bid’ah, dan khurafat (TBC), pembebasan (freedom), kesetaraan
pendidikan, dan akses sosial-keagamaan. Walau terjadi resistensi (penolakan) dari pada ulama tradisional yang terusik status quonya, namun pergerakan ini terus berkembang hingga ke seluruh penjuru tanah air, tak terkecuali Maluku.
Lahirnya gerakan keagamaan ala Muhammadiyah di atas panggung sejarah keagamaan Islam di Indonesia merupakan peristiwa sosial-budaya biasa. Yakni peristiwa sosial-budaya bernafaskan keagamaan Islam, yang merupakan “eksperimen sejarah” yang cukup spektakuler, khususnya untuk ukuran saat itu.
Jejak Sejarah Muhammadiyah Maluku
Di Maluku jejak sejarah Muhammadiyah memang agak sulit dilacak secara material. Namun petilasan ini dapat digali pada tutur sejarah para tokoh dan dokumen-dokumen kecil yang ada pada di anak keturunan para mubalignya. Dalam tutur A. Haji Latua (ketua PWM periode 2015 – 2020), beliau menyatakan bahwa Muhammadiyah masuk di Maluku dibawa oleh dua mubaligh bernama Saleh Kastor dan Raden Saparwi setelah ikut dalam Kongres di Makassar pada tahun 1932 M. Sementara sumber lain menyatakan (dalam tesis Hajar Latuapo), Muhammadiyah di Ambon (Maluku) kehadirannya memiliki hubungan dengan Firma Abdullah Lie sebuah perusahaan pelayaran yang melayani pengiriman logistik di jalur Ambon-Manokwari pada tahun 1930-an. Firma ini milik Haji Mohammad Abu Kasim, seorang Muslim keturunan etnis China. Haji Mohammad Kasim mengenal Muhammadiyah melalui majalah Suara Muhammadiyah, yang biasa dipesan oleh Haji Misbach di Manokwari. Dari sinilah muncul gagasan merintis gerakan Muhammadiyah di Ambon. Ia berhasil meyakinkan kawannya yang bernama Auw Yong Koan, seorang Muslim keturunan China. Kemudian ada Abdurrahman Didin, seorang perawat di Rumah Sakit Militer di Ambon. Akhirnya pada sekitar tahun 1930-an, gagasan untuk mendirikan Muhammadiyah di Ambon berhasil terwujud. Adapun Haji Mohammad Abu Kasim, Auw Yong Koan, dan Abdurrahman Didin merupakan tokoh-tokoh perintis sekaligus menjadi pengurus
pertama Muhammadiyah di Ambon.
Muhammadiyah secara struktural baru tertib pada tahun 1950. Tertib struktural ini ditandai dengan pendirian SMP dan SMA Muhammadiyah Ambon yang dipelopori oleh lima tokoh utamanya, yakni H.Hamid Bin Hamid, Muhammad Pattisahusiwa, Muhammad Amin Ely, Abd Latif Latuconsina, dan KH Ali Fauzi. Kebangkitan amal usaha Muhammadiyah pertama ini merupakan “hibah” sosial dari persatuan muslim Indonesia (permi) zona Maluku. Warna Kemuhammadiyahan Kader Maluku.
Setelah dikukuhkan oleh Buya Hamka pada tahun 1933, Muhammadiyah terus melebarkan sayap dahwahnya. Ciri dakwah bil hal dengan pendirian amal-amal usaha sebagai basis gerakan. Walau dalam kesempatan tertentu dakwah bi al-lisan dengan penekanan pada konsep purifikasi ketauhidan juga digalakkan. Lewat sanggar-sanggar seni, lembaga-lembaga pendidikan, majelis- majelis taklim, kajian rutin subuh, bahkan khutbah Jumaat pesan al-ruju ila al-Qur’an wa al- sunnah “dikampanyekan”. Pada masa ini, dengan mengandalkan kemampuan keilmuan, orasi, dan pemahaman keagaman Kiai Ali Faiuzi secara kontinyu digalakkan.
Dalam dealektikanya, dakwah amar ma’ruf nahi munkar (amnar) yang digawangi Kiai Ali Fauzi mengalami desakan, ancamam, dan penolakan serius dari umat dan tokoh agama saat itu. Sama seperti di Kauman sebagai basis diasporanya. Kehadiran organisasi bersimbol matahari ini dianggap sebagai aksi removals bagi praktek tradisionalisme keislaman yang sudah lama berkembang. Namun aksi-aksi demikian tidak menyurutkan semangat Kia Ali Fauzi, H. Hamid, dan kawan-kawan dalam meniupkan nafas pembaharuan kepada umat. Era ini menurut Alfian dalam desertasinya yang berjudul “Islamic Modernism Indonesia Politics: The Muhammadiyah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1942”) disebut sebagai “The Years of Trial and Rapid Development”-tahun-tahun cobaan dan perkembangan yang cepat.
Disebut demikian karena tantangan yang dihadapi kala itu berat. Turbulensi yang paling fenomenal adalah sinkretisasi dan tekanan ideologi eksternal. Dan itu terus terjadi sepanjang periodik. Pada masa kehidupan Kiai Ali Fauzi dan kawan-kawannya dapat disebut sebagai
golden age sekaligus sebagai masa tantangan. Namun tantangan-tangan tersebut merupakan lokomotif yang akan terus memacu gerbong dakwah terus menderu.
Tantangan yang tumbuh dari dalam (intern), bagi Muhammadiyah merupakan representasi dari komitmennnya dalam menderukan gerakan amar ma’ruf nahi mungkar (amnar), sedangkan tantangan dari luar (ekstern) pada diri Muhammadiyah merupakan sebuah pengesahan terhadap basik tajdid sebagai lokus dakwah pembaharuan. Inilah yang dapat kita sebut sebagai Rapid Development. Di tengah naiknya ritme tekanan, tapi kondisi tersebut justeru menghadirkan berkah bagi gerakan dakwah; perkembangan yang terus menanjak naik. Seperti pendulum yang ditekan dalam satu posisi, tapi pada posisi yang lain justeru naik. Namun cahaya (nur) kebangkitan ini perlahan meredup setelah para punggawanya mengakhiri masa tugasnya di bumi, dipanggil oleh Allah SWT. Terakhir yang dipanggil adalah Kiai Ali Fauzi (Allah yarham) pada tahun 2013 silam. Mangkatnya tokoh kharismatik ini turut memberi andil terhadap corak dan warna kemuhammadiyahan para kader di Maluku. Walaupun hal ini bukanlah satu-satunya indikator.
Jika ditelisik lebih detil memang agak berbeda corak kemuhammadiyahan Maluku, bila dibandingkan dengan corak yang ada di Jawa atau Indonesia wilayah barat. Yang paling menonjol dari warna tersebut adalah pola interaksi sosial, ghiroh ideologisasi, dan model gerakan
dakwah “amnar”.
Interaksi sosial. Dapat disebut kalau pola interaksi kader Maluku tidak sama-mata inklusif, tapi sifatnya akulturasi, dan asimilatif. Kita tidak bisa membedakan mana kader Muhammadiyah dan mana non kader. Dalam pergumulan sosial tidak ada brand khusus yang dapat menjadi pembeda. Ada semacam pola akulturasi intim, yakni antara tradisionalistik dengan mazhab pembaharuan yang diderukan Muhammadiyah. Sehingga tidak heran kalau dalam kegiatan-kegiatan kultural semacam tahlilan, istigosah, maulidan, rawi barjanzi, dan lain-lain kader-kader Muhammadiyah juga terlibat aktif (partisipatif).
Fenomena ini diakui oleh PP Muhammadiyah. Bahwa ada yang khas dalam pola kemuhammadiyahan di Maluku. Kalau dalam pandangan Azyumardi Azra disebut “munu”. Apa itu munu? Muhammadiyah-NU. Artinya organisasinya boleh Muhammadiyah tapi corak social religiusnya Nahdhatul Ulama.
Orientasi berorganisasi juga menjadi salah satu faktor. Apakah bermuhammadiyah hanya sekadar berkumpul, bermuhammadiyah hanya untuk memantapkan planing politik dan akses jabatan tertentu di kemudian hari, ataukah memang berserikat dalam perserikatan ini sekadar untuk meneguhkan basic akademik. Frame-frame ini yang tampak dalam warna kemuhammadiyahan Maluku saat ini. Ghiroh ideologisasi. Memang tidak bisa disangkal bahwa kita hari ini sedang dalam tren kemunduran ideologi kemuhammadiyahan. Terlihat jelas ada pergeseran ideologi secara radikal. Konsepsi tarjih, tajdid, mengalami kemunduran. Yang hidup justeru hari ini adalah formulasi
ta’awun (tolong menolong). Satu konsep baharu yang digagas pada tanwir Bengkulu 2018 sebagai respon atas dinamika sosial-politik tanah air jelang pemilihan presiden 2019 lalu. Banyak faktor yang memengaruhinya. Mengapa sampai terjadi hal tersebut (deideologisasi).
Pertama, terjadi kemandegan gerakan. Kader-kader Maluku hanya berhenti pada ritunitas saja, konsep tarjih wa tajdid hanya pada tataran praktis-tidak melebur masuk dalam jantung ideologi. Alhasil fatwa-fatwa majelis tarjih dan tajdid tidak terinternalisasi dalam pola hidup dan dakwah. Kedua, tidak ada self adjustment; penyesuaian diri terhadap dinamika sejarah dan peradaban. Kita malas menambah koleksi pengetahuan dalam pikiran. Terkesan take of granted. Puas dengan keadaan dan menganggap ideologi merupakan sesuatu yang sunnah untuk diaktualisasikan. Padahal organisasi manapun di dunia ini, ideologi adalah hal yang wajib dimiliki oleh para “penganutnya”. Ini ciri khas, brand, merek, dan warna yang dimiliki yang menjadi pembeda antar organisasi. Walau hal ini dianggap subjektif, tapi tapi itu realitasnya.
Ideologi merupakan basis penerjemahan atas konsep-konsep agama yang tumbuh dalam masyarakat. Ideologi adalah karakter sekaligus cara pandang yang akan mengkanvasi jalan atau cara dalam berdakwah. Sehingga yang tampil bukan sekadar beda, tapi lebih dari itu sebagai modal mengaktualisasikan ajaran, prinsip, dan pemahaman kemuhammadiyaan; yakni Islam yang bebas syirik, ketauhidan puritan, dan Islam berkemajuan. Ketiga, terjebak pada konsep teologi tradisional. Ini yang nampak jelas pada aktivitas gerakan kader Muhammadiyah Maluku. Dalam pandangan Din Syamsudin, disebut sebagai ritualisme.
Kita terjebak pada aksi-aksi normatif; menyemarakan pendirian AUM tapi kering dari nilai dan ideologi. Kemuhammadiyahan simbolik. Ini seperti sindiran Nabi SAW kepada manusia akhir zaman, yakni banyak masjid didirikan tapi hanya sekadar bangunan, berislam tapi hanya sekadar nama, dan Qur’an ada tapi hanya tinggal tulisannya.
Konsep teologi tradisional ini yang melahirkan kejumudan. Padahal kalau hendak mengembangkan pikiran Muhammad Abduh mestinya harus dikembangkan teologi rasional. Muhammadiyah diposisikan dalam kerangka Islam pembaharuan. Kader harus aktif sebagai
subjek pergerakan yang non-mistik. Tidak melihat Islam sebagai barang mati yang tidak bisa disentuh oleh tangan sejarah. Tidak duduk di menara intelektual kemudian berfatwa saja, akan tetapi terjun aktif dalam menjawab problematika keummatan plus kebangsaan. Ayat-ayat Allah diartikulasikan dengan pikiran rasional sehingga tidak kaku dan tekstuil.
Kalau perintah Allah SWT, “yarfa’illahu allaziina aamanu minkum wallaziina uutu al-ilmi darajaat”- Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah: 11), maka jangan dipahami secara tekstual saja. Bukan sekadar membangun lembaga pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi, tetapi “al-ilmi darajat”. Kontekstual aplikasinya yang ditawarkan Allah.
Bahwa bukan sekadar menunut ilmu. Mesti ada peningkatan derajat ketakwaan agar keilmuan tidak mengikis nilai ketakwaan kepada-Nya. Iya takwa itu ideologi jika disederhanakan. Saat AUM kependidikan dibuka, maka di dalamnya dihidupkan ideologi, para santri dan siswa
disiapkan sebagai dai-dai Muhammadiyah kelak yang akan mengawal ideologi tersebut serta mentransferkannya ke tengah kehidupan masyarakat Islam.
Model ini kemudian berpengaruh signifikan pada arus pergerakan dakwa “amnar”. Kader Maluku kehilangan warna ini. Yang dimaksudkan dengan “amnar” meminjam istilah Haidar Nasir adalah “al-umur al-duniawiyyah” yakni urusan keduniawian yang harus dilandasi nilai- nilai ajaran Islam sekaligus ranah ijtihad dalam pelaksanaannya.
Gerakan ini merupakan pola asimilasi antara aspek diniyyah dengan aspek sosial kemasyarakatan. Sehingga tidak semata-mata pola dakwah “amnar” mengesampingkan yang lain dan meneguhkan yang lain. Bukan semata melirik soal-soal ibadah ritual, tapi juga
mengejewantahkan nilai-apilikatif dari ibadah mahdhah tersebut. Sehingga Muhammadiyah bukan semata gerakan teologi, juga bukan pergerakan sekuler. Muhammadiyah menempatkan posisi teologi sebagai basis fundamental dakwah, dan gerakan sosial kemasyarakatan sebagai tindakan aplikatif atas ayat-ayat teologi itu.
Fighting Budaya
Disadari sungguh bahwa memang budaya merupakan faktor inhern dari manusia Nusantara (Indonesia). Budaya bagi orang-orang Indonesia merupakan agama kedua setelah agama mainstreamnya. Pengaruh kebudayaan lokal masih eksis hingga detik ini. Bahkan dalam kondisi tertentu terjadi “perkelahian” antar keduanya. Di satu sisi agama (Islam) hadir sebagai removals (pengikisan) praktek kebudayaan yang kontra terhadapnya, tapi di sisi yang lain kebudayaan tersebut telah menjadi bagian unifik dari kehidupan masyarakatnya. Pada posisi seperti inilah kita sering melihat ada format sinkretisisme sebagai cara untuk mengkompromikan perbedaan dua produk tersebut. Ini wajar sebenarnya dalam dinamika kehidupan manusia. Manusia hakikatnya makhluk yang konvensionalistik, sehingga selalu ada kreatifitas dalam gerak hidupnya. Namun proses elaborasi-kreatifitas ini justeru menghasilkan masalah baru, yakni memudarnya originalitas Islam. Sedangkan tujuan di-nuzulul-kan risalah ini oleh Allah untuk mengubah pandangan manusia, memperbaiki kehidupan jahiliah, dan megembalikan manusia pada fitrah-asalnya, yakni sebagai hamba tauhid (QS. Al-’A’raf:172).
Maluku sebagai negeri kepulauan menyebabkan pola interaksi antar manusia berjalan secara kooperatif. Pola ini tumbuh akibat dari perasaan se-genealogik (sedarah). Orang Maluku punya keyakinan primordial bahwa mereka berasal dari satu “batang air”, sumber asal yang sama, yaitu alifuru. Ini yang membuat jaringan interaksi tidak kompetitif seperti halnya suku-suku lain di luar Maluku. Model kebudayaan ini kemudian terbawa hingga ke kehidupan beragama dan berideologi. Keunggulan budaya telah menyeret orang Maluku dalam satu pusaran homogenistik. Merasa sama, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng patah dua, dan baku kele sama-sama. Dalam bermuhammadiyah terasa corak kebudayaan sangat kuat. Boleh dikata “tidak ada orang Muhammadiyah tulen di Maluku”. Ini memang khas dan unik. Saat berada di jamaah Muhammadiyah, dia akan berlaku Muhammadiyah. Tapi saat berada di masyarakat (tradisional)
dia juga akan berlaku tradisionalis. Sehingga jangan heran kalau melihat kader Muhammadiyah juga ada yang tahlilan, istigosah, qunutan, maulidan, dan yasinan.
Ini fighting budaya atau yang disebut local wisdom. Akar kebudayaan sangat kuat mengikat sehingga berpola pada praktek keagamaan. Fighting bukan secara harfiah adalah perkelahian, akan tetapi kekuatan (power) pembentengan atas “serangan” kebudayaan atau ideologi yang dianggap baru. Termasuk Muhammadiyah. Muhammadiyah hadir di negeri seribu pulau saat penduduknya sudah matang dengan kebudayaan lokalnya. Apalagi pohon pengajaran para sufi sedang tumbuh subur di negeri ini. Bekas-bekas peninggalan para guru yang dihargai dan dihormati sebagai limpahan berkah pada saat itu terlestarikan dengan baik. Saat datang Muhammadiyah, masyarakat merasa sebagai ancaman bagi kelestarian jejak-jejak mubaligh tersebut. Warna sufisme yang melekat pada praktek keberislamanan masyarakat Maluku kala bertemu dengan warna rasionalis-modernisme Muhammadiyah menyuguhkan pola pembauran yang sulit untuk dideteksi. Di satu sisi bermuhammadiyah untuk menemukan satu formula baru dalam Islam, tapi di satu sisi lagi sulit meninggalkan tradisionalistik yang mendarah secara generatif.
Artinya pola ini telah menjadi warisan mulia secara turun temurun, sehingga kader Muhammadiyah selalu menghadapi tantangan psikologi saat kembali ke komunitasnya (kaum tradisional). Lalu bagaimana kalau ajaran Muhammadiyah dipaksa untuk diterapkan? Tentu ini tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan ada adigium konyol, “lebih baik disuruh memindahkan bukit ketimbang disuruh menghapus tahlilan”. Ini tantangan yang dihadapi oleh para kader di Maluku. Bagaimana ajaran Muhammadiyah dapat diterima oleh masyarakat namun tidak meninggalkan kebudayaan lokal yang telah mengakar itu. Lalu apa yang mesti dilakukan?
Pertama, apa yang dipraktekan oleh Kiai Dahlan dijadikan sebagai legitimasi untuk menkompromikan keduanya. Alat musik biola yang digunakan Kiai Dahlan dalam mentrasferkan pesan Islam kepada murid-muridnya merupakan pengakuan atas kebudayaan Nusantara kala itu. Artinya Muhammadiyah tidak menciptakan jarak dengan kebudayaan masyarakat, selama produk manusia tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga saat beliau kenakan pakaian adat Jawa dalam mengajar. Padahal saat itu justeru ulama-ulama sepuh Kauman sedang gandrungi gamis Arab sebagai pakaian kebesaran mereka. Ini yang kemudian membuat pertanyaan para peneliti Barat, “sebenarnya siapa yang lebih tradisional? Kiai Dahlan ataukah para ulama sepuh itu? Siapa yang lebih mencintai budaya Jawinya. Kiai Dahlan atau mereka?”. Jadi bukan sekadar mengakulturasikan, tapi lebih pada asas kompromi.
Kedua, memisahkan budaya dengan ajaran Islam yang sifatnya mutlak. Hal-hal yang merupakan rana ijtihad dapat diterima sebagai bagian dari ekspresi religius manusia, dan mana yang merupakan persoalan prinsipil teologi yang harus dibebaskan dari pengaruh tradisi. Misalnya
dalam sholat. Sholat secara mutlak merupakan kewajiban fundamen sebagai konsekuensi dalam berislam harus terpenuhi syarat dan rukunnya. Tidak boleh ditiadakan hanya karena urusan adat dan tradisi. Seperti yang ada di beberapa perkampungan yang memosisikan sholat dalam rana adat sehingga kedudukannya tidak lagi fardhu mutlak tapi menjadi kifayah. Ketika para tetua sudah melaksanakannya, maka masyarakat awam terbebas dari kewajibannya. Model kedua ini dapat disebut sebagai pola filterisasi, mana yang masuk kategori budaya, dan mana ajaran Islam yang prinsipil yang tidak bisa dikompromikan. Wallahu a’lam.
(*) Sekretaris PD Muhammadiyah Kota Ambon.