Oleh: Haedar Nashir

SABUROmedia, – Berbagai ikhtiar yang dilakukan organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah maupun kelompok warga di tingkat lokal untuk mencegah perluasan sekaligus memutus rantai penularan Covid-19 telah banyak dilakukan. Muhammadiyah sebagaimana MUI bahkan telah mengeluarkan fatwa agar menunaikan ibadah shalat di rumah, serta fatwa antisipatif untuk hadapi Ramadhan dan Idul Fitri dengan segala rangkaiannya. Intinya tarawih dan kegiatan ibadah di masjid dapat dilakukan di rumah masing-masing, idul fitri dapat ditiadakan jika keadaan sampai dua bulan ke depan masih darurat Corona.

Pemerintah daerah seperti DKI Jakarta sebagaimana diberitakan sudah meminta izin kepada pemerintah pusat untuk karantina wilayah. Beberapa daerah sampai ke tingkat lokal menerapkan “karantina wilayah” terbatas atau sesuai dengan kondisi setempat.

Namun keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan terus tanpa satu kebijakan nasional yang berlaku umum sebagaimana prinsip Negara Kesatuan. Karennya pemerintah pusat perlu mencermati perkembangan nasional ini secara seksama untuk mengambil kebijakan nasional yang tegas demi penyelamatan bangsa.

Jika setelah dikaji secara seksama beradasarkan masukan para ahli yang objektif dan demi mencegah penularan Covid-19 secara meluas, sebenarnya cukup bijaksana jika pemerintah pusat mempertimbangkan pemberlakuan karantina wilayah atau apapun namanya yang berlaku secara nasional, baik dengan merujuk pada UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan maupun dibikin Peraturan Presiden atau landasan hukum lainnya.

Dengan prinsip negara kesatuan dan demi penyelamatan bangsa, sebenarnya pemerintah memiliki dasar kuat untuk mengambil langkah dan kebijakan nasional untuk mencegah perluasan sekaligus memotong rantai penularan wabah Covid-19. Korban tertular dan meninggal sudah banyak, saatnya penyelamatan nasional untuk bangsa lebih diutamakan.

Tentu segala sesuatu maupun dampaknya dapat dimasukkan dalam pertimbangan dan pelaksanaan kebijakan itu, termasuk dampak ekonomi khususnya dalam melindungi warga masyarakat pekerja harian dan mereka yang tidak mampu. Setiap kebijakan selalu ada plus-minus, tetapi negara harus benar-benar hadir di saat rakyat dan kepentingan nasional tengah membutuhkan solusi.

Pemerintah dan segenap kekuatan bangsa dapat bekerjasama dalam menangani masalah seberat apapun demi kepentingan rakyat. Kami berharap para elite dan kekuatan partai politik maupun pejabat negara lainnya menunjukkan komitmen dan keprihatinan yang tinggi untuk meringankan beban rakyat dan melakukan ikhtiar bersama hadapi wabah pandemi ini. Sungguh saatnya semua pihak membuktikan diri bela rakyat dan cinta Indonesia.

Saatnya semangat persatuan Indonesia dan gotongroyong yang selama ini menjadi kebanggan nasional dibuktikan di kala krisis seperti sekarang ini. Jika semua pihak memiliki political will atau niat yang kuat disertai ikhtiar optimal secara bersama-sama maka beban seberat apapun akan dapat dihadapi dan disangga bersama dengan lebih ringan.

Memang setiap musibah selalu berat dengan sejumlah dampaknya, tetapi jika semuanya ikhlas dan bersungguh-sungguh mencari jalan keluar diserta spirit kebersamaan maka akan selalu ada solusi meskipun tidak ideal. Dalam suasana seperti sekarang sebaiknya kedepankan pula keluhuran ruhani dengan saling bekerjasama dan tidak saling menyalahkan, mau menerima kritik dan masukan dengan lapang hati, serta tidak kalah pentingnya semua berbuat nyata memecahkan masalah.

Jika tidak dapat memberi jalan keluar, sebaiknya saling menahan diri untuk tidak menambah berat masalah. Kita sungguh empati menyaksikan para petugas kesehatan dan para sukarelawan yang terus berkhidmat di garis depan dengan segala resiko dan pengorbanannya dalam berbuat untuk kemanusiaan. Maka kita yang berada dalam posisi dan peran masing-masing dapat memaksimalkan ikhtiar untuk berbuat yang terbaik untuk hadapi musibah Covid-19 ini.

Kita semakin menyadari di tengah gelombang musibah global ini kuasa manusia tidak ada yang digdaya, semuanya terasa kecil dan nisbi. Semoga kita sebagai bangsa beriman semakin bertaqwa dan dapat mengambil ibrah seraya terus bermunajat kepada Allah SWT agar dengan Rahman-Rahim dan Kekuasaan-Nya dapat meringankan dan mengeluarkan kita dari musibah besar ini. (**)

Pengunaan UU Keadaan Bahaya Tidak Tepat dan Tidak Sejalan Dengan Spirit Konstitusi

Oleh: Fahri Bachmid

SABUROmedia, Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengkritisi rencana Presiden Jokowi yang bakal menerapkan kebijakan darurat sipil untuk mengatasi wabah virus corona yang kian meluas di Indonesia.

”Penerapan undang-undang darurat sipil dalam penggunaan pembatasan sosial skala besar (PSSB) untuk mengatasi covid-19 ini menurut saya tidak tepat dan tidak sejalan dengan spirit konstitusi, dan prinsip negara hukum demokratis, ujar Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/3/2020).

Darurat sipil ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 Tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Namun, Fahri Bachmid menilai, sangat tidak kondusif apabila Perppu tersebut diterapkan jika dilihat dari aspek kebutuhan, fungsi, peranan, dan historisnya,

”Hal ini dapat kita kaji dan telaah secara mendalam dan cermat dengan pendekatan yang lebih komprehensif atas penggunaan pranata hukum itu, baik pada elemen filosofis, sosiologis, serta yuridis atas Perpu ini,” tandas Fahri Bachmid.

Menurut Fahri Bachmid, hakikat keberlakuan Perpu No. 23/1959 sesuai naskah penjelasan pemerintahan presiden Soekarno dalam dokumen penjelasan UU No. 23/1959 terkait keadaan perang atau bahaya waktu itu. Dengan demikian, lanjut dia, spirit dasar serta filosofi dibentuknya Perpu No. 23/1959 adalah lebih ditekankan pada aspek pertahanan dan keamanan Negara,

”Sehingga corak dan karakteristik hukum Perpu itu sangat militeristik sesuai keadaan kebutuhan negara pada saat itu yang memang mengutamakan stabilitas dan integrasi , tukasnya.

Selain itu, pada aspek fungsi Perpu No. 23/1959 ini, Fahri Bachmid, menjelaskan sejak kelahirannya memang tidak dirancang untuk mengatasi dan menanggulangi bencana yang sifatnya non alam sebagaimana Covid-19, yang merupakan epidemi maupun wabah penyakit. Perpu tersebut, lanjut dia, lebih berorientasi untuk pertahanan dan keamanan negara, sehingga unsur-unsurnya lebih kepada keadaan darurat negara yang bersifat fisik, seperti darurat sipil, militer dan perang.

Menurut Fahri Bachmid, dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Perppu tersebut berbunyi ”Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari Wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan darurat perang, apabila :

Pertema, Keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

Kedua, Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

Ketiga, Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Selanjutnya ketentuan Ayat (2), mengatakan bahwa penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang., berdasarkan tafsir secara sistematis atas ketentuan norma pasal serta ayat dari Perpu tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada sama sekali norma serta kaidah yang mengatur tentang penanganan bencana non alam sebagaimana diatur dalam UU RI No. 24 Tahun 2007 Tentang Penangulangan Bencana.

Fahri Bachmid, menyebutkan bahwa sesuai rumusan serta definisi yuridis dalam ketentuan pasal 1 point 4 yaitu: bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam, antara lain berupa gagal teknologi, modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Dengan demikian, katanya, baik dari segi historis maupun sistematis sesuai teori perundang-undangan Perpu No. 23/1959 tidak dikonstruksikan termasuk untuk mengakomodasi keadaan yang berhubungan dengan pendemi serta wabah penyakit, sehingga menjadi tidak relevan jika diterapkan dalam menghadapi Covid-19 ini.

Fahri juga membeberkan kelemahan fungsional lainya dari Perpu No. 23/1959 ini adalah terletak pada substansi untuk kepentingan Covid-19 karena Perppu itu tidak mengenal penerapan protokol kesehatan sebagaimana prinsip International Helath Regulations (IHR) tahun 2005. Padahal, pemberlakuan keadaan darurat sipil harus sesuai peruntukannya untuk mengatasi keadaan objektif yang terjadi, sehingga menjadi penting untuk dilihat segi-segi kaidah pendekatan dan penyelesainnya,

Kelemahan lainnya adalah substansi materi Perpu No. 23/1959 ini juga terletak pada ruang lingkup jangkauan dan struktur Kekuasaan Penguasa Darurat Sipil (PDS), baik pada tingkat pusat maupun daerah, karena masih berdasar pada konsep dan paradigma ketatanegaraan yang lama. Sebab secara materil dan normatif, kata Fahri, segala kekuasaan dan penguasa darurat sipil termasuk produk kebijakan tidak dapat dinilai atau di “chalens”oleh Pengadilan atau kekuasaan yudikatif, serta tak dapat diawasi/dikontrol oleh DPR.

”Sebab berdasarkan struktur ketatanegaraan yang lama sebelum UUD NRI Tahun 1945 diamandemen, disebutkan bahwa kedudukan Presiden yang hanya betanggung jawab kepada MPR, tentunya hal ini tidak lagi relevan dengan khasanah kehidupan ketatanegaraan saat ini sesuai prinsip negara hukum demokratis, serta demokrasi konstitusional,” tukas Fahri Bachmid,

Fahri Bachmid, kemudian menyarankan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Covid-19 agar berbagai pranata pengaturan terkait keadaan bahaya dapat diatur sedemikian rupa dan sejalan dengan spirit konstitusionalisme serta keadaan ketatanegaraan kontemporer saat ini. Menurut dia, jika Perppu dikeluarkan Presiden nantinya dapat mengatur lebih komprehensif berbagai aspek, mulai dari struktur organisasi serta penguasa darurat sipil yang lebih demokratis sesuai kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan yang lebih berorientasi pada instrumen hak asasi manusia, pertanggung jawabannya, pola hubungan relasi pusat dan daerah dalam konteks penaganan Covid-19, sistem pengendalian dan seterusnya,

Tak sampai di situ, materi muatan Perpu juga dapat mengatur lebih cermat tentang postur APBN untuk alokasi anggaran penanganan covid-19, penundaan Pilkada serentak, pengaturan tentang logistik, pembatasan sosial berskala besar dengan instrumen sanksi yang jelas, pengaturan tentang Pelibatan organ negara strategis seperti TNI/Polri serta oraginasi negara strategis lainnya seperti BIN/Bais dan lain-lain. Begitu juga dengan pengaturan tentang bantuan internasional dan kerjasama strategis internasional dalam penanganan covid-19; serta tenggat waktu pemberlakuan keadaan darurat sipil;

”Semua aspek serta ruang lingkup materil seperti ini harus diatur dalam sebuah rezim “rules” yang berbentuk Perpu saat ini. Secara konsepsional Perpu ini dimaksudkan untuk mengatasi keadaan yang tidak normal “state of emergency, etat de siege, atau state of exception” dan agar berbagai unsur pengaturan yang telah dinormakan dalam beberapa perundang-undangan sektoral dapat diadopsi masuk kedalam Perpu ini nantinya, seperti beberapa pengaturan yang ada didalam UU RI No. 24 Tahun 2007, UU RI No. 6 Tahun 2018, UU RI No. 4 Tahun 1984, UU RI No. 34 Tahun 2004, UU RI No. 2 Tahun 2002, serta beberapa UU dibidang kesehatan lainya dapat disinergikan untuk membuat materi Perpu yang lebih cocok serta sejalan dengan kehidupan ketatanegaraan saat ini, serta berwatak dan berkarakter penanganan serta penyelesaian Covid-19, pungkasnya. ”Secara doktrinal dalam ilmu Hukum Tata Negara Darurat “noodstaatsrecht” atau “staatsnoodrecht” pemberlakuan suatu keadaan darurat “state of emergency” memberikan justifikasi kepada presiden untuk mengambil tindakan yang diperlukan serta terukur untuk mengatasi keadaan yang tidak normal itu. Pemerintah harus segera memutus kebijakan yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan keadaan ini. Memang hal ini membutuhkan kecermatan dan kehati-hatian, tetapi presiden harus mengambil kebijakan berdasarkan kewenangan konstitusionalnya,” katanya. (SM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *