SABUROmedia — Seratus hari pertama memimpin sebuah provinsi seperti Maluku, yang kaya potensi namun sarat tantangan, selalu menjadi momen penting yang ditunggu-tunggu. Namun, bagi Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa dan Wakil Gubernur Abdullah Vanath yang baru dilantik, seratus hari kerja bukanlah sekadar periode transisi biasa.
Kondisi ini adalah ujian berat di tengah badai krisis warisan yang multidimensi. Mereka tidak hanya dituntut untuk langsung berlari, tetapi harus langsung berjibaku menghadapi gelombang besar yang mengancam stabilitas dan pembangunan daerah.
Sejak hari pertama, kepemimpinan baru ini dihadapkan pada realitas pahit, krisis fiskal akut. Defisit anggaran dan beban hutang SMI (Sarana Multi Infrastruktur) yang signifikan dari kepemimpinan sebelumnya, menjadi jerat yang menggerogoti ruang gerak fiskal.
Hutang ini bukan sekadar angka di laporan, melainkan beban nyata yang membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program vital dan investasi pembangunan. Efisiensi yang diterapkan, meski mungkin diperlukan, ternyata berujung pada mandeknya transfer daerah tidak langsung.
Ibarat memotong aliran darah ke organ-organ vital pemerintahan di tingkat tapak, menghambat pelayanan dasar dan program prioritas di kabupaten/kota, serta menciptakan frustrasi dan ketidakpastian birokrasi.
Belum sempat menarik nafas, ujian kedua lebih panas langsung menghadang, saat konflik sosial meletup di beberapa wilayah. Kerusuhan antar warga di Kei Kecil, Pulau Ambon, hingga Pulau Seram, bukan sekadar berita buruk, melainkan ancaman langsung terhadap stabilitas, keamanan, dan kerukunan hidup masyarakat yang merupakan fondasi segala pembangunan.
Mengelola konflik yang sensitif dan kompleks ini membutuhkan kearifan, kecepatan respon, dan kemampuan diplomasi tingkat tinggi di tengah masyarakat yang masih menyimpan trauma dan luka lama. Menjaga perdamaian dan memulihkan kepercayaan menjadi tugas mendesak yang menyedot energi dan sumber daya, jauh sebelum agenda pembangunan reguler bisa berjalan optimal. Sebab akar konflik sosial ini memerlukan pendekatan jangka panjang yang holistik.
Ada beberapa poin yang saya kira patut diapresiasi, dimana Gubernur HL berhasil melakukan terobosan di tengah keterbatasannya. Pertama, HL berhasil meyakinkan pemerintah pusat untuk mengganti Ambon New Port yang mandek dengan PSN Maluku Integrated Port.
Ini bukan sekadar ganti rugi untuk kegagalan PSN Ambon New Port, melainkan sebuah kemenangan diplomasi kebijakan yang signifikan. Proyek ini memiliki potensi besar menjadi game changer bagi perekonomian Maluku, membuka pintu investasi, perdagangan, dan konektivitas yang lebih luas. Keberhasilan ini menunjukkan kemampuan membangun relasi dengan pusat dan menyakinkan mereka tentang visi strategis Maluku di tengan keterbatasan.
Kedua, dari aspek advokasi kebijakan dan penguatan ekonomi kelautan, HL memimpin 45 anggota DPRD Maluku memprotes Permen KKP tentang Penangkapan Ikan Terukur yang merugikan nelayan lokal. Selain menuntut keadilan akibat regulasi merugikan daerah, tujuannya untuk mendorong hilirisasi dan industrialisasi perikanan modern non-eksploitatif guna meningkatkan pendapatan daerah.
Ketiga, HL mencoba menerapkan strategi defensif di tengah krisis fiskal, termasuk dalam mereformasi birokrasi. HL menginstruksikan jajarannya untuk berhati-hati mengelola fiskal dan fokus pada belanja yang berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan, dan mengalihkan anggaran tersisa ke program pro-rakyat. Selain itu dia mereformasi birokrasi dengan mengganti sistem rekrutmen eselon dengan meritokrasi, guna memutus praktek dan mata rantai “jabatan titipan”.
Saya melihat strategi komunikasi publik HL juga tidak terlalu banyak “gimmick”, laiknya beberapa kepala daerah yang mengejar rating popularitas. Ini mungkin karakter leadership HL yang cenderung kalem, law profile, namun bergerak dan bekerja dalam diam. Justru ini yang sesungguhnya efektif dalam strategi.
HL lebih sering turun ke lapangan ketimbang bicara di balik podium, atau di sorot kamera wartawan. Saat konflik sosial pecah, ia menjadi “titik temu” bagi pihak bertikai. HL juga cukup cakap dalam membangun relasi dan kolaborasi baik horisontal maupun vertikal. Dia intens bergerak membangun sinergi dengan DPRD, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Jakarta untuk mengompensasi defisit anggaran.
Seratus hari kerja hanyalah babak awal pemerintahan HL-AV bekerja di tengah badai. Di tengah defisit anggaran, utang menumpuk, dan konflik sosial, mereka membuktikan bahwa pemerintahan yang low-profile tetapi high-impact bisa menghasilkan terobosan. Dari PSN Maluku Integrated Port hingga reformasi birokrasi berbasis meritokrasi.
Perjalanan mereka masih panjang. Keberhasilan lima tahun ke depan akan ditentukan oleh kemampuan mereka mengubah PSN menjadi katalis pertumbuhan, memperkuat PAD, dan menjadikan Maluku contoh pembangunan inklusif di daerah krisis. Karena itu, menyebut mereka gagal juga sangat tidak adil.
Seratus hari hanyalah sebuah angka simbolik, kilometer pertama dalam sebuah maraton kepemimpinan yang panjang dan berliku. Tantangan yang dihadapi hari ini adalah warisan masa lalu yang solusinya tidak bisa diwujudkan dalam sekejap. Janji-janji politik memerlukan waktu, konsistensi, dan ruang fiskal yang lebih sehat untuk diwujudkan.
*** Penulis adalah Mantan Jurnalis dan Kader Partai Gerindra Maluku