Oleh :
Dr. M. J. Latuconsina., S.IP., MA
SABUROmedia — Sosok Charles Rozell Swindoll adalah seorang Pendeta Kristen Evangelis, berkewarganegaraan Amerika Serikat. Ia juga dikenal luas sebagai seorang penulis, dan pendidik. Pada suatu kesempatan ia mengungkapkan bahwa, ”jika kamu berkeinginan untuk mencapai keunggulan dalam hal-hal besar, kamu perlu mengembangkan kebiasaan dalam hal-hal kecil. Keunggulan itu tidak terkecuali adalah sikap.” Qoutesnya tersebut relevan dengan ulasan ini, dimana sikap menjadi sesuatu yang bernilai, untuk maju tidaknya suatu organisasi perkantoran, yang sangat ditentukan dari karakter orang-orang yang bekerja didalamnya, agar dapat mengindari office politics (politik kantor), yang tidak menyehatkan.
***
Terlepas dari itu, kemana dan dimana saja kita selaku insan manusia berada, tidak akan terlepas dari politik. Banyak kalangan para thinker (pemikir), yang ekspert dalam bidang politik dan filsafat politik, beranggapan politik telah menghinggapi umat manusia sejak dilahirkan, kecil, tumbuh dewasa, tua sampai dengan liang kubur. Tidak salah jika kemudian filsuf kenamaan Yunani, Aristoteles (384-322 SM), dalam karyanya Politica menggambarkan manusia sebagai zoon politicon, yang berarti mahluk politik. Kata “zoon” berarti “hewan” dan “politicon” berarti politik. Secara harfiah zoon politicon berarti hewan politik.
Dalam konteks yang lebih rill politik sering di praktikan oleh orang-orang partai politik, yang memang hadir untuk wewarnai kehidupan kenegeraan dan kebangsaan dalam suatu sistem politik, untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dengan merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka orang-orang partai politik dapat bertindak untuk mengambil keputusan (decision-making) strategis dan vital, yang berkaitan dengan masalah-masalah publik, demi pencapaian kesejahteraan rakyat. Bahkan juga mereka merealisasikan plat form visi dan misi mereka, yang disampaikan saat kampanye Pemilihan Umum (Pemilu), yang tujuannya sama yakni pencapaian kesejahteraan rakyat.
Hal ini merupakan praktik yang lazim dilakukan orang-orang partai politik, dalam kehidupan kenegeraan dan kebangsaan pada suatu sistem politik. Begitu pula pada level negara di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota orang-orang partai politik juga merebut, dan mempertahankan kekuasaan melalui Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mereka merebut dan mempertahankan kekuasaan, agar juga dapat bertindak untuk mengambil keputusan (decision-making) strategis dan vital, yang berhubungan dengan masalah-masalah publik, demi pencapaian kesejahteraan rakyat negara di level lokal.
Begitu pun orang-orang partai politik tersebut mewujudkan plat form visi dan misi mereka, yang disampaikan saat kampanye Pemilu dan Pilkada, yang tujuannya sama yakni pencapaian kesejahteraan rakyat. Kondisi ini pun dilakukan hingga di level Kecamatan dan Desa/Kelurahan, dimana praktik politiknya dimainkan oleh orang-orang partai politik dan non orang-orang partai politik melalui Pemilu, Pilkada dan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Mekanisme bekerjanya mereka pada level Kecamatan dan Desa/Kelurahan, untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, tentu sesuai dengan locusnya, dimana tidak terlalu berbeda jauh dengan yang dipraktikan di level Negara, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hanya saja yang berbeda yakni, politik para birokrat dalam memperoleh jabatan Camat dan Lurah di struktur pemerintahan level Kecamatan serta Kelurahan, dimana tidak dipilih langsung oleh rakyat layaknya jabatan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota, dan Kepala Desa. Namun mereka akan bersentuhan dengan orang-orang partai politik, yang menjadi pimpinan mereka sebagai Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota. Dalam konteks demikian, tentu para birokart, memiliki strategi tersendiri. Mereka akan melakukan loby-loby politik kepada Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota, agar dapat ditempatkan untuk menduduki jabatan Lurah dan Camat.
Dalam konteks loby-loby politik mereka kepada Bupati-Wakil Bupati, dan Walikota-Wakil Walikota, dapat dimungkinkan terjadi office politics. Hal ini terjadi, jika para birokrat yang hendak menduduki jabatan Camat dan Lurah berkantor di kantor yang sama, yakni : pada dinas, badan dan bagian yang berada dilingkup Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten/Kota. Sehingga yang terjadi adalah rivalitas mereka, untuk menduduki jabatan Camat dan Lurah. Hal ini didasari oleh pangkat/golongan dan eselon yang sederajat dari para birokrat tersebut, sebagaimana disyaratkan dalam normanya untuk menduduki kedua jabatan itu.
Bahkan kalau dilakukan lelang jabatan dan job fit pun, tetap para birokrat akan melakukan loby-loby politik kepada Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota. Pasalnya para pimpinan pemerintahan ini menjadi penentu akhir, untuk menduduki kedua jabatan dimaksud. Hal ini terjadi karena dalam lelang jabatan dan job fit nilai akhir bukan merupakan indikator satunya-satunya, untuk seorang birokrat diangkat menduduki kedua jabatan tersebut. Namun relasi kedekatan antara para birokrat dan Bupati-Wakil Bupati serta Walikota-Wakil Walikota, yang sebenarnya menjadi celah seorang birokrat melakukan loby-loby politik, untuk dapat diangkat menduduki kedua jabatan tersebut.
***
Lantas Bagaimana biasanya office politics terjadi ?. Tentu office politics tidak asing dalam bidang perkantoran di tanah air, baik itu di level pemerintah maupun swasta. Office politics merupakan suatu realitas yang tidak bisa dihindarkan bagitu saja. Apalagi pada kantor yang masih kental budaya patron klien, dan belum menjadikan senior system, merit system, serta representation system sebagai ukuran dalam rekruitmen pegawai maupun jabatan. Namun sebaliknya spoil system sebagai indikator rekruitmen pegawai maupun jabatan, maka office politics akan tumbuh subur, yang biasanya para pegawai akan tersuboordinasi mengikuti pucuk pimpinan, yang menjadi aktor utama dari office politics.
Dalam situasi yang demikian akan terjadi politik klik, yang mengikuti para pimpinan mereka, yang juga diam-diam para pimpinan tersebut terjadi persaingan diantara mereka. Bagi mereka yang pekerja kantoran apakah itu di tingkat pemerintah maupun swasta, yang biasanya merasakan praktik office politics. Hal ini terjadi jika para pimpinan mereka bekerja dengan mengesampingkan aspek positif dalam dunia perkantoran yakni : akuntabilitas, transparansi, responsibilitas, independensi, dan keadilan (fairness). Sehingga kebanyakan yang terajadi adalah klik politik, yang lebih mengarah pada perkoncoan, yang bertolakbelakang dari aspek-aspek positif dalam dunia perkantoran.
Akan tetapi praktik office politics terjadi bukan lantaran dimainkan oleh para bawahan di kantor pemerintah dan swasta. Melainkan dimainkan oleh para pimpinan mereka, yang mengendaki office politics ada. Hal ini lantaran para pimpinan membutuhkan sokongan dalam bentuk loyalitas penuh dari para bawahan. Sehingga para bawahan pun menunjukkan loyalitas mereka kepada para pimpinan dengan mempraktikan office politics. Pada akhirnya yang terjadi adalah complete loyalty (loyalitas penuh) kepada pimpinan mereka, dimana tindakan yang dikehendaki oleh pimpinan, dijalankan para bawahan dikantor diluar budaya kantor yang sehat.
Hadirnya office politics pertanda para pimpinan di kantor, tidak memiliki kemampuan untuk memanajemen konflik di kantor dengan elegan. Namun sengaja dipelihara olah para pimpinan, bukan demi kepentingan umum kantor, melainkan demi kepentingan pribadi para pimpinan yang cenderung oportunis. Hal ini diperburuk dengan perilaku para bawahan, yang sudah terfaksi mengikuti para pimpinan di kantor. Dampaknya terjadi matahari kembar (twin suns) dalam kepemimpinan di kantor. Jika sudah terjadi demikian, maka pencapaian kantor sebagai suatu organisasi, akan buyar dimana tidak akan terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan memiliki kinerja yang buruk.
Kondisi ini merupakan sesuatu yang tidak menyehatkan dalam atmosfir perkantoran, lantaran terjadi rpersaingan dari tinggkat pimpinan hingga bawahan, yang sewaktu-waktu dapat berakibat pada konflik terbuka. Pada titik ini, sebenarnya para atasan mereka telah gagal memaknai substansi dari leadershif (kepemimpinan) di kantor. Dimana sejatinya leadershif menurut George R. Terry (2018) adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, aktivitas mempengaruhi orang-orang untuk bekerja sama secara sadar dalam hubungan tugas, berusaha untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela. Dalam kondisi ini telah diabaikannya kolektifitas dan kolegialitas secara holistik di kantor demi office politics, yang tidak menyehatkan tersebut.
Relevan dengan itu, Jennie M. Xue, salah seorang kolumnis internasional, serial entrepreneur dan pengajar bisnis berbasis di California, Amerika Serikat dalam tulisannya berjudul : “Mengelolah Politik Kantor” di Tabloid Kontan edisi 16-22 Feberuari 2015 lalu mengatakan bahwa, jika Anda pernah bekerja di kantor, pasti mengenal adanya office politics alias “politik kantor”. Wujudnya bisa berupa aksi sikut menyikut dan berbagai fitnah yang menjadi makanan sehari-hari. Namun, setiap organisasi mempunyai kultur yang berbeda, sehingga kadar kekentalan politik kantor juga tidak sama.
Apa yang dikemukakan tersebut, sering terjadi pada kantor-kantor pemerintah dan swasta. Karakter buruknya adalah saling sikut menyikut dan fitnah. Dalam pandangan orang awam, ini terjadi karena mereka yang bekerja di kantor tidak bertindak profesional. Dimana untuk mendapat jabatan dilakukan dengan cara-cara yang tidak santun, seperti : menarik simpati pimpinan secara tidak obyektif, sampai menebar fitnah antar sesama pegawai. Jika para pimpian bertelinga “tipis”, maka hancurlah karier para pegawai yang mengalami fitnah tersebut, dimana mereka dibebas-tugaskan dari jabatan yang diembannya. Hingga tidak memiliki peran sama sekali dalam roda birokrasi kantor.
Menghadapi buruknya office politics tersebut, para pimpinan yang profesional dan yang bertindak sehat, serta rasional dalam menajemen kantor, akan mengambil langkah-langkah yang bijak. Diantaranya, dimulai dari diri mereka sendiri yang memilik posisi sebagai pimpinan. Hal ini dilakukan dengan memposisikan diri mereka untuk bekerja secara profesional, yang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, tanggungjawab, dan wewenang sebagaimana norma yang diatur dalam oragnisasi kantornya. Upaya ini dilakukan sebagai cara menstabilisasi kantor yang lebih baik, sebelum ditindaklanjuti pada level bawahan. Pasalnya dengan mekanisme ini para pimpinan kantor menegakkan marwah kantor dihadapan para bawahannya.
Selanjutnya upaya berikutnya dilakukan para pimpinan kantor yakni, dengan melakukan pembinaan. Diantaranya dengan mengembalikan pekerjaan para pegawai di kantor sesuai dengan tugas pokok, fungsi, tanggunjawab, dan wewenang mereka, sebagaimana mereka ditempatkan pada dinas, biro, badan, bagian, bidang, dan seksi. Hal ini diikuti dengan pengawasan yang ketat dilakukan oleh para pimpinan dari sisi kinerja, etika, dan disiplin. Sambil para pimpinan mengimpelentasikan aspek akuntabilitas, transparansi, responsibilitas, independensi, dan keadilan (fairness) dalam kinerja di kantor.
Namun tentunya, para pimpinan yang profesional dan yang bertindak sehat, serta rasional dalam menajemen kantor tersebut, tidaklah bertindak semena-mena dalam mengambil langkah-langkah yang bijak, untuk menstabilisasi kantor dari office politics. Mereka akan bertindak berlandaskan norma, yang dijadikan acuan hukum dalam menegakkan disiplin di kantor. Sehingga mereka akan benar-benar terhindar dari abuse of power.
Dalam konteks ini para pimpinan yang profesional dan yang bertindak sehat serta rasional tersebut, mengedepankan norma ketimbang kekuasaan. Demikianlah ekspetasi para pegawai khususnya, dan public pada umumnya, demi untuk menghindarkan office politics, yang tidak menyehatkan tersebut.
*** Penulis adalah Staf Dosen Fisipol Unpatti, Universitas Pattimura