Oleh :
Nikolas Okmemera., SH., CPC., CNS., ChteacH

SABUROmedia — Di ujung tenggara Nusantara, tersebar gugusan pulau yang membentuk Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) – wilayah yang secara administratif masuk dalam kategori 3T: tertinggal, terdepan, dan terluar. Namun istilah “3T” sejatinya bukan hanya label geografis atau administratif semata, melainkan juga cermin dari ketimpangan struktural yang diwariskan oleh sistem ekonomi-politik nasional, bahkan global. Di balik keindahan alam dan kekayaan sumber daya yang luar biasa, MBD menyimpan kisah pilu tentang keterpinggiran dan ketertindasan yang terstruktur. Ini bukan semata karena letak geografisnya, tetapi karena sistem monopoli yang dikendalikan oleh oligarki dan berkelindan dengan wajah baru dari neo-kapitalisme dan neo-kolonialisme.

Oligarki di Wilayah Pinggiran
Ketika kita berbicara tentang oligarki, sering kali bayangan kita tertuju pada kota-kota besar atau pusat kekuasaan nasional. Namun dampaknya justru paling telanjang terlihat di daerah-daerah 3T seperti MBD. Akses terhadap infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, pendidikan, dan layanan kesehatan masih jauh dari memadai. Dalam kekosongan negara ini, muncullah aktor-aktor swasta atau elite lokal yang mengambil alih peran strategis. Mereka memonopoli distribusi barang kebutuhan pokok, pengelolaan BBM, hingga proyek-proyek infrastruktur yang bersumber dari dana publik.

Misalnya, pengangkutan logistik antarpulau di MBD sebagian besar dikendalikan oleh segelintir pengusaha dengan koneksi kuat ke birokrasi. Masyarakat kecil tak punya pilihan selain membeli barang kebutuhan dengan harga yang mencekik. Ketika distribusi dikuasai oleh satu atau dua aktor, hukum pasar mati. Harga beras, gula, hingga semen bisa melambung tiga hingga empat kali lipat pada kodisi atau musim – musim tertentu dari harga di Pulau Jawa. Dalam kondisi ini, warga bukan lagi konsumen bebas, melainkan subjek yang terperangkap dalam sistem monopoli yang mematikan daya beli.

Neo-Kapitalisme yang Menyingkirkan Rakyat
Sistem ekonomi yang berlaku di MBD cenderung merefleksikan wajah neo-kapitalisme—sebuah fase kapitalisme yang lebih agresif dalam penguasaan sumber daya dan lebih terstruktur dalam mengeksklusi masyarakat lokal dari proses produksi dan distribusi. Investasi yang masuk ke wilayah ini tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan atau penguatan kapasitas masyarakat lokal, melainkan pada eksploitasi sumber daya alam dengan pendekatan ekstraktif.

Di beberapa pulau, tambang mineral dan potensi perikanan mulai dilirik oleh investor besar. Namun alih-alih mendatangkan kesejahteraan, investasi ini justru mengancam ruang hidup masyarakat. Tanah ulayat perlahan-lahan diambil alih melalui mekanisme “kerja sama” yang timpang. Masyarakat adat kerap tidak memahami dokumen legal yang mereka tandatangani. Ketimpangan relasi kuasa dan informasi menjadikan mereka objek dari kapitalisme modern yang berkedok pembangunan.

Neo-Kolonialisme: Penjajahan Tanpa Bendera
Apa yang terjadi di MBD hari ini sesungguhnya mencerminkan bentuk baru neo-kolonialisme. Negara tidak sepenuhnya absen, tetapi hadir dengan wajah ambigu—lebih sebagai fasilitator kepentingan modal daripada pelindung rakyat. Program-program pembangunan seringkali bersifat seremonial dan temporer, tanpa desain jangka panjang yang berkeadilan. Pendekatan “Jakarta-sentris” dalam perumusan kebijakan memperdalam rasa keterasingan masyarakat MBD dari negara yang seharusnya menaunginya.

Lebih jauh, sistem pendidikan dan informasi juga menjadi instrumen kolonisasi gaya baru. Kurikulum yang seragam secara nasional tidak memperhitungkan kearifan lokal atau potensi khas daerah. Akibatnya, generasi muda MBD lebih diarahkan untuk keluar dari tanah kelahirannya demi mencari pekerjaan, daripada diberdayakan untuk membangun daerahnya sendiri. Inilah bentuk kolonisasi pikiran—di mana pusat selalu dianggap superior dan pinggiran selalu tertinggal.

Jalan Keluar: Kedaulatan Lokal sebagai Solusi
Untuk memutus mata rantai monopoli dan dominasi oligarki di daerah 3T seperti MBD, dibutuhkan perubahan paradigma. Pembangunan harus dimulai dari pengakuan terhadap kedaulatan lokal—baik dalam hal tanah, budaya, maupun pengambilan keputusan. Negara perlu memperkuat peran koperasi rakyat, menstimulus UMKM lokal, dan melindungi sumber daya alam dari eksploitasi besar-besaran. Kebijakan afirmatif harus diarahkan untuk memperkuat infrastruktur dasar dan kapasitas sumber daya manusia lokal.

Lebih dari itu, perlu ada desentralisasi kebijakan yang sesungguhnya, bukan sekadar administratif. Daerah seperti MBD harus diberi ruang untuk merumuskan strategi pembangunan yang sesuai dengan karakteristik lokal. Pendidikan kontekstual, perlindungan atas hak tanah adat, serta digitalisasi yang inklusif bisa menjadi alat perlawanan terhadap dominasi kapital dan kolonialisme gaya baru.

MBD bukanlah daerah miskin. Ia hanya dijauhkan dari keadilan. Selama sistem monopoli dan kekuasaan oligarki tetap bercokol, maka neo-kapitalisme dan neo-kolonialisme akan terus menjajah wilayah-wilayah seperti MBD – bukan dengan meriam dan senjata, tetapi dengan kontrak, kebijakan, dan narasi pembangunan yang menindas.

*** Penulis adalah Advokat dan Sekretaris DPD Bapera Provinsi Maluku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *