oleh :
Fauzan Zakir., SH., MH
SABUROmedia — Selalu ada cara berbeda antara Politisi Islam dengan Tokoh Islam dalam menggerakan kekuatan politiknya. Sebaliknya hampir tidak ada kesepahaman yang sama berpolitik dikalangan ummat Islam itu sendiri dari dulu sampai sekarang. Buktinya Partai-Partai Islam kerap bertumbuh bak jamur di musim hujan, lalu layu sebelum berkembang.
Disisi lain, baik politisi Islam maupun tokoh Islam jamak diketahui bahwa keduanya cenderung sama-sama melakukan politisasi terhadap ummat Islam untuk mendapatkan legitimasi dan eksistensi politiknya.
Kecenderungan Politisi Islam adalah menjadikan instrumen Partai Politik untuk menjalankan ambisi-ambisi politiknya. Sekalipun faktanya sesama politisi Islam pun kerap bersiteru keluar batas yang Islami. Sementara disisi lain, Tokoh Islam cenderung memakai kendaraan Ormas, alias tidak membawa bendera Parpol dalam mewujudkan ambisi politiknya. Namun dalam praksisnya tak jarang ketika tokoh-tokoh Islam sudah terobsesi menjadi politisi, maka dalam sekejap hilanglah pengaruhnya ditengah-tengah ummat. Sebaliknya begitu juga keadaan berbalik ketika politisi Islam kembali ke khitah, justru mereka sudah terlanjur tidak dipercayai oleh publik lagi. Situasi inilah yang barang kali menjadikan sebagian Tokoh-tokoh atau Politisi-Politisi terjesan takut keluar dari zona nyamannya.
Dari perspektif yang berbeda, tidak heran kalau diantara keduanya, baik Politisi Islam maupun Tokoh Islam sangat sering berseberangan dan mengambil jalan berbeda dalam soal strategi dan taktis politik. Faktanya ada banyak Tokoh Islam justru mendukung bukan Tokoh Islam atau Politisi Islam sebagai calon pemimpin (contoh Pilpres & Pilkada). Sementara sebaliknya ada banyak Politisi yang bukan dari Partai Islam, bahkan bukan pula dari kalangan Islam, justru mendukung Tokoh Islam untuk menjadi pemimpin. Perbedaan-Perbedaan konsistensi maupun perbedaan pilihan yang tajam diantara mereka inilah – yang boleh jadi – membuat potensi-potensi tergerusnya secara berulang perolehan suara Partai Politik Islam yang terus mengecil, yakni berada dikisaran 20% dalam setiap Pemilu.
Diakui ummat Islam pada umumnya adalah lemah secara logika, sehingga dikatakan oleh Nabi, ” mereka hidup bagaikan buih ditengah lautan, tak berguna sekalipun nyatanya mereka mayoritas”. Hukum Allah selalu saja dikaburkan oleh ummat Islam itu sendiri, dengan berbagai alasan yang umumnya mereka sangat terpengaruh oleh pemahaman idiologi-idiologi kanan, kiri & belakangan radikalisme agama (takliq pada orang, bukan pada subtansi agama). Kelemahan ummat Islam lainnya secara global atau pada umumnya adalah selalu dimanfaatkan oleh pihak yang logikanya lebih kuat. Pengaruh westernisasi, kolonialisme, orientalisme, sekulerisme & radikalisme lebih berpengaruh kepada ummat Islam daripada hukum Islam itu sendiri, sekalipun nyatanya negaranya berpenduduk mayoritas muslim. Contoh hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini adalah pemberlakuan hukum Belanda, Jerman, Perancis secara kongkordansi (adopsi) yang semuanya berasal dari hukum Romawi.
*** Penulis adalah Koordinator Presidium MW KAHMI Sumatera Barat