Oleh :
Dr Hasbollah Toisuta., M.Ag
SABUROmedia —Â Tanggal 5 Februari 2022, tiga hari yang lalu, HMI genap berusia 75 tahun. Suatu usia yang relatif sangat matang, dan karenanya sebagai kaders kita mesti bersyukur dengan bertambahnya usia tersebut.
Bila kita mencoba untuk flash back sejenak, kita mendapati begitu banyak dinamika dan pasang surutnya perjalanan HMI dalam ritme sejarah kebangsaan kita. Sejak masa-revolusi hingga masa reformasi, HMI selalu mewarnai denyut nadi perjalanan bangsa baik dalam diskursus gagasan, ide, bahkan aksi dan formasi sosial kebangsaan. Masa-masa revolusi mencetak kader-kader bangsa yang berjibaku melawan otoritarianisme dan menempatkan hati nurani rakyat sebagai inti perjuangannya. Komitmen akan kebangsaan (ke-Indonesiaan) bagi HMI merupakan hal yang tidak bisa ditawar dengan apapun alias sudah final. Begitu pentingnya peran HMI bagi bangsa ini, maka tidak salah bila Jenderal Soedirman memaknai HMI sebagai (Harapan Masyarakat Indonesia).
Pada masa rezim Orde Baru, seirama dengan mulai melunaknya Soeharto kepada kelompok Islam melalui “politik akomodasi”, banyak kader Hijau Hitam yang mendapat peran strategis pada hampir semua lini kehidupan berbangsa. Ambil contoh Bedu Amang, Mar’ie Muhammad, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi kader yang berhamburan diberbagai jenjang birokrasi pemerintahan. Kondisi seperti inilah yang kemudian oleh Cak Nur (Nurcholish Madjid) disebut bahwa HMI menghadapi apa yang di sebutnya; “balaa’un hasanah” (ujian kebaikan).
Pada masa “politik akomodasi” ini menurut Cak Nur, anda boleh menutup mata dan memasukan tangan anda ke dalam jaring birokrasi, pasti yang ada pegang dan temukan adalah kader HMI. ( Orang Ambon bilang tutu mata la loko sarambang saja, yang ale loko tu pasti dapa kader HMI ).
Namun demikian seirama dengan berjalannya waktu memasuki babakan Reformasi ini, kiprah kepeloporan HMI dalam konteks sejarah lambat laun mengalami stagnasi. Kondisi ini diperparah dengan beberapa kader penting yang semula mendapat privelge sebagai bagian dari politik akomodasi dan “balaa’un hasanah”, harus berurusan dengan masalah hukum akibat KKN. Sementara itu secara internal HMI sendiri, konflik internal akibat dualisme kepemimpinan di tingkat pusat hinga ke daerah selalu saja bermunculan, dan ini semakin memperlemah konsolidasi internal Himpunan. Pantas saja bila kemudian dengan nada pesimis Abangda Qasim Mathar menganggap “HMI Sudah Tiada”. Hal ini sejatinya menjadi bagian refleksi kita, KAHMI dan adik-adik HMI itu sendiri.
HMI Ditengah Konservatisme Pemikiran
Terdapat tiga komitmen penting dalam ber-HMI. Antara lain Komitmen Ke-Islam-an, Komitmen Ke-Indonesia-an dan Komitmen Kemoderenan. Ketiga komitmen ini sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari apa yang kita kenal dengan tujuan HMI yaitu ” Insan akademik pencipta pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT ” Artinya pribadi paripurna sebagai seorang kader yang disebut “Insan Cita” harus tampil sebagai pribadi yang melimpah dengan wisdom, memiliki cita rasa akademik yang tinggi. Cita rasa akademik inilah yang kemudian menempatkan seorang kader sebagai sosok pemikir intelektual, yang memadukan keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan dalam satu tarikan nafas ber-HMI (juga ber-KAHMI). Rasionya, pada urine setiap kaders terdapat senyawa keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan.
Dalam sejarahnya, kehadiran organisasi HMI sebagai organisasi kader yang modern dan yang disegani di Indonesia adalah karena unsur persenyawaan ini. Klaim tersebut bisa dibuktikan dalam rekam jejak HMI itu sendiri.
Pada aras dialektika pemikiran tentang bagaimana menstimulasi peran serta kader HMI di dalam kiprahnya bagi pembangunan bangsa, kita mengenal dua aliran mazhab yang hingga saat ini masih memengaruhi cetak biru bentukan kader. Kedua mazhab tersebut adalah “Mazhab Cak Nurian” (Nurcholish Madjid) dan “Mazhab Akbarian” (Akbar Tandjung). Mereka yang menganut Mazhab Cak Nurian dalam ber-HMI adalah mereka yang selalu bergumul dengan dinamika intelektual perkembangan keIslaman, keIndonesiaan dan kemoderenan. Penganut mazhab ini selamanya berfikir dinamis modernis khususnya terhadap wacana bagaimana memberi perspektif Islam terhadap isu-isu kebangsaan dan modernitas dengan segala derivasinya. Nurcholish Madjid, adalah sosok figur penting dalam HMI, yang dimasa kepemimpinannya sebagai Ketua Umum PB HMI, idenya tentang Pembaharuan Islam menjadi diskursus intelektual di seantero jagad Indonesia. Pembaruan Islam yang dikumandangkan Cak Nur tak pelak lagi menjadi bola salju yang hingga saat ini masih saja terus diperbincangkan.
Berbeda dengan mazhab Cak Nurian, “Mazhab Akbarian” tidak terlalu memberi perspektif pada diskursus pemikiran intelektual dan keislaman. Mazhab Akbarian lebih berfokus pada dimensi praktis politik. Bila mazhab Cak Nurian berpandangan perlunya mencetak banyak pemikir intelektual Islam di HMI untuk menyambut Islam Indonesia Moderen, mazhab Akbarian justeru berpandangan sebaliknya, bahwa untuk menyambut masa depan Islam Indonesia modern, kita tidak perlu banyak pemikir di HMI, melainkan kita butuh banyak kader politik untuk mengisi kekuasaan.
Proses dialektika antara kedua mazahab ini di HMI masih terus saja berlangsung. Namun dalam perkembangan selanjutnya mazhab Akbarian cukup signifikan memengaruhi proses menjadi kader di HMI, sementara mazhab Cak Nurian hanya boleh dibilang makin redup dan hanya diikuti segelintir kecil kader yang masih punya idealisme. Bagi saya redupnya mazhab Cak Nurian di HMI merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Karena dengan demikian HMI tidak lagi peka dalam merespons issu-issu intelektual keislaman mutakhir, melainkan terjerembab ke dalam konservatisme pemikiran. Dan arus konservatisme pemikiran Islam di HMI dan KAHMI dewasa ini sangat massif terjadi.
Saya setidaknya masuk dalam 4 WA Grup dari alumni HMI (termasuk WAG KB. HMI & KAHMI AMQ ini), dan hasil analisis saya terhadap lalu lintas diskusi-diskusi di WAG-WAG Alumni HMI, saya berkesimpulan kader-kader HMI nyaris sudah kehilangan jati dirinya sebagai “Insan Akademik” (Insan akademik” dengan tanda petik memberi arti bahwa porsi intelektual dan pemikiran kritis harus lebih diutamakan). Isu-isu politik begitu sexi diperbincangkan nyaris tidak ada spasi. Dari beberapa kali pengalaman berdiskusi dengan adik-adik HMI Cabang Ambon (dari beberapa cabang yang saling mengklaim legitimasinya), saya berkesimpulan dari100% isu yang didiskusikan 90% adalah isu politik dan bukan isu akademik). Adapun terhadap wacana-wacana keislaman kontemporer, banyak kader HMI – termasuk yang sekarang sudah KAHMI senior – yang sangat dangkal pemikirannya dan alergi terhadap isu-isu pembaruan dan kemoderenan. Lebih ironis lagi mereka ini tiba-tiba menjadi “polisi kebenaran”, yang dengan mudah menjust sah tidaknya keyakinan (Islam) seseorang. Kalau seperti ini wajah HMI dan KAHMI hari ini, maka sesungguhnya HMI sedang berjalan mundur, tidak banyak lagi yang kita harapkan dengan ber-HMI. Maka ber-KAHMI pun mungkin hanya sekedar berkumpul untuk meromantisme masa lalu.
Wallahu’alam.
*** Penulis adalah Alumni HMI mantan Rektor IAIN Ambon