Oleh :
Rusdi Abidin., SE
SABUROmedia – Membaca rencana realisasi mega investasi Lumbung Ikan Nasional (LIN) rasanya tanpa problematik, bebas dari kritik. Lazim kondisi demikian dikarenakan kesimpulan akan janji keuntungan, kemajuan, kestabilan, kejayaan dan seterusnya sudah lebih dulu terbentuk di otak. Dampak & resiko seringkali diabaikan. Kalau pun ada pemikiran, tidak dijalankan sepenuh hati.
Kesimpulan tersebut karena kebiasaan menyandarkan cara menyelesaikan masalah, dijawab dengan uang, dana atau kapital. Kalau kapital investasi dialirkan sekian triliunan rupiah maka semua masalah teratasi.
Kemajuan segera terwujud. Itu bentuk ekspestasi pragmatisme yang telah berurat akar dalam pikiran pemangku kebijakan. Maka apapun kritik bisa saja dianggap ancaman & tidak pro investasi serta dilebelin sebagai musuh penguasa.
Utamakan Hilir
Rencana realisasi investasi LIN tampaknya mengutamakan di hilir. Mulai dari penangkapan, industri pengolahan, pelabuhan dan perdagangan. Tidak terbaca hulunya. Padahal prinsipnya konsepsi lumbung bersandar pada ide konservasi dan pengelolaan yang ramah alam, berkesinambungan serta ekologis. Terkait hal itu dapat dikutip dari siaran pers Kemenmarives RI No.SP-124/HUM/ROKOM/SET.MARVES/II/2021 ; Kita perlu percepat infrastruktur pembangunannya, supaya bisa cepat juga kita gunakan,” ujar Menko Luhut Binsar Panjaitan dalam Rakor bersama jajaran Menteri secara virtual.
Infrastruktur yang dibutuhkan ini adalah pelabuhan perikanan bertaraf internasional dan Ambon New Port. Pelabuhan ini nantinya dibangun dengan konsep pelabuhan terintegrasi yang di dalamnya akan diisi oleh terminal peti kemas internasional dan domestik, kawasan industri dan logistik, serta terminal LNG, serta pembangkit listrik.
Selain soal lokasi, diungkapkan oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Safri Burhanuddin yang mendampingi Menko Luhut dalam Rakor virtual menambahkan bahwa dukungan disisi logistik juga penting. “ Ini semua nantinya perlu dukungan juga dari sisi logistik, seperti adanya kebutuhan sistem rantai dingin, moda transportasi tujuan ekspor dan domestik,” ungkapnya.
Selain itu dibangun antara lain cold storage, chiller, pabrik es, kapal kargo, kontainer freezer, pesawat freighter, kendaraan berpendingin, dan adanya kebutuhan listrik di sekitar infrastruktur terkait. Sementara itu, khusus untuk listrik akan didukung oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) melalui PLNG, PLTU, dan PLTU Atap.
Siaran Pers seperti di atas menggambarkan ciri investasi ekstraktif di bangsa ini. Ciri tersebut menonjolkan sisi bisnis di hilir & tidak terang benderang di hulu. Investasi semata berkaitan dengan pembangunan infrastruktur bangunan fisik industri dan perdagangan serta pengolahan. Nilai-nilai suprastruktur bersifat sosiologis, ekosistem tidak tergambarkan.
Boleh dikatakan investasi tersebut miskin dari pengarus utamaan ekologis. Pemberdayaan dan penguatan masyarakat pesisir serta nelayan. Perlindungan ekosistem wilayah pendukungnya. Padahal menyangkut hulunya sangat utama dan diutamakan. Nilai investasi harus terlihat dari hulu, sehingga tidak mengesankan investasi eksploitatif, yang berujung semata pada perburuan dolar.
Problematik yang tak kalah amat penting pada hulu adalah tata ruang / wilayah dan konflik agraria – lahan. Sejak lama kasus transaksi lahan untuk kepentingan industri ekstraktif maupun pengolahan menunjukan nilai jual lahan yang tidak berimbang. Harga ditentukan sepihak dan jauh dari nilai yang wajar serta merugikan masyarakat.
Potret kasus-kasus lahan di pulau seram misalkan dijual dengan harga murah pada pihak tertentu yg memiliki relasi kuasa. Belum lagi pembabatan hutan yang tidak memiliki nilai ekologis bagi daerah & masyarakat serta mengabaikan hak-hak kepemilikan lahan hutan masyarakat setempat.
Akibatnya banjir yang menghancurkan infrastruktur jalan & jembatan di Pulau Seram tak terhindarkan. Menguaknya konflik horisontal di tengah masyarakat karena dampak pengelolaan yang terselubung & hanya dinikmati segelintir orang.
Problematik hulu lainnya adalah keberadaann nelayan lokal yang kalah bersaing dalam penangkapan & penyediaan kualitas produk. Lalu sejauhmana pengaturan serta penanganan nelayan lokal untuk terlibat dalam investasi LIN. Dan banyak lagi problematik hulu yang berdimensi sosiologis serta ketenagakerjaan lokal yang jika tidak ditangani komprehensif akan membuahkan situasi paradoksial bagi investasi.
Malas Belajar Dari Masa Lalu
Memang iya laut Maluku memiliki potensi produksi Perikanan alamiah yang sangat besar yakni mencapai 950.000 ton per tahun dengan target produksinya sebesar 665.000 ton per tahun sebagaimana data yang dirilis Pempus per Februari 2021 dalam Rapat Kerja Kemenmarives. Namun investasi tersebut semata mengutamakan proses hilir & membelakangi hulu, sehingga mengesankan negeri ini miskin pandangan ekologis. Seharusnya mega investasi sumber daya alam harus terlihat untuk menjamin keseimbangan & keberlangsung ekosistem. Apa yang terjadi dengan investasi LIN menunjukan sikap pragmatis pemerintah. Yang dikejar hanya produksi alamiah ikannya.
Jika dilacak kebelakang investasi tersebut serupa dengan penangkapan ikan oleh grup bisnis aliansi modal negara & swasta asing seperti Jepang di Maluku. Atau Mega investasi pengolahan kayu di seantero Provinsi Maluku oleh rezim orde baru di era paruh pertengahan tahun 1970 & 1980-an.
Dampak dari investasi tersebut terdokumentasi dalam data BPS saat itu, sektor pertanian – perikanan, sektor industri sebagai penyumbangan terbesar produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Maluku. Sumbangan tersebut tentu mengisaratkan sumbangan yang besar bagi pendapatan nasional & daerah.
Tetapi faktanya hutan di Provinsi Maluku terutama di Pulau besar habis & Ikan pun terkuras, penduduk tetap miskin & terisolir. Tingkat keterisolasian wilayah sangat tinggi. Infrastruktur jalan kecil, perhubungan laut di layani dengan moda transportasi perintis.
Meninggalkan nestapa kemiskinan, kerusakan lingkungan alam, dan yang terpenting rusaknya kemesraan bernegara. Rakyat kecil menjadi tumbal & kambing hitam ketika ada instabilitas & menurunnya nilai ekonomis investasi.
Gambaran di atas setidaknya menyiratkan elit di negeri ini malas mau belajar dari masa lalu. Dari perlakuan kompeni hingga koorporasi Indonesia merdeka yg semata berburu untung. Cara berpikir yang menganggap masalah masa lalu biar berlalu, yang penting saat ini saku terisi. Kalau buntung di esok & lusa nanti baru dipikirkan. Cara berpikir yg boleh jadi sudah terbentuk menjadi lumbung nestapa yang dinikmati berulang kali, tapi tidak kapok. Pendeknya “sanang par jadi ikan makang”. Semoga saja tidak terjadi.
*** Penulis adalah Aktifis Parliament Responsive Forum (PAMOR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *