Oleh: Hasrul Harahap, M.Hum

SABUROmedia, – Menjelang Pemilu serentak 17 April 2019, netralitas birokrasi kembali diuji. Ujian ini dapat dilihat dari adanya sebagaian kepala daerah yang secara terang-terangan mendukung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Oleh sebagian masyarakat, sikap politik sebagian kepala daerah dimaksud sah-sah saja sepanjang tidak keluar dari koridor regulasi yang mengatur hal yang boleh maupun yang dilarang. Sementara sebagian masyarakat yang lain berpandangan bahwa dukungan kepala daerah tersebut tidak pantas dari sisi etika jabatan, mengingat kepala daerah  memiliki  kewenangan besar terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan, di samping sebagai pelayan masyarakat yang wajib mampu menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi. Diskursus mengenai netralitas birokrasi sejatinya bukan barang baru, tetapi sudah ada sejak masa yang sangat awal. Perbedaan pendapat antara Karl Marx dan Hegel terkait netralitas birokrasi membuktikan bahwa eksistensi birokrasi sudah menjadi perhatian para ahli. Menurut Hegel, birokrasi harus mampu melayani kepentingan umum, serta manjadi penghubung yang baik dalam rangka mempertemukan kepentingan negara dengan dengan kepentingan masyarakat yang di dalamnya terdiri dari berbagai macam kepentingan dan identitas. Sementara menurut Karl Marx, birokrasi tidak dapat diformulasikan sebagai penghubung guna mempertemukan ragam kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara. Pandangan Marx ini bermula dari pandangannya bahwa negara pada dasarnya mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan sebagai konsekuensi perjuangan kelas, dimana pihak yang memenangkan perjuangan kelas pada akhirnya tampil menjadi kekuatan dominan untuk selanjutnya menguasai birokrasi (Thoha, 2003: 23). Terlepas dari bagimana pemikiran Hegel dan Karl Marx, birokrasi di Indonesia terus berbenah menuju performa yang mampu menjembatani kepentingan publik dengan pemerintah. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;  UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; dan peraturan perundangan lain adalah bukti kesungguhan ikhtiar agar birokrasi mampu melayani secara adil, efektif, dan efisien, berdiri tegak memayungi segenap kepentingan yang ada. Reformasi Birokrasi yang digulirkan pada tahun 2010 sebagaimana dituangkan dalam Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tentang  Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, mengamanatkan arah penataan birokrasi. Permenpan Nomor Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 telah memberikan panduan bagaimana birokrasi ditata ke arah yang lebih baik dalam rangka menjawab tuntutan dan perkembangan zaman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesai menghendaki performa birokrasi yang mampu menjadi instrumen kompatibel bagi terwujudnya cita-cita berbangsa dan bernegara.

ASN Berintegritas

UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala daerah adalah orang yang diberi tugas diantaranya untuk memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. Dalam melaksanakan tugas, kepala daerah dibantu oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), baik dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dengan demikian, maka aparatur birokrasi adalah orang yang bekerja di birokrasi, mulai dari pucuk pimpinan sampai dengan level  staf. Dalam hal hubungan kerja, kepala daerah adalah Pejabat Pembina Kepegawaian ASN, berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN. Kewenangan tersebut dijalankan dalam koridor mekanisme dan prosedur, sehingga tidak dijalankan sewenang-wenang. Jika kepala daerah diduga bertindak di luar prosedur, negara telah menyediakan mekanisme komplain. Salah satunya melalui lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dibentuk dalam rangka mewujudkan ASN yang professional, berkinerja tinggi, mendukung penyelenggaraan pemerintahan  negara yang efektif , efisien, dan terbuka, bebas dari praktik KKN, serta mewujudkan ASN yang netral. Di tahun politik ini, integritas aparatur birokrasi menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan birokrasi handal professional. Pimpinan tertinggi dalam sebuah instansi harus mampu memberikan suri tauladan bagi segenap bawahannya dalam upaya menerapkan netralitas birokrasi, dimulai dari cara berfikir, berperilaku, dan juga bersikap. Diketahui, pada Pilkada Serentak 2018, Bawaslu menerima sekitar 500 pelanggaran ASN yang diduga terlibat politik praktis, suatu tindakan dan sikap yang jelas dilarang bagi ASN (Detik, 25 Juni 2018). Terhadap fakta ini, maka  satu hal yang perlu diteliti lebih jauh adalah mengetahui motif di balik keberanian para ASN melanggar sekalipun sanksinya sudah jelas. Misalnya perlu diteliti apakah ada unsur paksaan dari atasan, kerelaan hati masing-masing ASN,  atau karena motif-motif lain. Bagi ASN, integritas mencakup tiga ranah, yaitu ranah perencanaan, ranah pelaksanaan, dan ranah pengawasan, sebagaimana hal ini merupakan peran ASN  sesuai ketentuan Pasal 12 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Yaitu berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan integritas pada tiga ranah ini, diharapkan aparatur birokrasi terhindar dari kezaliman dan ketidakadilan yang diproduksi sejak dalam rahim pemikiran, pelaksanaan, serta pada tahap pengawasan.

Membangun Kepercayaan Publik

Public trust (kepercayaan masyarakat) merupakan faktor penting bagi efektif tidaknya birokrasi pemerintahan. Guna melahirkan kepercayaan masyarakat dimaksud, aparatur birokrasi tidak cukup hanya bertindak professional, akuntabel dan netral dalam satu kesatuan sistem, tetapi harus juga mampu memberikan kesan berintegritas kepada publik. Sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, kepala daerah berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN. Pada titik ini, ‘nasib’ ASN dapat dikatakan seperti berada dalam genggaman tangan kepala daerah. Sementara di satu sisi yang lain, regulasi pemilu tidak melarang kepala daerah mendukung secara terang-terangan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden–sepanjang dilakukan dalam koridor peraturan yang ada. Terhadap hal ini, pekerjaan yang harus diwujudkan adalah bagaimana publik mendapat keyakinan dan garansi bahwa keterlibatan aktif seorang kepala daerah dalam menyukseskan agenda calon presiden dan wakil  presiden tidak mempengaruhi netralitas birokrasi, sekaligus tidak berpengaruh dalam mengemban tugas sebagai pejabat pembina kepegawaian. Keyakinan publik itu dapat ditandai dengan, misalnya kepentingan masyarakat tidak terdistorsi, penempatan jabatan bukan karena balas jasa politik tetapi karena kompetensi, dan pelayanan publik dilakukan optimal. Dalam soal membangun kepercayaan publik, etika jabatan menjadi keniscayaan.  Carol W. Lewis dan Stuart C. Gilman dalam buku The Ethics Challenge in Public Service menyatakan, aparatur pemerintahan harus memperhatikan soal etika karena ada dua alasan utama, yaitu; Pertama, karena memiliki kekuasaan dan pertanggungjawaban publik. Kedua, karena standar yang lebih tinggi diperlukan untuk kebutuhan pelayanan dan persepsi publik menghindari kekurangan (Carol W Lewis dan Stuart C Gilman, 2005: 22). Dwiyanto menggambarkan etika birokrasi sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi (Dwiyanto, 2002:188). Di era digital seperti dewasa ini, membangun kepercayaan publik menjadi sesuatu yang gampang-gampang susah. Gampang karena setiap orang dapat menyampaikan pokok-pokok pikiran melalui media sosial yang berjibun, tanpa harus melalui seleksi redaktur atau penanggungjawab desk. Disebut susah karena hampir semua orang dapat mempublikasikan informasi (buruk) tanpa melalui sensor ketat. Karena itu, dibutuhkan sistem yang handal dalam rangka membangun kepercayaan publik, di samping tentunya disertai dengan kerja nyata didasari visi dan misi yang jelas, bukan janji-janji  minim bukti.

*Penulis adalah Tenaga Ahli Fraksi Partai Gerindra  Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *