SABUROmedia,  – Sudah tidak menjadi sesuatu yang rahasia atau tabuh lagi jikalau pemilihan kepala daerah yang disingkat Pilkada bukan saja ajang untuk memilih pemimpin daerah berdasarkan sistem demokrasi dimana rakyat secara bebas dalam memberikan pilihan politiknya. Atau Pilkada hanya dimaknai sebagai pesta demokrasi untuk menggantikan pemimpin disetiap daerah secara langsung dan bersifat momentum politik saja. Tetapi Pilkada lebih dari itu.

Bahwa dalam setiap hajatan politik lima tahunan ini ada sesuatu yang sangat urgen dan paling prinsipil untuk dilihat sebagai titik tolak dalam menatap masa depan setiap daerah tanpa kecuali daerah-daerah di provinsi Maluku yang juga melaksanakan agenda Pilkada untuk beberapa kabupaten, diantaranya: Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Kabupaten Buru Selatan, Kabupaten Aru dan Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Dari proses tahapan sampai pada Pilkada serentak yang dilaksanakan di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 270 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020. Dari 270 daerah tersebut di antaranya 9 Provinsi, 37 Kota, dan 224 Kabupaten. Termasuk daerah kabupaten yang sudah disebutkan di atas.

Lalu apa prinsip dan urgensi dari Pilkada yang harus diketahui oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terutama rakyatnya yang ada di daerah-daerah yang dimaksud? Saya ingin menjawabnya walaupun pandangan yang disampaikan hanya bersifat subjektif dan dengan tidak mengatakan inilah yang paling benar, karena saya yakin sungguh masih banyak jalan yang harus ditempuh demi memperbaiki kualitas demokrasi kita.

PRINSIP

Pada setiap penyelenggaraan suatu agenda termasuk Pilkada mesti dilaksanakan dengan menggunakan prinsip yang kemudian akan menjadi dasar bagi suksesnya Pilkada tersebut. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilan Umum yakni Pasal (3) yang berbunyi bahwa penyelengaraan Pemilu harus memenuhi prinsip: a) mandiri; b) jujur; c) adil; d) berkepastian hukum; e) tertib; f) terbuka; g) proporsional; h) profesional; i) akuntabel; j) efektif; dan k) efisien. Prinsip-prinsip di atas merupakan bagian yang bersifat normatif sebab berdasarkan kehendak konstitusi.

Sedangkan secara ideal mengenai prinsip dari pemilu atau pilkada itu sendiri dari Institut Internasional untuk Demokrasi dan Bantuan Elektoral (IDEA) menetapkan 20 prinsip yang harus terpenuhi demi terciptanya standar pemilu yang demokratis. Beberapa prinsip itu diantaranya adalah kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul, kebebasan bergerak, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi. Prinsip ini menjadi roh dalam penerapan 15 standar pemilu demokratis, yang pada praktiknya tertuang dalam tahapan pemilu. Baik Pemilu atau Pilkada adalah bagian dari cara kita sebagai warga negara menjalan proses dari demokrasi, dan jika kita menyelami lebih dalam tentang makna demokrasi maka kita akan menemukan beberapa prinsip-prinsip demokrasi, yaitu humanity (nilai kemanusiaan), justice (nilai keadilan), freedom (nilai kebebasan), egality (kesetaraan).

Kesemua prinsip-prinsip di atas baik yang secara normatif dan ideal itu yang wajib menjadi perhatian dalam proses penyelenggaraan Pilkada disetiap daerah. Sehingga potensi kecurangan, money politic, konflik, ketidakpastian hukum, dan sekelompoknya dapat terhindarkan dan tidak pernah terjadi lagi dalam sistem berdemokrasi di bangsa ini dan untuk pilkada-pilkada yang akan datang.

URGENSI PILKADA

Momentun Pilkada bagi daerah penyelenggara di Maluku akan terasa biasa-biasa saja dan tidak akan menghasilkan apa-apa jika Pilkada hanya dimaknai dan bertujuan untuk pergantian pemimpin daerah dalam hal ini bupati saja. Oleh karena itu urgensi dari pada Pilkada harus diketahui bagi semua khalayak banyak.

Pertama, pilkada serentak adalah momentum untuk menghadirkan pemimpin meritokrasi ditingkat lokal dimana meritokrasi merupakan sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, integritas, kredibilitas, dan rekam jejak  (yang baik), serta dan mampu mendatangkan perubahan untuk daerahnya, bukan kekayaan dan sebagainya. Selain itu, Pilkada merupakan ajang untuk menggantikan pemimpin, dan tidak untuk menggantikan penguasa. Karena antara pemimpin dan penguasa adalah dua hal yang jelas sangat jauh berbeda.

Kedua, pilkada idealnya mesti dijadikan sebagai momentum untuk  mengevaluasi kinerja pemerintahan yang akan diganti atau menggunakan istilah Zainal Arifin Muchtar (2016) bahwa Pilkada adalah arena kudeta konstitusional rakyat terhadap pemerintahan di daerahnya. Artinya adalah melalui pilkada rakyat kembali berkesempatan menilai dan mengevaluasi sekaligus menentukan arah pembangunan daerah untuk periode pemerintahan berikutnya.

Dalam konteks itulah pilkada yang merupakan kanalisasi dari wujud kedaulatan rakyat di daerah sejatinya menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk melekatkan dirinya pada kesejahteraan, kemajuan dan kemakmuran. Itu artinya pilkada tidak boleh dipandang semata panggung kontestasi para kandidat dalam berebut kuasa dan legitimasi rakyat.

Bentuk kanalisasi demokrasi yang dimaksud di atas tentu masih jarang terjadi dalam setiap momentum politik kita di masa-masa pilkada. Sehingga ruang demokrasi di bangsa ini kebanyakan masih terbatas euforia semata atau demokrasi yang kita anut sekarang masih terbatas di tahap memilih dan dipilih serta terjebak dalam formalitas pesta demokrasi dengan label negara paling demokratis di dunia.

Padahal politik dan demokrasi adalah usaha untuk kembali ke rakyat, karena berpolitk itu mementingkan kepentingan rakyat, sedangkan berdemokrasi itu memastikan kesejahteraan rakyat akan baik-baik saja. Dalam teori hukum dikenal dengan istilah Salus Populi Suprema Lex Esto atau Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi. Untuk itu perlu formula-formula aturan atau regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan pilkada ini agar berjalan dengan baik tentunya tidak mengurangi kualitas dari subtansi pilkada itu sendiri. Oleh karena itu bentuk edukasi politik harus diterapkan sebagai sebuah bahan pencerahan.

EDUKASI POLITIK

 Dalam menghadapi momentum Pilkada penting kiranya memunculkan pendidikan politik sebagai bentuk edukasi kepada rakyat untuk memahami secara jelas tentang makna berpolitik dan berdemokrasi itu sendiri. Pendidikan politik merupakan upaya untuk mencerdaskan rakyat dalam berpolitik. Menurut Kartini (2009) pendidikan politik pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya edukatif yang intensional, disengaja dan sistematis untuk membentuk individu sadar politik dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis atau moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik.

Dengan mengutamakan edukasi atau pendidikan politik pada setiap momentum Pilkada sebagai praktek dari pendidikan demokrasi adalah untuk mencerdaskan rakyat dengan maksud meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Maluku dalam berpolitik dan berdemokrasi sehingga dapat dipastikan raktyat tidak lagi gagap ketika merespon momentum politik Pilkada yang berlangsung. Sebab dengan begitulah masa depan demokrasi bangsa kita khususnya Maluku dapat terlihat baik dan benar ke depannya. Menurut Prof. B. J. Habibie (Presiden ke-4 RI), menjadi landasan untuk penuh optimisme bagi masa depan bangsa kita, asalkan disertai usaha-usaha yang tepat dalam pengembangan sumber daya manusianya. Dan pendidikan merupakan bagian dari usaha meningkatkan SDM yakni dengan memberikan edukasi politik untuk rakyat.

Mengenai pentingnya pendidikan politik untuk masyarakat, nama Friedrich-Naumann (1860-1919) seorang politisi dan pemikir Jerman merupakan salah satu tokoh yang sepenuhnya mendukung pendidikan politik bagi masyarakat. Pemikiran utamanya adalah bahwa agar demokrasi dapat berfungsi, dibutuhkan warga negara yang mengerti dan sadar politik. Menurut Naumann, pendidikan politik adalah sebuah prakondisi bagi partisipasi politik dan demokrasi.

Sebab dalam politik dan demokrasi warga negara atau rakyat itu adalah poros tengah sekaligus subjek dari keduanya. Bahwa rakyat dalam hal ini harus berperan dalam menentukan arah menuju kesuksesan dari pada momentum politik ini. Bukan objek yang hanya sebagai instrumen pelengkap setiap hajatan politik baik itu Pemilu maupun Pilkada atau rakyat hanya untuk dijadikan sebagai tujuan untuk mendulang suara.

Sebagai warga negara yang baik mesti memahami betul bahwa dalam setiap momentum Pilkada di setiap daerah bahkan untuk momentum politik di hampir semua negara demokrasi akan ada yang namanya demokrasi oligarki dimana sistem demokrasi  diatur atau dikuasai oleh kelompok elit yang ingin menguasai segalanya demi memperlancar kepentingan mereka. Sehingga membutuhkan rakyat yang cerdas dalam memilih pemimpin di daerahnya. Pemimpin yang bersih dan terpenting tidak terlibat pada praktek politik transaksional.

Oleh: Nardi Maruapey

Wasekum PA HMI Badko Mal-Malut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *