Oleh: Wahyu Iswantoro
SABUROmedia, Ambon – Wabah virus corona atau yang disebut juga Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO) pada awal pertengahan Maret 2020. Sebagian besar negara-negara di dunia telah terdampak wabah Covid-19, termasuk di Indonesia. Tidak hanya menyebabkan dampak ekonomi, sosial dan politik secara makro, Covid-19 juga menyebabkan berbagai dampak negatif lainnya seperti diberlakukanya pembatasan interaksi sosial/fisik (social/physical distancing), termasuk dampak terhadap dunia peradilan yang harus dihadapi Mahkamah Agung dalam mengeluarkan kebijakan terkait dengan penyesuain pola kerja dan pelayanan pada lembaga peradilannya.
Pembatasan interaksi sosial menyebabkan sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk bagi Hakim dan Aparatur Peradilan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) harus bekerja atau melaksanakan tugas kedinasan dari rumah (Work From Home/WFH) secara bergantian. Dengan kondisi seperti itu MA harus mengeluarkan terobosan dalam bentuk Surat Edaran terutama terkait penyesuaian pola persidangan dipengadilan, terutama untuk perkara pidana yang sebelumnya persidangan dilakukan secara klasikal atau tatap muka harus dilakukan secara online jarak jauh atau teleconference.
Mekanisme Persidangan Secara Online
Sesuai ketentuan hukum acara, yakni Pasal 64 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Dari ketentuan pasal tersebut yang dimaksud “sidang pengadilan” adalah proses persidangan yang diselenggarakan di gedung pengadilan dan terbuka untuk umum. Dengan demikian terdakwa mempunyai hak untuk dihadirkan kemuka pengadilan oleh Penuntut Umum atas perintah Majelis Hakim untuk kemudian diperiksa, diadili, dan mengupayakan hak untuk pembelaanya.
KUHAP sendiri tidak mengartikan secara tegas mengenai apa dan bagaimana bentuk serta mekanisme sidang pengadilan. Namun demikian, dari beberapa ketentuan pasal dalam KUHAP dapat dipahami secara sederhana bahwa persidangan dilakukan di suatu gedung pengadilan, atau dapat dijuga dilaksanakan diluar gedung pengadilan untuk tindak pidana tertentu maupun keadaan tertentu. Persidangan di pengadilan sesuai ketentuan KUHAP dilaksanakan secara klasikal atau tatap muka, yang dipimpin oleh Majelis Hakim dibantu oleh Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Penuntut Umum dan Terdakwa serta Penasihat Hukumnya.
Dalam keadaan tertentu yang mendesak atau terjadinya suatu bencana alam (force majeure), persidangan sebenarnya dapat ditunda untuk beberapa waktu tertentu. Namun demikian khusus perkara pidana, terdakwa terikat oleh masa penahanan yang waktunya terbatas, dan walaupun sebenarnya masa penahannya masih dapat diperpanjang, akan tetapi terdakwa atau penasihat hukumnya seringkali menuntut agar proses penuntutannya dilakukan secara cepat karena hal tersebut merupakan hak terdakwa yang dijamin oleh undang-undang maupun konstitusi, sehingga pengadilan dalam keadaan tertentu harus melaksanakan persidangan secara online jarak jauh atau teleconference.
Mekanisme persidangan secara online jarak jauh atau teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, namun demikian hal tersebut bukan hal baru dalam praktik hukum acara pidana di Indonesia. Pada tahun 2002 silam, dunia peradilan pernah mencetak sejarah baru karena dapat melaksanakan sidang perkara pidana dengan agenda pemeriksaan saksi secara online jarak jauh atau teleconference. Dalam kasus korupsi Buloggate tersebut, atas inisiatif Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara Terdakwa Rahardi Ramelan, agenda sidang pembuktian mendengarkan keterangan saksi, yakni Prof B.J. Habibie dilangsungkan secara online jarak jauh atau teleconference dari Hamburg, Jerman dengan bantuan salah satu Televisi Swasta Nasional. Bahkan, sebenarnya pada saat itu belum terdapat payung hukum seperti Surat Edaran Mahkamah Agung.
Penyelenggaraan sidang perkara pidana secara online jarak jauh atau teleconference ditengah pandemi global Covid-19 seperti sekarang ini merupakan bentuk terobosan yang paling tepat dan harus terus disempurnakan oleh MA, sebab lambatnya pembaruan hukum di Indonesia (Expired Law) akan melanggar pemenuhan jaminan hak hukum setiap individu yang sedang berhadapan dengan hukum. Selain itu, mekanisme persidangan secara online juga perlu diatur secara lebih terperinci dan permanen dengan payung hukum yang lebih tinggi, agar proses persidangan tersebut benar-benar ideal dan tidak sampai merugikan hak-hak terdakwa dalam mengajukan pembelaannya.
Lebih dari itu, mekanisme persidangan perkara pidana secara online yang digagas oleh MA juga dilakukan oleh Pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat. United States Courts dalam rilisnya tanggal 3 April 2020 menyatakan “Media organizations and the public will be able to access certain criminal proceedings conducted by videoconference or teleconference for the duration of the coronavirus (COVID-19) crisis, according to new guidance provided to federal courts”. Yang dalam bahasa Indonesia artinya “Organisasi media dan publik akan dapat mengakses proses sidang perkara pidana tertentu yang dilakukan melalui online jarak jauh atau telekonferensi selama krisis coronavirus (COVID-19), sesuai pedoman baru yang diberikan ke Pengadilan Federal”.
Respon Cepat MA hadapi Pandemi Covid-19
Salus Populi Suprema Lex Esto yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Cicero) adagium tersebut sangat tepat jika dikaitkan sebagai dasar dalam mengambil suatu kebijakan ditengah wabah Covid-19, sebab hukum yang akan diterapkan harus benar-benar melindungi rakyatnya. Sebagai respon cepat MA dalam menjamin terlindunginya aparatur peradilan, pencari keadilan, pengguna pengadilan termasuk terdakwa yang sedang berhadapan dengan hukum, maka MA telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada Di Bawahnya.
Dalam SEMA terserbut, MA mengatur bagaimana pola kerja hakim dan aparatur peradilannya selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 yakni dengan menetapkan mekanisme WFH secara bergantian. Selain itu diatur juga mengenai langkah yang harus diambil oleh Majelis Hakim yang menangani perkara pidana, seperti pemeriksaan persidangan perkara pidana, pidana militer, dan jinayat tetap dilaksanakan terutama terhadap perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi. Kemudian perkara yang pemeriksaanya dibatasi waktu, maka majelis hakim dapat menunda persidangan walaupun melampaui batas waktu, dengan perintah kepada panitera pengganti agar mencatat adanya keadaan luar biasa berdasarkan SEMA ini dalam berita acara sidang.
Dalam hal terpaksa harus dilakukan persidangan, maka SEMA tersebut juga mengatur langkah-langkah yang harus diambil oleh majelis hakim, seperti membatasi jumlah dan jarak aman antar pengunjung sidang (social distancing), kemudian majelis hakim juga dapat memerintahkan pendeteksian suhu badan serta melarang kontak fisik seperti bersalaman bagi pihak-pihak yang akan hadir ataupun dihadirkan dipersidangan. Selain itu, pencari keadilan dianjurkan untuk memanfaatkan aplikasi e-Litigation untuk persidangan perkara perdata, perdata gama maupun tata usaha negara.
Sehubungan dengan mekanisme persidangan perkara pidana secara online, MA melalui Dirjen Badilum juga telah mengeluarkan Surat Nomor 379/DJU/PS.00/3/2020 tanggal 27 Maret 2020 tentang Persidangan Perkara Pidana Secara Teleconference. Dalam surat tersebut Dirjen Badilum menyampaikan kepada Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding dan khususnya Pengadilan Tingkat Pertama, bahwa selama masa darurat bencana wabah penyakit akibat virus corona, maka persidangan perkara pidana dapat dilakukan secara jarak jauh atau teleconference. Selain itu Badilum juga menghimbau agar pimpinan pengadilan melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri dan Rutan/Lapas terkait untuk mengatur mekanisme sidang secara online jarak jauh atau teleconference, dengan tetap memperhatikan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Sebenarnya, bukan hal baru bagi MA untuk kesiapannya dalam menyelenggarakan persidangan secara online jarak jauh atau teleconference, sebab MA telah menjadi Lembaga Tinggi Negara yang pertama yang menerapkan teknologi dalam setiap aspek dan lini layanan peradilannya. Mulai dari lahirnya aplikasi SIPP, e-Court, dan e-Litigation yang sementara khusus perkara perdata. Hal tersebut menjadi gambaran bahwa MA memang selalu mampu menjadi yang terdepan dan selalu merespon cepat setiap perkembangan teknologi untuk modernisasi dan digitalisasi dunia peradilan, sehingga dapat mempermudah access to justice bagi masyarakat pencari keadilan maupun pengguna pengadilan.
Kesigapan MA untuk memerintahkan pengadilan negeri menerapkan sidang perkara pidana secara online jarak jauh atau teleconference selama masa pandemi Covid-19 juga mendapat dukungan dari pihak-pihak terkait. Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga telah menghimbau Kejaksaan Negeri diseluruh Indonesia agar berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri setempat sehingga persidangan dapat dilakukan secara online jarak jauh atau teleconference. Selain itu hal yang sama juga datang dari Kementerian Hukum dan HAM, melalui suratnya Nomor M.HH.PK.01.01.01.03 tanggal 24 Maret 2020, dalam surat yang ditujukan kepada MA tersebut, Kemenkumham meminta agar apabila perpanjangan penahanan sudah tidak dimungkinkan, sidang perkara pidana dapat dilaksanakan di Rutan/Lapas, terbuka untuk publik melalui media internet (live streaming) atau melaksanakan sidang melalui videoconfrence.
Respon cepat MA dengan menerapkan kebijakan sidang perkara pidana secara online jarak jauh atau teleconference selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 merupakan bentuk perlindungan keselamatan terhadap aparatur peradilan, pencari keadilan, dan juga pengguna pengadilan (terdakwa, penuntut umum, advokat, saksi, ahli, pengunjung sidang dll.) Selain itu, agar MA dan badan peradilan dibawahnya tetap dapat memberikan pelayanan penanganan perkara kepada stake holder terkait tanpa ada hambatan yang berarti, dan khususnya bagi para terdakwa akan tetap mendapatkan pemenuhan hak hukumnya selama menjalani proses pemeriksaan ditingkat pengadilan.
Dengan demikian, menurut hemat penulis, MA harus dapat mengambil hikmah positif dibalik penerapan sidang perkara pidana secara online selama masa pandemi Covid-19 ini, yakni sebagai momentum bagi MA untuk memperluas implementasi e-Court dan e-Litigasi dalam perkara Pidana. Dan yang telah dilakukan oleh MA tersebut adalah bentuk pertanggungjawaban publik untuk memberikan pelayanan yang cepat, sederhana, dan akurat tanpa menunda atau menghambat masyarakat memperoleh akses keadilan. Karena bagi MA, Justice Delayed, Justice Denied, yang artinya “Keadilan yang Tertunda, Sama Seperti Tidak Ada Keadilan”. WI
*(Hakim Pengadilan Negeri Wamena, Papua)