Oleh: Dayanto (Pengajar Hukum Tata Negara, Direktur Eksekutif Parliament Responsive Forum (PAMOR)

SABUROmedia, Ambon – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) secara terbuka dan terbuka untuk umum telah membacakan Putusan Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018 pada 9 Januari 2019. Putusan Bawaslu ini terkait laporan dugaan pelanggaran administratif Pemilu yang dilaporkan oleh Dr. (HC) Oesman Sapta (OSO) atas diterbitkannya Surat KPU Nomor 1492/PL.01.4-SD/03/KPU/XII/2018 tanggal 8 Desember 2018 Perihal Pengunduran Diri Sebagai Pengurus Partai Politik bagi Bakal Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilihan Umum Tahun 2019. Surat KPU a quo merupakan bagian dari rangkaian fakta hukum yang menjadi dasar bagi KPU (Terlapor) untuk tetap tidak mengubah Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 yang tidak mencantumkan nama OSO (Pelapor).

Tidak ditetapkannya OSO dalam Daftar Calon Tetap (DCT) menimbulkan kontroversi publik dan protes dari kubu OSO. Kalangan yang pro dengan sikap KPU memandang bahwa langkah KPU untuk tidak menetapkan OSO dalam DCT Pemilu Anggota DPD merupakan pilihan yang tepat terutama untuk menjaga prinsip konstitusionalisme pasca dikeluarkannya Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang secara esensial memberikan pembatasan bagi pengurus (fungsionaris) Partai Politik untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Adapun kalangan yang kontra dengan sikap KPU memandang bahwa, sikap KPU yang tidak menetapkan OSO merupakan kekeliruan akibat tidak konsisten dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 juncto Putusan PTUN Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT.

 

Bukan Sekedar OSO

Jika Putusan Bawaslu  Nomor: 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018 dibaca dengan jernih dan utuh, maka terdapat salah satu persoalan krusial yang menjadi concern dalam Putusan Bawaslu a quo yakni konstitusionalitas Pemilu calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasca diterbitkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT. Jika disimak, Berbagai tanggapan kontroversial atas Putusan Bawaslu ini cenderung tidak meletakkan implikasi hukum dan konstitusionalitas status calon anggota DPD Pemilu Tahun 2019.

Padahal, dalam amar putusan PTUN Jakarta a quo terdapat dua bunyi amar yang secara langsung menohok pada inti konstitusionalitas status calon anggota DPD Pemilu Tahun 2019 yakni: Pertama, menyatakan batal Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018; dan kedua, memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan KPU RI Nomor: 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018.

Setidaknya terdapat tiga catatan penting mengenai Putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT. Pertama, Putusan PTUN Jakarta a quo  merupakan putusan yang diterbitkan atas terjadinya sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 470 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam desain kerangka penegakan hukum Pemilu (electoral law enforcement), Sengketa TUN Pemilu merupakan sarana judicial bagi peserta Pemilu untuk mempertahankan hak pilihnya khususnya hak untuk dipilih (rights to be candidate) apabila dalam proses penyelenggaraan Pemilu hak tersebut dicabut atau dibatasi oleh pihak penyelenggara. Menurut ketentuan hukum Pemilu, sengketa TUN Pemilu berkaitan dengan (a) verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu; (b) penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD, Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan (c) penetapan Pasangan Calon. Secara prosedur, pengajuan gugatan sengketa TUN Pemilu ke pengadilan tata usaha negara dapat dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu.

Kedua, Putusan PTUN Jakarta a quo, bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain dan KPU wajib menindaklanjuti Putusan PTUN Jakarta a quo paling lama 3 (tiga) hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 471 ayat (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian dalam pergaulan hukum kepemiluan, Putusan PTUN Jakarta a quo yang telah menunjukan adanya kebenaran hukum yang final dan mengikat  atas sengketa TUN Pemilu yang diajukan sebagaimana asas yang dianut secara universal dalam hukum acara peradilan “Res Judicata Pro Veritate Habetur”, bahwa putusan hakim harus dianggap benar.

Ketiga, bahwa amar Putusan PTUN Jakarta a quo yang berbunyi menyatakan batal Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dan memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan KPU RI Nomor: 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 memiliki sifat hukum constitutif dan condemnatoir. Putusan constitutif   (constitutief vonnis) merupakan putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru, sedangkan Putusan condemnatoir (condemnatoir vonnis) merupakan putusan yang memuat amar yang menghukum salah satu pihak yang bersengketa.

Jika dicermati, Putusan PTUN Jakarta a quo, tidak saja menetapkan adanya status batal terhadap Keputusan KPU RI Nomor: 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dan menimbulkan terjadinya keadaan hukum baru berupa batalnya Keputusan KPU a quo, tetapi lebih dari itu Putusan a quo juga memerintahkan KPU (Tergugat Sengketa a quo) untuk mencabut Keputusan KPU a quo sekaligus memerintahkan KPU untuk menerbitkan keputusan tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang mencantumkan nama Dr. (HC) Oesman Sapta sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019.

Putusan PTUN Jakarta a quo yang membatalkan Keputusan KPU RI Nomor: 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018, memiliki akibat hukum terhadap seluruh Calon Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 yang telah terdaftar dalam DCT sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan KPU a quo tidak lagi memiliki legalitas sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019.

Dengan demikian, pengabaian KPU sebagai Terlapor/Tergugat untuk memenuhi perintah Putusan PTUN Jakarta a quo memiliki implikasi hukum yang serius, bukan hanya berdampak pada status hukum OSO secara personal tetapi juga berdampak pada ketidakpastian hukum dan konstitusionalitas status peserta  Pemilu Tahun 2019 dari Calon Perseorangan (DPD) yang ditetapkan  berdasarkan Keputusan KPU Nomor: 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018.

 

Putusan Bawaslu: Resolusi Konflik Ketatanegaraan

Jika ditelusuri, dalam menjatuhkan amar Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018, Bawaslu tidak berada dalam ruang kosong tatanan hukum kepemiluan. Dengan kata lain, proses kualifisir atas fakta-fakta hukum yang telah dikonstatir, Bawaslu tidak saja berhadapan dengan ketentuan hukum kepemiluan khususnya peraturan perundang-undangan tentang pemilu tetapi juga berada dalam himpitan berbagai putusan peradilan (judicial vonnis) yang berdiri pada absolutisme kompetensinya masing-masing, maupun sifat final dan mengikat dari berbagai jenis putusan tersebut.

Himpitan ini secara tekstual putusan menyebabkan terciptanya semacam ”konflik ketatanegaraan” yang perlu diselesaikan. Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang pada hakikat amarnya memberikan pembatasan hak bagi Pengurus (fungsionaris) Partai Politik untuk menjadi anggota DPD yang pada bagian pertimbangan hukum putusan menerangkan bahwa pembatasan tersebut berlaku secara retrospektif. Putusan MA Nomor 65 P/HUM/2018 yang pada hakikat amarnya sejalan dengan Putusan MK  Nomor 30/PUU-XVI/2018  tetapi – masih pada bagian amar putusan- pembatasan tersebut berlaku secara non retrospektif atau berlaku prospektif. Putusan PTUN Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-JKT yang pada hakikat amarnya membatalkan Keputusan tentang DCT Pemilu Anggota DPD Tahun 2019 dan menerbitkan keputusan baru yang mencantumkan kembali nama OSO sebagai Calon anggota DPD Tahun 2019 dalam DCT.

Oleh karena itu, Putusan Bawaslu Nomor 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/XII/2018 yang pada hakikat amarnya memerintahkan KPU menerbitkan Keputusan baru yang mencantumkan kembali DCT sebagaimana yang terdapat dalam lampiran Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 serta mencantumkan nama Dr. (HC) Oesman Sapta sebagai Calon tetap perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 dan memerintahkan KPU untuk menetapkan Dr. (HC) Oesman Sapta sebagai Calon Terpilih pada Pemilihan Umum Tahun 2019 apabila mengundurkan diri sebagai Pengurus Partai Politik paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan Calon Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah, merupakan amar putusan berdasarkan pertimbangan yang saksama untuk menghasilkan resolusi atas konflik ketatanegaraan yang terjadi akibat adanya putusan peradilan (judicial vonnis) yang saling bertentangan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *