Oleh: Dayanto, Peneliti Hukum, Direktur Parliament Responsive Forum (PAMOR)

SABUROmedia, Ambon – Persyaratan calon anggota DPD yang berasal dari pengurus Partai Politik menjadi isu kontroversial sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kontroversi ini dipicu oleh tidak adanya pengaturan khusus tentang pembatasan calon anggota DPD yang berasal dari pengurus Partai Politik pada Pemilu tahun 2014. Padahal, pada Pemilu sebelumnya di tahun 2009, secara tegas Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang  Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menentukan syarat khusus bagi calon anggota DPD yakni tidak menjadi pengurus Partai Politik sekurang-kurangnya  4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

Tidak adanya pengaturan khusus atau tegas tentang pembatasan calon anggota DPD yang berasal dari pengurus Partai Politik dalam kandidasi sebagai anggota DPD muncul pula dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang merupakan legislasi kodifikasi dari ketentuan tentang penyelenggaraan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Penyelenggara Pemilu.

Dalam perkembangannya, pengaturan pembatasan persyaratan calon anggota DPD dalam kandidasi sebagai anggota DPD kembali mencuat menjadi dinamika konstitusi dan ketatanegaraan khususnya mengenai pengisian jabatan anggota parlemen pascareformasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018 yang pada pokoknya dengan tegas tidak membolehkan pengurus (fungsionaris) Partai Politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Distorsi Representasi

Dalam perspektif institusionalis, DPD merupakan lembaga negara produk reformasi yang diidealkan menjadi kanal representasi masyarakat daerah dalam sistem parlemen. Argumen dasarnya bahwa jika perwakilan politik (political representation) oleh Partai Politik diwujudkan melalui  DPR maka perwakilan daerah (territorial representatif) diwujudkan melalui DPD.

Akan tetapi ideal menjadikan DPD sebagai kanal representasi masyarakat daerah terhambat diakibatkan oleh setidaknya tiga problem: pertama, Problem konstitusional, problem ini berkaitan dengan sejumlah hambatan yang muncul pada level konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945. Pokok utama dalam problem konstitusional adalah terbatasnya kewenangan konstitusional DPD untuk menjalankan fungsi parlemennya baik dalam hal legislasi, pengawasan maupun anggaran.

Kedua, problem legislasi, hal ini merupakan kelanjutan dari terbatasnya kewenangan konstitusional DPD yang diatur pada tingkat Undang-Undang, problem utamanya adalah pengaturan kewenangan konstitusional DPD yang terbatas itu direduksi pula pada tingkat Undang-Undang. Atas reduksi ini telah dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), akan tetapi putusan MK belum ditegakkan secara efektif sebagai contoh putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 79/PUU-XII/2014 yang mengkonstruksikan proses legislasi tripartit (DPR-DPD-Presiden) dalam pembentukan Undang-Undang.

Ketiga,  problem pengisian jabatan anggota DPD, problem ini berkaitan dengan dibukanya pintu untuk pengurus Partai Politik dalam kandidasi anggota DPD sebagaimana yang dianut dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 dan UU Nomor 7 Tahun 2017. Kedua undang-undang yang menjadi dasar yuridis pelaksanaan Pemilihan Umum anggota DPD  tahun 2014 dan 2019 ini tidak mengatur syarat yang khusus atau tegas untuk membatasi pengurus Partai Politik dalam mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Akibatnya, berdasarkan persyaratan pencalonannya, jabatan anggota DPD terbuka untuk diisi oleh kandidat yang berasal dari pengurus Partai Politik. Masuknya pengurus Partai Politik ke dalam jabatan anggota DPD berpotensi memunculkan loyalitas ganda (double loyality) kepada rakyat yang yang memilihnya dalam kapasitas perseorangan calon anggota DPD dan kepada Partai Politik dimana pejabat anggota DPD berafiliasi sebagai pengurus.

Ketiga  problem itu secara simultan menyebabkan terjadinya distorsi representasi DPD sebagai perwakilan daerah dalam sistem parlemen pascareformasi. Ideal untuk menghadirkan DPD sebagai kamar yang kuat untuk mengagregasi dan mengartikulasi aspirasi daerah melalui bekerjanya mekanisme perwakilan daerah menjadi terdistorsi.

Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018

Perkara No. 30/PUU-XVI/2018 merupakan perkara pengujian konstitusionalitas UU di Mahkamah Konstitusi dengan pokok permohonan menguji konstitusionalitas Pasal 182 huruf l UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan petitum diantaranya menyatakan frasa “pekerjaan lain” pada Pasal 182 huruf l UU Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai termasuk sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik.

Pada perkara a quo, Pemohon mendalilkan bahwa frasa “pekerjaan lain” yang diikuti dengan frasa “yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” pada Pasal 182 huruf l UU Pemilu, haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum karena.

Setidaknya terdapat dua pokok argumen Pemohon yang mengedepan untuk menopang dalilnya. Pertama, berkaitan dengan esensi keberadaan dan fungsi DPD sebagai lembaga perwakilan yang merepresentasikan kepentingan daerah dalam sistem ketatanegaraan. Titik tekannya pada keberadaan dan fungsi DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan daerah, memperkuat ikatan-ikatan daerah dalam NKRI, mendorong percepatan demokrasi dan kemajuan daerah serta legitimasi DPD yang kuat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah karena anggota DPD dipilih secara perseorangan dan langsung oleh rakyat, berbeda dengan pemilihan anggota DPR yang dipilih rakyat melalui partai politik.

Kedua, tidak adanya jaminan tidak terjadi benturan kepentingan (conflict of interest) bagi anggota DPD yang menjadi anggota Partai Politik atau sebaliknya anggota partai politik menjadi anggota DPD sekalipun hal tersebut merupakan hak konstitusional.

Atas dalil dan argumen yang diajukan oleh Pemohon, amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XVI/2018 menyatakan frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.

Implikasi

Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang diputus pada 23 Juli 2018 ini membawa setidaknya dua implikasi penting. Pertama, pada ranah yuridis. Sebagai negative legislatur, putusan MK a quo memunculkan akibat hukum tertutupnya pintu pencalonan sebagai anggota DPD bagi pengurus (fungsionaris) Partai Politik di Pemilu 2019. Mengingat banyaknya bakal calon anggota DPD yang berasal dari latar belakang pengurus (fungsionaris) partai politik yang telah berproses dalam pencalonan sebagai anggota DPD, maka setelah Putusan MK a quo diundangkan dalam Berita Negara RI maka KPU Perlu merevisi Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah dengan mengintrodusir substansi persyaratan yang tidak membolehkan pengurus (fungsionaris) partai politik sebagai calon anggota DPD.

Kedua, pada ranah ketatanegaraan. Putusan MK a quo menjadi tonggak penting untuk menciptakan purifikasi kamar DPD sebagai territorial representation dalam sistem parlemen dan ketatanegaraan pascareformasi. Secara faktual, saat ini dari 132 anggota DPD terdapat 78 anggota DPD yang menjadi pengurus partai politik (Indonesian Parliamentary Center, 2017). Oleh karena itu,  Putusan MK a quo memiliki semangat besar untuk mengembalikan maksud asli (original inten) pembentukkan DPD sebagai lembaga yang secara utuh mampu mewujudkan kepentingan masyarakat daerah lepas dari kepentingan partai politik tertentu.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *