SABUROmedia, Ambon – Sore itu, sekitar jam 10 pagi, saya sedang menunggu feri penyeberangan Waipirit Hunimua, tiba-tiba saja terdengar dua orang ibu paruh baya sedang bercerita dengan nada tinggi (logat saparua) tentang kejadian pengambilan paksa jenazah covid 19 di kota Ambon. “Tuanggala e, Mar su talalu lai, di momen momen terakhir tu mar keluarga tar bisa lia jenazah lai. Mangkali dong bisa lia dong pung sudara sadiki ka. Kalau su bagitu sapa mau help”?
Percakapan di atas seakan menandaskan bahwa wabah pandemi COVID 19 seakan jadi horor dan mengusik rasa kemanusiaan. Di tengah upaya pencegahan penularan, pemerintah membuat protokol kesehatan untuk kita semua. Orang Ambon bilang, potong pele covid 19, biar basudara selamat.
Kita semua tahu sama tahu (TST), bahwa covid 19 mudah menular melalui kontak fisik dan juga melalui air liur apalagi di ruangan tertutup karena bisa bertahan 8 jam dengan jarak yang jauh. Karena itu, pemerintah mewajibkan pake masker, jaga jarak, dan biasakan cuci tangan. Ini protokol kesehatan yang sangat penting dan mendasar.
Respon masyarakat terhadap protokol kesehatan tak ada hambatan sedikitpun. Dan karena itu sejalan dengan tujuan pemerintah untuk melandaikan jumlah pasien covid 19 di kota Ambon. Ini desiderata yang kita tuju bersama dengan segala literasi tentang covid 19 itu sendiri. Untuk itu, pemerintah mengetatkan, untuk tidak mengatakan menutup fasilitas publik yang didatangi banyak orang, seperti mesjid, gereja, pasar, perkantoran dan fasilitas pendidikan. Itu semua berjalan dengan baik.
Hanya saja, kasus pasien terpapar corona dan meninggal tidak meninggalkan jejak penularan sebagaimana sifat penularan wabah pandemi covid 19. Yang lebih ekstrim sebagaimana terlihat dalam keterangan seorang anak yang terekam video ini, dan juga pasien yang meninggal 5 hari sesudahnya baru keluar hasil swab positif corona (pasien SBB). Keterbukaan dan ketelitian memvonis seseorang terpapar COVID 19 menjadi hal serius dan tidak abal abal karena bisa dianggap hanya mengejar rating jumlah pasien (rumor di masyarakat).
Kenyataan ini mendelegitimasi apa pun informasi yang datang dari pemerintah. Resistensi masyarakat tidak datang begitu saja dan karena itu, perlu sinergitas antara tim GUSTU dan tenaga medis lapangan. Dalam kasus ini, pemerintah harus lebih mendengar ketimbang membangun dominasi narasi penanganan covid.
Dampak dari dominasi narasi, pemerintah dapat dianggap mengabaikan aspek kemanusian dan solidaritas sosial masyarakat.
Pandemi COVID 19 berbahaya karena mudah menular dan tak terlihat. Tetapi sekaligus dapat sembuh dengan sendirinya, jika imun tubuh kuat. ODP, PDP, OTG hanyalah kategori agar mudah diantisipasi dan mudah ditangani, tetapi semua itu kembali kepada imun tubuh yang kuat. Masalah menyiapkan imun yang kuat inilah mestinya menjadi fokus kebijakan pemerintah dengan penyediaan anggaran perawatan pasien. Termasuk bagaimana merawat pasien dengan penyakit bawaan.
Ada pernyataan yang menyebutkan corona sebagai malaikat pencabut nyawa. Sementara menurut info (perlu diuji) kasus kematian yang disebabkan oleh COVID 19 jauh lebih rendah dari jumlah orang mati kecelakaan lalu lintas pertahun. Lalu secara logika, kenapa kita tidak takut dengan jalan?
Memang banyak persepsi tentang kematian. Ada logika yang menyebutkan, karena mau mati, orang menjadi sakit. Atau karena sakit orang menjadi mati. Tetapi kebenaran prosedural memastikan proses pelayanan kesehatan secara faktual dan terukur. Kalau tidak, bisa berakibat pada kelalaian prosedur penanganan. Dan karena itu, negara menjadi alpa terhadap warga negara.
Untuk itu, mestinya sedari awal, tiga hal penting yang bisa dilakukan pemerintah dalam penanganan covid 19. Pertama, pemerintah mengkoordinasikan secara konsep maupun teknis operasional agar tidak terjadi kesalahan prosedur penanganan, terutama rumah2 sakit yang ada di kota Ambon. Kedua, pemerintah bekerja sama dengan media lokal, memberikan informasi yang mendamaikan dan menyejukkan hati masyarakat. Ketiga, pemerintah melibatkan pemuka agama, dan budaya dalam penanganan COVID 19. Respon budaya memiliki dampak psiko sosial yang besar. Terutama praktek menjenguk pasien, atau berkomunikasi dengan pasien sebagai bentuk dukungan moril, sehingga imun tubuh menjadi kuat. Tidak sebaliknya, pasien dikucilkan dan terisolasi absolut karena ketatnya protokol kesehatan.
Tiga hal penting di atas, menjadi masukan untuk dioperasionalkan dalam kebijakan. Kasus penanganan yang sudah terjadi dan menjadi preseden buruk, harus menjadi perhatian serius pemerintah sehingga tidak terulang kembali. Sehat jasmani dan rohani harus dipahami oleh tim kesehatan, sehingga tidak parsial dalam pengetatan mongo mongo (mengabaikan rasa kemanusiaan). Sebab dampaknya akan sangat buruk. Sesakit apa pun, masyarakat enggan ke rumah sakit. Atau terpaksa ke rumah sakit, tetapi dengan resiko pelayanan yang buruk seperti cerita beberapa pasien.
Pemerintah dan masyarakat ibarat satu tubuh. Yang lain sakit, semua merasakan sakit. COVID 19 adalah musibah bersama dan karena itu upaya penangananan menjadi milik bersama. Tetapi kewenangan dan tanggung jawab menjaga warga negara, pemerintahlah tumpuan desiderata bagi kembalinya kehidupan seperti sedia kala. Jangan sampai pemerintah jatuh pada istilah orang Papua “pace ko maksud bae tapi ko pu cara tu”.
Semoga Pandemi COVID 19 ini cepat berlalu dan tidak ada lagi kasus seperti dalam rekaman video ini. ( Lahu alfatiha)
Wallahua’lam – Dr Abdul Manaf Tubaka – Akademisi IAIN Ambon