SABUROmedia, Ambon – Putusan yang sempat viral beberapa hari ini, memang menarik untuk dibaca, menimbulkan spekulasi. Saya sendiri berpendapat putusan MA No. 44 P/HUM/2019 adalah putusan yang biasa saja dalam lazim dalam dunia hukum peradilan. Sama sekali tidak mempersoalkan apakah Hasil Pilpres 2019 sudah tepat memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin atau tidak.

Dalam putusan MA hanya menguji secara materil apakah Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-Undang atau tidak ketentuan yang diuji adalah Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019  apakah bertentangan dengan UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Secara konstitusional memang sudah kewenangan MA demikian adanya, seperti yang diatur dalam Pasal 24 ayat (A) yang pada pokoknya Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangandi bawah undang terhadap undang-undang.

Sedangkan kewenangan sengketa hasil pemilu ada di tangan MK sesuai pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, yang secara konstitusional telah memengkan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan wakil Presiden atas gugatan Prabowo-Sandi. secara konstitusional pula MA tidak diberi wewenang menyoal putusan MK atau bahkan menguji hasil pemilu sebab wewenang absolut iti sudah diberika negara kepada MK.

Dalam perkara ini KPU dinilai MA telah membuat norma baru dengan memasukkan pasal 3 ayat (7)  yang pada pokoknya  Dalam hal terdapat dua pasangan calon dalam Pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan caolo yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan colon terpilih. Tidak selaras dengan UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

KPU barangkali ingin melakukan terobosan hukum mencegah terjadinya  recht vacuum mana kalah tidak ada  calon presiden yang suaranya lebih dari 50 % dari jumlah pemilih dan  tungkat penyebaran suaranya minimal 20% suara disetiap provinsi yang tersebar lebih dari di 50% provinsi di Indonesia seperti yang diataur dalam Pasal 6 A ayat ( 3) Konstitusi.

Kebijakan KPU tersebut memang salah adanya, Sehingga pasal aquo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat krn tdk diperintahkan oleh peraturan yg lbh tinggi yakni UU.7/2017 diatur lebh lanjut oleh PKPU jd bertentangan prinsip suatu peraturan (PKPU) hanya memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan yg lebih tinggi dalam pasall 8 ayat 2 UU No.11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. kira-kira sama kasusnya PKPU yg mengatur larangan napi korupsi maju sebagi  caleg yang  juga dibatalkan MA.

Putusan MA dia atas juga sudah dikeluarkan tanggal 28 Oktober 2019 seminggu setelah Jokowi – KH.Ma’ruf Amin dilantik oleh MPR. Tentu secara hukum tidak bisa juga diterapkan secara surut atau retroaktif, sebab putusan itu diterapkan kedepan atau prospektif.(**)

Dr. Nazarudin Umar (Akademisi IAIN Ambon)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *