“The Direction and Development of Indonesian Democracy in the Pandemic Period (Arah dan Perkembangan Demokrasi Indonesia di Masa Pandemi)”

Oleh : Yusmianto Wally (Ketua DPW Aliansi Pemuda Nasional (APN) Propinsi Maluku) Materi disampaikan pada Temu APN Se-Indonesia

SABUROmedia, Ambon – Bicara soal masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah pada dua hal, yakni penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Dalam hal pelemahan demokrasi, ada dua varian. Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy”.

Tulisan ini penulis tidak akan membahas tentang masalah penguatan Demokrasi, penulis juga tidak akan mebahas masalah Kembali ke kondisi otoriter, karena secara objektif kondisi politim saat ini tidak mengarah kesana. Kondisi politik saat ini seharusnya dilihat dari tengah bergerak ke bentuk Model Post-Democracy. Inilah hakikat kondisi politik kita sebelum Pandemi COVID-19 Terjadi

Post-Democracy

Istilah Post-Democracy digunakan oleh ilmuwan politik Universitas Warwick Colin Crouch pada tahun 2000 dalam bukunya Coping with Post-Democracy . Ini menunjuk negara – negara yang beroperasi dengan sistem demokratis ( pemilihan umum diadakan, pemerintahan jatuh, kebebasan berbicara ), tetapi yang penerapannya semakin terbatas. Elit kecil mengambil keputusan sulit dan mengkooptasi lembaga-lembaga demokrasi. Lebih lanjut Crouch mengembangkan gagasan itu dalam sebuah artikel berjudul Apakah ada liberalisme di luar demokrasi sosial?  untuk think tank Policy Network dan dalam bukunya selanjutnya The Strange Non-Death of Neo-Liberalism .

Colin Crouch memperkenalkan istilah pasca-demokrasi pada tahun 2000. Istilah ini digunakan oleh Crouch untuk merancang evolusi di dalam demokrasi selama abad ke-21.  Ini adalah istilah polemik karena ini menarik perhatian pada demokrasi yang diakui yang kehilangan beberapa fondasinya dan berkembang menuju rezim aristokrat.

Istilah ini juga dapat menunjukkan konsepsi umum tentang sistem post-demokrasi yang mungkin melibatkan struktur pengambilan keputusan dan tata kelola kelompok lain selain yang ditemukan dalam demokrasi kontemporer atau historis.

Menurut definisi Crouch:  “Masyarakat pasca-demokrasi adalah masyarakat yang terus memiliki dan menggunakan semua lembaga demokrasi, tetapi di mana mereka semakin menjadi cangkang formal. Energi dan dorongan inovatif berlalu dari arena demokrasi dan menjadi lingkaran kecil politik elit ekonomi.

Penyebab Terjadinya Post-Demokrasi

1.            Tidak ada tujuan bersama: Bagi orang-orang dalam masyarakat pasca-industri , semakin sulit, khususnya bagi kelas bawah , untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah kelompok dan karenanya sulit untuk fokus pada partai-partai politik yang mewakili mereka. Misalnya buruh , petani atau pengusaha tidak lagi merasa tertarik pada satu gerakan politik dan ini berarti bahwa tidak ada tujuan bersama bagi mereka sebagai kelompok untuk bersatu.

2.            Globalisasi : Pengaruh globalisasi membuat hampir mustahil bagi negara-negara untuk menyusun kebijakan ekonomi mereka sendiri. Oleh karena itu, perjanjian perdagangan besar dan serikat supranasional (misalnya, Uni Eropa ) digunakan untuk membuat kebijakan tetapi tingkat politik ini sangat sulit dikendalikan dengan instrumen demokratis. Globalisasi juga memberikan perusahaan transnasional dengan lebih banyak pengaruh politik karena kemampuan mereka untuk menghindari peraturan federal dan secara langsung mempengaruhi ekonomi domestik. 

3.            Debat yang tidak seimbang: Di sebagian besar negara demokratis posisi partai politik menjadi sangat mirip. Ini berarti bahwa tidak banyak yang bisa dipilih untuk pemilihnya. Efeknya adalah bahwa kampanye politik lebih mirip iklan untuk membuat perbedaan terlihat lebih besar. Juga kehidupan pribadi para politisi telah menjadi barang penting dalam pemilihan. Terkadang masalah “sensitif” tetap tidak dibahas. Jurnalis konservatif Inggris Peter Oborne mempresentasikan sebuah film dokumenter tentang pemilihan umum 2005 , dengan alasan bahwa film tersebut telah menjadi anti-demokrasi karena menargetkan sejumlah pemilih mengambang dengan agenda yang sempit.

4.            Keterikatan antara sektor publik dan swasta: Ada kepentingan bersama yang besar antara politik dan bisnis. Melalui perusahaan lobi , perusahaan multinasional mampu membuat undang – undang lebih efektif daripada penduduk suatu negara. Perusahaan dan pemerintah memiliki hubungan yang erat karena negara membutuhkan perusahaan karena mereka adalah pengusaha yang hebat. Tetapi karena sebagian besar produksi adalah outsourcing , dan perusahaan hampir tidak mengalami kesulitan untuk pindah ke negara lain, hukum perburuhan menjadi tidak ramah karyawan dan gigitan pajak dipindahkan dari perusahaan ke individu. Menjadi lebih umum bagi politisi dan manajer untuk berganti pekerjaan (‘pintu putar’).

5.            Privatisasi : Lalu ada ide neoliberal tentang manajemen publik baru ( neoliberalisme ) tentang privatisasi layanan publik. Lembaga yang diprivatisasi sulit dikendalikan dengan cara demokratis dan tidak memiliki kesetiaan kepada komunitas manusia, tidak seperti pemerintah. Crouch menggunakan istilah “perusahaan hantu” untuk menggambarkan fleksibilitas dan sifat sulit dipahami perusahaan yang membungkuk ke pasar. Dia menyimpulkan bahwa perusahaan swasta memiliki insentif untuk membuat keuntungan individu daripada kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa ada masalah dengan pendanaan perusahaan farmasi (dan skewing) penelitian medis.

Kosekuensi Post Demokrasi

1.            Lebih sedikit pemilih menggunakan hak mereka untuk memilih, atau memilih tetapi tidak berharap banyak.

2.            Politisi dapat mengabaikan hasil referendum atau jajak pendapat yang tidak diinginkan. Misalnya pada tahun 2005 ketika Perancis dan Belanda memberikan suara “Tidak” dalam referendum tentang Konstitusi Eropa , negara-negara ini masih meratifikasi perjanjian setelah hanya modifikasi kecil yang dibuat, dan Anggota Parlemen Inggris (MP) yang menganjurkan mencabut proses Pasal 50 untuk meninggalkan Uni Eropa tanpa referendum kedua, yang merupakan kebijakan Demokrat Liberal setelah referendum 2016 , di mana pemilih memilih mendukung penarikan dari Uni Eropa.

3.            Munculnya xenophobia dan partai populis lainnya yang memanfaatkan ketidakpuasan yang berlaku.

4.            Pemerintah asing dapat mempengaruhi politik internal negara yang berdaulat. Menurut Crouch, cara penanganan krisis zona euro adalah contoh terbaik tentang bagaimana segala sesuatunya berjalan dalam pasca-demokrasi. Para pemimpin Eropa berhasil mewujudkan pemerintahan baru yang berkuasa di Italia , dan di Yunani langkah-langkah penghematan yang jauh diberlakukan, bertentangan dengan suara dalam referendum populer.

5.            Kepentingan pribadi menjadi semakin berpengaruh dalam kebijakan publik.

Dalam kondisi post-democracy ini, Kita dapat melihat beberapa kecenderungan. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam dunia politik bersifat terbatas atau artifisial saja. Hampir semua aspek kehidupan politik ditentukan oleh elite, khususnya elitenya elite (crème a la crème). Persetujuan pusat atau pimpinan pusat amat menentukan dan mewarnai segenap kehidupan kader partai dimana pun berada.

Kedua, dalam situasi di atas, partai bukan lagi sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Partai tidak lagi menjadi alat sebuah basis politik, namun alat kepentingan pemilik partai. Partai dikelola secara eksklusif (top-down) layaknya “firma politik” dan mengandalkan pendistribusian material yang cenderung sentralistis, yang mengakibatkan pendiri/penyandang utama dana partai menjadi pusat segalanya. Visi dan gerak partai lebih ditentukan oleh saran-saran political advisor yang berorientasi mengakomodir kepentingan elite dan oligarki, ketimbang kepentingan riil masyarakat akar rumput.

Ketiga, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth) dalam berpolitik. Hal ini karena pada kondisi post-democracy pertarungan ide tidak diperlukan, yang terpenting adalah bagaimana membangun pencitraan dan memenangkan emosi pemilih dengan janji-janji politik yang menggiurkan. Berkembang sebuah kontestasi seputar meningkatkan citra diri dan menjatuhkan kelompok lawan, yang akhirnya berujung pada pembodohan dan penurunan kualitas demokrasi.

Keempat, hal ini beriringan dengan kecenderungan people ignorance. Dalam banyak momen politik, antusiasme berpolitik masyarakat menurun. Masyarakat juga pada umumnya tidak memahami duduk persoalan, hanya terpaku pada fenomena permukaan. Hal ini terjadi karena kepedulian politik yang semakin rendah terutama karena dunia politik telah dianggap tidak berkenaan langsung dengan mereka, selain karena terlalu banyaknya tipu daya.

Kelima, sebagai dampak dari itu semua, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses dan nilai demokrasi. Inilah yang menyebabkan pengelolaan partai menjadi jauh dari hakikat demokrasi. Begitu pula lembaga-lembaga negara telah menjadi “pelayan oligarki” yang akhirnya berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat kepada mereka. Hilangnya respek juga tercermin dari terus terjadinya manipulasi, kecurangan, dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu yang berujung pada munculnya pemerintahan yang eksklusif. Sementara itu, redupnya norma-norma demokrasi menyebabkan mudahnya demokrasi memicu konflik politik atau terbajak kepentingan sesaat para elite.

Kondisi Demokrasi Indonesia

Beberapa kecenderungan inti post-democracy di atas pada umumnya terjadi di Indonesia. Inilah yang menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kondisi demikian, munculah sebuah demokrasi tanpa demos.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal reformasi. Tercermin dari berbagai istilah yang diberikan oleh beberapa pemerhati politik Indonesia, seperti “Delegative Democracy” (Slatter 2004), “Patrimonial Democracy” (Weber 2006), “Patronage Democracy” (Klinken 2009), “Political Cartel” (Ambardi 2009), “Clientelism” (Aspinal dan Berenschot 2019; Rahmawati 2018), dan “Oligarchy” (Bunte and Ufen 2009, Hadiz and Robison 2004, Winters, 2011).

Secara spesifik setidaknya ada sebelas karakteristik demokrasi di Indonesia saat ini yang mencerminkan demokrasi tanpa demos itu.

Pertama, lemahnya pelaksanaan checks and balances. Ini terlihat dari lemahnya peran partai, DPR, kehakiman, dan lain sebagainya di hadapan eksekutif.

Kedua, meredupnya sikap kritis civil society, baik pers, LSM, akademisi, dan sebagainya sebagai mitra pemerintah; dan pembungkaman kalangan aktivis-kritis. Akibatnya, demokrasi kita sejatinya tengah tumbuh dalam “tanah yang gersang”.

Ketiga, kepemimpinan nasional tidak membawa pencerahan/pendewasaan berpolitik. Para elite juga tidak cukup berhasil dalam memelihara soliditas masyarakat, menghindari personifikasi politik, dan mendorong demokrasi substansial-rasional. Inilah yang akhir-akhir ini menjadi pendorong berkembangnya pembodohan politik dan manipulasi kepentingan serta pembelahan politik.

Keempat, lemahnya penerapan nilai-nilai demokrasi, baik pada level elite ataupun masyarakat, seiring dengan meningkatnya oportunisme di kalangan elite dan meredupnya pendidikan politik serta melemahnya ekonomi masyarakat.

Kelima, penegakan hukum yang tebang pilih. Kedekatan dengan rezim akan membawa keuntungan tersendiri dalam dunia hukum kita. Selain itu, ada kecenderungan menerabas aturan yang terlihat pada aturan-aturan kekinian, termasuk omnibus law. Keenam, memudarnya partisipasi rakyat yang otonom dan genuine. Ini ditandai dengan maraknya politik uang, manipulasi informasi, dan beroperasinya buzzer secara masif.

Ketujuh, pelemahan kebebasan berekspresi demi stabilitas politik yang ditandai dengan meningkatnya pendekatan keamanan dan kriminalisasi.

Kedelapan, terjadinya “de-demokratisasi internal” pada lembaga-lembaga politik, terutama partai yang justru menyuburkan nilai-nilai anti-demokrasi dan meningkatkan personifikasi lembaga demokrasi. Kesembilan, pelaksaana pemilu dan pilkada yang sarat dengan manipulasi dan politik uang. Uang demikian bermakna dan menentukan (money talks and decides). Akibat situasi ini, muncul fenomena yang disebut sebagai “votes without voice”. Kesepuluh, repolitisasi birokrasi dan aparat untuk kepentingan penguasa, terutama dalam kontestasi elektoral. Kesebelas, terjadinya diskriminasi politik atas nama SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dan rasa kedaerahan.

Dengan kesebelas karakteristik itu, tidak mengherankan jika nilai demokrasi Indonesia menjadi jeblok. Dari hasil studi Economist Intelligence Unit (EIU), dalam dua tahun terakhir ini, di kawasan Asia Tenggara Indonesia berada di peringkat 3 dengan Global Rank (64), Regional Rank (11), Score (6,48), Category (Flawed Democracy), di bawah Malaysia dan Filipina, dengan kategori sebagai “flawed democracy” (demokrasi yang cacat). Sumber: EIU Index 2019.

Ekosistem Politik Saat COVID-19: Bringing the State Back In

Ekosistem politik saat pandemi ditandai dengan peran pemerintahan yang diperkuat guna menangani krisis. Dalam setiap krisis ada tendensi penguatan peran penguasa, baik dengan alasan yang terkait kebencanaan, peperangan, ataupun krisis lainnya. Atas nama memulihkan krisis, pemerintah dapat melakukan segala sesuatu yang dianggap penting.

Dalam kondisi seperti ini pemerintah kemudian menjadi cenderung memiliki banyak hak bahkan privilege, termasuk membuat berbagai aturan yang bersifat restriksi atau diskresi. Aturan khusus negara dapat memasuki ranah-ranah privat sekalipun. Pemerintah dapat menerapkan itu secara sepihak. Di banyak negara, aturan lockdown ataupun karantina tidak memerlukan persetujuan dari masyarakat. Sehingga pada masa krisis dikenal kondisi “More State, Less Private”.

Selain itu, pemerintah juga memiliki hak untuk menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk dapat membawa negara keluar dari kondisi krisis. Ini memungkinkan negara mengeluarkan pengaturan yang bersifat khas demi pemanfaatan sumber daya semaksimal mungkin. Di negara kita bahkan dimungkinkan adanya sebuah pelaksanaan kebijakan terkait pandemi tanpa perlu adanya pengawasan, sejauh itu didasarkan pada “itikad baik” untuk penyelesaian masalah COVID-19.

Dimungkinkan pula bagi pemerintah untuk mengeluarkan lebih banyak uang dengan skema yang ditujukan pada upaya-upaya mengatasi dan antisipasi dampak pandemi ini. Di Indonesia misalnya, pemerintah telah menganggarkan dana sekitar Rp 405 triliun, dari berbagai sumber keuangan yang tersedia, diperuntukkan untuk tiga persoalan besar, yakni kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Adanya nuansa kedaruratan juga dapat menuntut masyarakat untuk lebih taat. Di beberapa negara, misalnya, sudah digunakan terminologi “We are at war!” Begitu juga akhirnya di Indonesia, pemerintah terutama melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sudah menggunakan istilah perang. Vietnam telah menggunakan istilah ini tak lama setelah adanya penyebaran virus COVID-19. Makna dari peperangan ini adalah perlunya suatu komando dan disiplin khas perang, sehingga diharapkan adanya sebuah kepatuhan umum baik masyarakat maupun internal pemerintah sendiri, agar dapat memenangkan perang itu.

Tidak lama setelah ditetapkannya status Bencana Nasional, Presiden Joko Widodo bahkan sempat melontarkan wacana “Darurat Sipil” yang mengarah pada bentuk pemerintahan darurat bernuansa militeristik. Belakangan Letjend. Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, bahkan sudah menggunakan lagi seragam militernya dalam menyampaikan pesan-pesan terkait penanganan virus ini, yang secara simbolis menguatkan kesan perang itu.

Dengan kondisi ini, terasa sekali nuansa penguatan peran dan kedudukan pemerintah atau negara. Sehingga tampak seolah seperti Bringing the State Back In, sebuah fenomena yang dibayangkan dalam sebuah buku yang disunting oleh Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer, dan Theda Skocpol. Meski penguatan peran pemerintah dibutuhkan, menurut Steve Hank dalam tulisannya Crises Enliven: Totalitarian Temptations (2020), apabila tidak dibatasi atau berkesudahan situasi ini dapat mengarah pada apa yang disebutnya sebagai “godaan totalitarian”.

Selain itu, menurut Hank tanpa adanya kebijakan yang tepat dan dapat dikontrol dengan efektif, situasi ini dapat menciptakan oportunis-oportunis atau para pembajak kepentingan yang membahayakan kepentingan rakyat dan akhirnya eksistensi negara.

Dengan melihat ekosistem politik seperti ini, tampak penguatan peran negara menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Memang situasi ini tidak selalu akan mengarah pada pemusnahan demokrasi, namun manakala itu tidak sesuai takaran dan periode waktu yang dibatasi, maka akan berpotensi melanggengkan kekuasaan menuju “godaan totalitarian”. Atau setidaknya, akan membawa pada pelemahan demokrasi karena adanya tendensi pemerintahan yang terpusat dan memunculkan para oportunis/oligarki.

Kondisi Politik dan Pemerintahan Era Pandemi

Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan. Kita pada dasarnya masih akan menghadapi problematika demokrasi yang sama. Beberapa fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, masih terus lemahnya checks and balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era Jokowi yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung penguasa.

Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai merebak. Begitupula saat munculnya beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika tidak lancarnya pemberian bantuan sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis, secara umum nuansa over-protective parlemen kepada pemerintah masih terasa.

Kedua, konsolidasi civil society yang tetap masih belum maksimal. Secara umum kalangan ini masih terus bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif. Termasuk adanya gangguan “perang proxy” yang melibatkan para buzzer untuk saling serang dan juga membungkam kritik dan mencanangkan satu versi kebenaran. Akibatnya, kalangan civil society tetap memainkan peran pinggiran dan terabaikan.

Ketiga, sinergi dan koordinasi internal pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini telah menimbulkan saling silang di jajaran pemerintahan sendiri. Pemusatan kekuasaan dan birokrasi penentuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi efek dari situasi yang tidak terkoordinasi dan tidak sinergis itu. Sentralisasi kebijakan ini kerap dipertanyakan, mengingat PSBB harus dilakukan segera oleh kepala daerah tanpa harus menunggu keputusan administratif yang memperpanjang rantai birokrasi. Apalagi kenyataannya, kita sudah terlanjur lambat dalam merespon pandemi ini.

Keempat, munculnya fenomena oportunisme. Pada bulan April 2020, Staf Khusus Milenial Presiden, yakni Andi Taufan, Adamas Belva, dan Gracia “Billy” Joshapat menjadi sorotan. Ketiganya secara umum ditengarai telah memanfaatkan posisinya untuk meraih keuntungan pribadi, yaitu upaya mendapatkan proyek pemerintah terkait pandemi, baik langsung maupun tidak langsung. Meski ketiganya menolak disebut demikian, namun aroma “kolusi gaya baru” sulit untuk dinafikan.

Fenomena ini tampaknya sejalan dengan dugaan Hank tentang munculnya kalangan oportunis di era pandemi. Desakan publik yang demikian kuat, mendorong Andi Taufan dan Adamas Belva untuk mengundurkan diri. Presiden sendiri tidak menganjurkan itu dan tetap mempertahankan keberadaan stafsus milenial meski muncul suara-suara untuk membubarkannya.

Kelima, beberapa hal lain yang turut mewarnai kehidupan politik ini adalah perlindungan terhadap citra pemerintah. Pemerintah tampak melihat kewibawaan di saat krisis harus dijaga, sayangnya itu dimaknai dengan melakukan pengawasan kepada masyarakat. Tidak mengherankan jika kepolisian diminta untuk lebih intens dan proaktif dalam melindungi simbol-simbol negara termasuk presiden.

Begitu pula fenomena tuntutan permintaan minta maaf kepada kalangan kritis, yang sedikit banyak menunjukkan ketidakarifan penguasa dalam membedakan kritik kebijakan dengan pencemaran nama baik. Hal ini turut memperlambat pemulihan pelaksanaan dan penghormatan atas kebebasan berpikir dan upaya membangun opini kritis di tengah masyarakat.

Keenam, munculnya kebijakan bertendensi oligarki, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Beberapa kalangan mengkritik kebijakan ini terutama karena memberikan peluang terjadinya sebuah mal-adminsitrasi yang tidak bisa diawasi dan bahkan dituntut baik oleh lembaga negara sendiri, apalagi oleh masyarakat. Selain itu, kebijakan ini memberikan peluang bagi siapa saja untuk melakukan pemanfaatan keuangan negara hanya atas dasar itikad baik, yang secara riil bepotensi menyuburkan praktik kongkalikong. Kedua hal itu sudah cukup untuk menjadi alasan penolakan kebijakan ini karena berpotensi dimanfaatkan oleh para oligarki.

Dengan berbagai situasi politik dan pemerintahan di atas (dan tentu saja ditambah ekosistem politik pada masa pandemi), tentu mudah terlihat bahwa esensi politik kita belum mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.

Resesi ekonomi kini menjadi ancaman baru bagi perekonomian global. Sejumlah negara maju bahkan tidak lepas dari ancaman ini. Indonesia, sebagai negara yang ikut terdampak ketidakpastian ekonomi global, perlu mengantisipasi ancaman resesi. Tanpa adanya langkah antisipasi, situasi politik dalam negeri yang belum stabil membuat Indonesia rawan terkena resesi ekonomi. Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, hal tersebut dapat membesar ancaman resesi untuk Indonesia.

Dalam menyikapi hal ini langkah preventif yang dilakukan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi perekonomian nasional dari gejolak ekonomi global. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih tergolong cukup realistis dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% di tengah kondisi riil saat ini yang masih bertengger pada level 5,08%. Walaupun demikian, pemerintah tetap perlu terus mewaspadai ancaman resesi global yang mungkin terjadi pada tahun depan.

Dengan kondisi seperti ini Negara Indonesia sudah barang tentu mengalami degradasi sitim dalam penanganan dan pencegahan anjlokanya perekonomian Indonesia sehingga bisa berdampak pada gangguan psikologi masyarakat inidonesia secara kolektif yang mengakibatkan tidak adanya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap berbagai macam policy pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Menurut seorang sosiolog dari Turki, ketika dilihat dari sudut pandang sosiologi, wabah ini telah menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan biologis manusia. “Ini adalah sebuah tamparan keras bagi modernitas yang mencita-citakan masyarakat steril. Idealisme ini didasarkan pada klaim keabadian manusia, yang kini diguncang oleh pandemi yang merenggut puluhan ribu nyawa di seluruh dunia,” banyak negara, termasuk Turki, telah mendirikan dewan sains untuk mengoordinasikan penanganan Covid-19.

Rasa takut akan tertular virus menyebabkan tindakan irasional pada banyak orang. Di Indonesia, kita menyaksikan pembuat kebijakan dan pemimpin tidak serius menangani krisis ini, sehingga menghasilkan kebijakan yang tak bertanggung jawab, yang justru memperburuk krisis dan mencekik masyarakat kecil dengan dalil bahwa aturan ini dibuat untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19, dibalik dalil tersebut pemerintah justru menghadirkan sejumlah keraguan bagi masyarakat Indonesia terhdap pemerintah itu sendri. Bisa kita lihat kebijakan pemerintah selama pandemic berlangsng, dimana masyarakat diminta untuk “STAY AT HOME” tepapi pememrintah mengijinkan para TKA Asal china berdatangan ke Indonesia, kemudian Rancangan RUU OMNIBUSLAW Oleh DPR dan Rancangan HIP. Hal ini ibaratkan BOM Atom yang dijatuhkan pemrintah kepada masyarakatnya sendri.

Solusi

Menurut Crouch ada tugas penting untuk media sosial di mana pemilih dapat berpartisipasi lebih aktif dalam debat publik . Selain itu, para pemilih ini harus bergabung dengan kelompok advokasi untuk kepentingan tertentu. Warga harus mendapatkan kembali tempat mereka dalam pengambilan keputusan. Dia menyebut ini pasca-demokrasi.

Gerakan Occupy adalah suatu bentuk oposisi yang kurang lebih teratur yang tumbuh dari ketidakpuasan terhadap kekuatan industri perbankan . Sejarawan Belgia David van Reybrouck menggambarkan dalam bukunya Against Election, masalah terkini dalam demokrasi Barat sebagai sindrom kelelahan demokrasi . Sebagai solusi ia menganjurkan demokrasi deliberatif yang didasarkan pada pemilahan . Dalam Kondisi Seperti ini semangat kolaborasi sangat diperlukan demi menjaga keutuhan dan kestabilan bangsa Indonesia saat ini, Kolaborasi kerja sama ditanamkan disegala bidang baik itu dari struktur pemerintah itu sendri maupun seluruh elemen civil Sociaty. Dalam buku yang ditulis oleh Vera John-Steiner dengan judul “Kolaborasi Kreatif” menceritakan tentang bagaimana kesuksesan yang dimiliki orang-orang cerdas seperti Pablo Picasso dan Albert Einstein sangat dipengaruhi oleh kemitraan dengan orang-orang di zaman mereka. Kolaborasi kreatif juga masih diperlukan sampai sekarang. Terlebih lagi, perkembangan teknologi telah mempermudah kita untuk bisa saling berkolaborasi dengan menggunakan kemajuan teknologi yang ada.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *