Oleh Dr. Nasaruddin Umar, SH.MH (Staf Pengajar Fakultas Syarian dan Ekonomi Islam IAIN Ambon)
SABUROmedia, Ambon – Penyampaian aspirasi sejumlah pedagang Pasar Mardika pada hari Jum’at, 12 juni 2020 di Kantor Wali Kota Ambon mempersoalkan Peraturan Wali Kota Ambon No. 16 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Orang, Aktivitas Usaha dan Moda Transportasi dalam Penanganan Covid 19 di Kota Ambon (Perwali Kota Ambon 23/2020), kebijakan ini dipandang tidak adil dan merugikan pedagang pasar khususnya penjual Ikan dan Penjual Sayur hal ini ditunjukkan pada hari senin sebelumnya pedagan Ikan membuang ikan dagangannya karena kesal tidak laku dan membusuk, hal tersebut sebagai dampak pembatasan waktu berdagang yang diberikan hingga pukul 16.00 dan demikian pula waktu operasional yang dirasakan singkat. Kebijakan Wali Kota Ambon tersebut dirasakan merugikan sejak diberlakukan hari senin kemarin.
Apa sebetulnya yang terjadi dalam Perwali Kota Ambon 23/2020 mengapa keberlakukannya mulai diprotes warga masyarakat seperti keluhan supir pengangkutan barang yang dibebankan rafid tes, dan kewajiban menggunakan surat kesehatan untuk memasuki kota Ambon dipandang sebagia warga cukup memberatkan hingga dampak ketidakadilan yang dirasakan pedagan pasar.
Jika kita melihat beberapa ketentuan dalam Perwali Kota Ambon 23/2020 seperti Pasal 23 disebutkan bahwa Pemenuhan kebutuhan sehari-hari sebagaimana yang dimaksud pada ayat 91) di atur sebagai berikut a. penyedia barang retail di : 1) pasar rakyat dikhususkan bagi penjualan barang kebutuhan pokok tetap dibuka dengan pembatasan waktu operasional yaitu 05.30- 16.00. selanjutnya angka 2) Mall toko swalayan, berjenis minimarket, supermarket, hypermarket, indomaret Alfamidi, dan toko khusus baik yang berdiri sendiri maupun yang berada di Pusat pembelanjaan tetap dibuka dengan pembatasan waktu operasional yaitu 08.00-21.00 WIT. 3) toko/warung kelontong, pedagang kaki lima (PKL) dan sejenisnya tetap dibuka dengan pembatasan waktu operasional 08.00-21.00 WIT, 4) dikecualikan kepada Gerai Modern yang sudah beroperasi 24 jam selama ini tetap diberlakukan.
Pasal 24 dikatakan pedagang barang kebutuhan pokok di Pasar Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a angka 1 berjualan secara bergiliran ganjil genap dengan menggunakan Kartu Identitas Pedagang.
Jika di analisi ketentuan frasa pasal 23 dan pasal 24 maka nampak jelas ada perlakuan pemberlakukan hukum yang berbeda bagi subjek hukum penyedia barang retail pasar rakya dikhususkan bagi penjualan barang kebutuhan pokok dengan subjek hukum Mall toko swalayan, berjenis minimarket, supermarket, hypermarket, indomaret Alfamidi, dan toko khusus toko/warung kelontong, pedagang kaki lima (PKL). Maka dapat diperoleh sejumlah fakta hukum yakni:
1. Ada perbedaan dari segi pembatasan waktu operasional, pasar rakyat dikhususkan bagi penjualan barang kebutuhan pokok waktu operasional 05.30- 16.00 sedangkan Mall toko swalayan, berjenis minimarket, supermarket, hypermarket, indomaret Alfamidi, dan toko khusus toko/warung kelontong, pedagang kaki lima waktu operasionalnya 08.00-21.00, sedangkan Gerai Modern yang sudah beroperasi 24 jam selama ini tetap diberlakukan.
2. Ada perbedaan dari sisi Perggunaan Sistem ganjil genap, bagi pedagang barang kebutuhan pokok di Pasar Rakyat menggunakan sistem berjualan ganjil-genap sedangkan Mall toko swalayan, berjenis minimarket dan yang lainnya tidak diterapkan penjualan sistem ganjil-genap.
Selanjutnya secar empiris hukum penerapan hukum ketentuan pasal 23 dan pasal 24 tidak diterima sebagian pedagang yang ditunjukkan pada aksi tersebut.
Berdasarkan fakta empiris dan fakta dalam pengaturan norma diatas maka pertanyaan hukum yang dibalik fakta hukum tersebut adalah apakah telah terjadi diskriminasi hukum, untuk menganalisis isu hukum tersebut penulis menggunakan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah dalam Pasal 58 pada pokoknya menentukan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan negara yang antara lain keadilan, proporsionalitas, dan kepentingan umum. Dalam penjelasan
Asas keadilan adalah bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, Asas proporsional adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Sedangkan asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. Beradasarkan asas tersebut di atas tindakan pemerintahan Wali Kota Ambon bertentangan dengan asas keadilan, proporsional dan kepentingan umum.
Pada aspek keadilan telah terjadi perlakuan yang tidak adil pemberlakukan hukum dari segi waktu beroperasi yang tidak sama dimana pedagang pasar rakyat dikhususkan bagi penjualan barang kebutuhan pokok waktu operasional 05.30- 16.00 berarti total jam operasinya sekitar 11 jam 30 menit) dan Mall toko swalayan, berjenis minimarket, supermarket, hypermarket, indomaret Alfamidi, dan toko khusus toko/warung kelontong, pedagang kaki lima waktu operasionalnya 08.00-21.00, sekitar 13 jam ada perbedaan 1 jam 30 menit.
secara proporsional hak dan kewajiban seharusnya diperoleh sama sementara pedagang pasar rakyat dibatasi waktu jam 16.00 padahal jam 16.00 hingga malam merupakan waktu yang strategis bagi mereka mendapatkan pembeli karena umumnya pasar ramai disore hari. Secara asas kepentingan umum seharusnya wali kota dalam melakukan tindakan pemerintahan mengutamakan kesejahteraan umum rakyat dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
Demikian halnya sistem perggunaan Sistem ganjil genap, hanya bagi pedagang barang kebutuhan pokok di Pasar Rakyat adalah perlakuan yang tidak adil. Sebab ada konsekuensi ketiga pedagang tidak berjualan sehari maka ada kerugian yang diderita baik dari sisi pendapatan, kualitas barang pokok yang mudah rusak. Sementara pedagang lainnya tidak diberikan ketentuan yang sama sehingga lebih diuntungkan secara pendapatan dan terjaganya kualitas barang. Dari sisi keadilan maka jelas masyarakat pedagan yang bergantung dengan penghasilan harian tentu sangat dirugikan, sementara tidak ada konpensasi yang diberikan.
Selanjutnya jika dikaitkan peristiwa hukum tersebut dengan ketentuan Pasal 76 UU. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasi warga dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan ini dengan aspirasi masyarakat di Kantor Wali Kota Ambon yang merasa dirugikan dan meresahkan akibat kebijakan ini.
Maka ada persoalan krusial tindakan kepala daerah berkaitan dengan pasal aquo, bahwa kepala daerah dilarang membuat kebijakan yang merugian dan meresahkan. Karena itu dari analisis hukum perundang-undangan tersebut dan prinsip-prinsip tindakan pemerintahan (bestuur handelingen) maka dapat disimpulkan bahwa aspirasi aksi pedagang tersebut sudah tepat dari sisi perundang-undangan bahwa ada persoalan ketidakadilan dan kerugian bagi kepentingan umum pengaturan norma dalam Perwali Kota Ambon 23/2020 sepanjang berkaitan dengan Pasal 23 dan Pasal 24, dan karenanya perlu ditinjau kembali oleh pemerintah kota.
Sebab bagaimanapun tindakan pemerintahan baik dalam bentuk mengeluarkan peraturan (regeling) yang bersifat umum maupun keputusan (beschikking) yang bersifat individual dan kongkrit harus selalu disandarkan pada asas legalitas yakni peraturan perundang-undangan atau wetmatigheid van bestuur dan berdasarkan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) serta senantiasi memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia berdasarkan Pasal 5 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang harus dipatuhi sesuai ketentuan Pasal 7 bahwa pejabat pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(**)