SABUROmedia, Ambon – Pemerintah kota Ambon sepertinya tidak kehabisan cara, setelah Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditolak oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah tidak tinggal diam, upaya yang dilakukan pemerintah Kota Ambon dalam menghentikan angka penyebaran covid-19 di tengah besarnya mobilitas masyarakat. Pengajuan Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditolak oleh pemerintah pusat, hal ini tidak meredam semangat Pemerintah Kota Ambon. Setelah ditolak, Pembatasan aktivitas kegiatan masyarakat menjadi salah satu parameter untuk menghentikan penyebaran covid-19, atau kebijakan ini menggantikan PSBB.

Walikota Ambon Richard Louhanapessy menerbitkan peraturan baru terkait pembatasan aktivitas masyarakat kota Ambon, yang diatur dalam  PERWALI NOMOR 16 TAHUN 2020 tentang : Pembatasan Kegiatan Orang, Aktivitas Usaha, Dan Moda Transportasi Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (covid-19) Di Kota Ambon. Penerbitan peratutarn ini sebagai langkah menekan laju penyebaran pandemi. Mirisnya, jika dikaji pasal demi pasal, maka subtansi dari PERWALI NOMOR 16 TAHUN 2020 tidak memiliki dasar yang kuat dalam mengurangi angka penyebaran covid-19. Jika dikaji pasal demi pasal, tidak ada satupun langkah preventif yang menekan mobilitas masyarakat demi mengurangi penyebaran pandemi. Sebaliknya, peraturarn yang dibuat malah memberi ruag gerak yang lebih besar lagi, apa sebenarnya yang terjadi ?

Penerbitan peraturan tersebut sesungguhnya adalah upaya menguntungkan industri besar. Bagaimana tidak ? jika ganjil genap, maka jelas nilai keuntungan dan perubahan ekonomi jelas sangat merugikan pedagang kecil. Kenyataannya ganjil genap tidak diberlakukan pada Swalan, seperti Allfamidi, Indomaret dan mirisnya lagi Gerai modern yang tetap dibuka selama 24 jam, tidak berubah jam operasionalnya di tengah pemberlakuan PERWALI NOMOR 16 TAHUN 2020. Pemerintah kota Ambon sepertinya melakukan pembunuhan secara terbuka pada ekonomi masyarakat kecil.

 Mirisnya, sampai saat ini Ambon termasuk wilayah yang masih terlihat biasa-biasa saja mobilitas masyarakat. Pemerintah terlalu lebai dalam memberikan informasi yang bisa menciptakan kegaduhan sosial bagi masyarakat Kota Ambon dalam melakukan interaksi di ruang publik. Misalnya, jika kita membaca dan menganalisa subtansi dari pasal demi pasal, maka jelas tidak ada solusi yang ditawarkan oleh Pemerintah Kota Ambon, malah pemerintah melakukan seting sosial untuk mengendalikan dan mengacaukan aktivitas masyarakat dengan berita-berita yang menimbulkan ketakutan.

Misalnya kita baca pada bagian ketiga, yakni pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum pasal 22 pemenuhunan kebutuhan sehari-hari sebagaimana dimaksud pada “ayat (3) huruf (d) yakni melakukan deteksi dan pemantauan suhu tubuh pada karyawan dan konsumen yang memasuki pasar/toko, serta memastikan karyawan yang bekerja tidak sedang mengalami demam ringan atau sakit”. Jika ditinjau kembali (peka), maka akan menimbulkan pertanyaan besar di kepala kita. “apakah pemerintah Kota Ambon bisa menjamin setiap pengusaha atau pedagang mampu menjalankan protokol kesehatan tersebut ?” dan apakah pemerintah Kota Ambon bisa memberikan jaminan, bahwa setiap pedagang memiliki alat rapid test untuk mengukur suhu tubuh karyawan dan konsumen ?”. jika tidak, apakah pemerintah mampu menyediakan kepada setiap pedagang untuk memiliki alat rapid test tersebut ? apakah pemerintah mampu menyediakan  ?. boro-boro, bantuan aja nyasar di wilayah nepotisme (sistem kekeluargaan).

Belum lagi pasal 23 pemenuhan kebutuhan sehari-hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut : a. penyediaan barang retail di : ayat (3) Toko/warung kelontong, pedagang kaki lima (PKL) dan sejenisnya dibuka dengan pembatasan waktu operasional yaitu 08.00 – 21.00 WIT. Jika membandingkan dengan ayat (4) yang isinya “dikecualikan pada Gerai Modern yang sudah beroperasi selama 24 jam selama di Kota Ambon, tetap diberlakukan.

Hal ini membuktikan pemerintah kota Ambon dengan PERWALI NOMOR 16 TAHUN 2020, aturan ini dibuat untuk memperkaya pegusaha besar dan menciptakan kesanjangan sosial yang berkepanjangan. Sosiolog abad 19 seperti Karl Max, melihat ini bagian dari eksplotasi dan dominasi lebih dari kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang. Eksploitasi merupakan suatu bagian penting ekonomi kapitalis (baca : Teori sosiolog). Hal ini yang dimaksudkan Karl Max yang menjadi aktor kejahatan dan konflik sosial terutama pada ruang-ruang ekonomi adalah pemerintah sendiri.

Jelas bahwa kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan harapan rakyat, PERWALI AMBON NOMOR 16 TAHUN 2020 jelas dilakukan Richard Louhanapessy selaku Walikota Ambon sangat merugikan masyarakat bawah, khsususnya pedagang kecil. Langkah yang diambil bersifat Top-dwon: pendekatan dari atas ke bawah, yang menggunakan pengambilan keputusan oleh pemerintah dan kemudian dikomunikasikan ke rakyat. Jelas aturan yang diterbitkan semua atas dasar hasrat pemerintah Kota Ambon, terkhususnya Richard Louhanapessy selaku walikota Ambon. Semestinya langkah dan kebijakan yang diambil lebih mengutamakan Bottom-up: pendekatan dari bawah ke atas, yang menggunakan pengambilan kebijakan berdasarkan masukan dari rakyat dan kemudian disusun serta direalisasikan oleh pemerintah.

Jika pemerintah menerapkan PERWALI AMBON NOMOR 16 TAHUN 2020 sebagai upaya mencegah pandemi covid-19 selama 14 hari, makanya 14 hari bukanlah waktu yang efektif untuk mengurangi penyebaran pandemi di kota Ambon yang masuk dalam zona merah. Jika langkah ini tidak berhasil, maka patut dipertanyakan rekaya sosial apa yang sedang dimainkan dalam waktu 14 hari. Jika ini benar tidak berhasil, lantas apalagi yang dibuat pemerintah kota untuk merugikan ekonomi rakyat kecil dan menambahkan raut keuntungan pada pengusaha skala besar.

Salah satu alasan untuk beralih kepada pengembangan masyarakat sebagai sebuah alternatif bagi bentuk-bentuk layanan kemanusiaan yang lebih tradisional adalah bahwa ia menjanjikan suatu solusi yang lebih mencukupi bagi banyak masalah sosial kontomporer yang paling menekan. Masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, kejahatan, kesendirian, penyakit mental dan kekerasaan rumah tangga, tampaknya tidak terpecahkan. Meskipun telah dilakukan upaya-upaya terbaik oleh pembuat kebijakan, ilmuwan sosial dan perilkau professional layanan kemanusiaan, problem-problem ini tetap tidak tergoyahkan, dan kalau pun ada perubahan hanyalah ke arah yang semakin buruk (baca : Community Devlopment).

Upaya dalam membangun citra politik dalam menyambut momentum baru atau yang disebut new normal, sejatinya menimbulkan citra buruk pemerintah di mata masyarakat sendiri. Hal ini semakin membuat masyarakat tidak percaya atas apa yang sedang dilakukan pemerintah di masa pandemi covid-19. “Dan seperti puisi Taufiq, aku malu mengatakan ini adalah bentuk penindasan” (baca :Republik salah urus). Upaya pemerintah kota Ambon dalam menjalankan PERWALI AMBON NOMOR 16 TAHUN 2020, tak ubahnya menciptakan ranking sosial atau gap sosial yang lebih besar lagi.

Tulisan ini adalah bagian dari kekesalan penulis selama berdiskusi bersama masyarakat Kota Ambon dan teman-teman mahasiswa yang bergelut dengan persoalan ekonomi di kamar kost. Apa yang ditulis oleh penulis adalah bagian dari penulis menyampaikan kekesalan dan ketidak percayaan masayarakat kota ambon.

Ada sebuah cerita populer dibalik revolusi, mengenai kenaifan Raja Louis XVI di Francis. Alkisah, sang Raja sedang  mengobservasi gelombang protes di jalan-jalan kota Paris di tahun 1789. Raja menoleh kepada sahabatnya, Duc De La Rochefoucauld-Liancount, dan berbisik, “oh Tuhan !, itu adalah pemberontakan !”, “bukan tuan”, La Rochefoucauld menjawab, “itulah adalah revolusi” (baca : kematian manusia modern).

Penulis: Ikbal Kaplale (Mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Institut Agama Islam Negeri Ambon) Menjabat Sebagai Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ambon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *