Oleh: Leak Kustiyo (Jawa Pos)

SABUROmedia, – Tafsir menyangkut seperti apa sebaiknya detail peradaban New Normal, akan terus berkembang dan bakal berlangsung lama. Berbagai narasi yang sekarang beredar berguna, terlebih untuk memberikan gambaran awal bahwa seperti pendapat banyak pihak, itulah kira-kira bentuk Normal Baru nanti. Warna-warni seperti ke-Indonesia-an kita selama ini.

Yang dikatakan presiden, politisi, pakar, budayawan, psikolog, penulis, penyiar, semua itu levelnya cuma mungkin dan kira-kira. Draf kasar saja. Kita juga tak perlu terlalu berharap bisa mendapat blueprint presisi dari siapa pun soal hadirnya kompleksitas zaman baru.

New Normal bukan sekadar dua kata yang maknanya bisa diringkas dalam larangan singkat yang isinya: wajib, harus. Ini peradaban baru dengan bentuk kesulitan yang absurd dan multi. Kesempatan rakyat menggunakan haknya untuk membuat tafsir yang tidak serupa.

Di tengah zaman yang masih dalam proses unboxing dan baru akan dijalani ini, ada baiknya masyarakat segera diajak belajar mengenali tanggung jawab baru dan diberi ruang untuk mereka-reka. Dengan terus mengingatkan bahwa inti kesadarannya adalah: hindari perpindahan virus lewat droplet dengan cara bermasker, jaga jarak, dan cuci tangan.

Cuci tangan, rakyat tahu. Sabun cuci, hampir semua punya. Tapi, air mengalir, barangkali banyak yang perlu dibantu. Bisa diadakan secara gotong royong. Pejabat menjadi motivatornya.

Jaga jarak. Duduk-duduk, antre sambil berdiri. Jarak terdekatnya itu minimal berapa meter? Presiden, menteri kesehatan, gubernur, atau ketua partai yang punya kewajiban menjelaskan konkretnya soal jarak ini. Masyarakat hanya tahu, makan di restoran tidak boleh karena bergerombol. Tarawih jangan. Jumatan stop dulu. Pergi ke mal berbahaya. Tanpa tahu, soal jarak ini, maksud pemerintah ukurannya seperti apa.

Droplet. Para bupati di Madura, Gunungkidul, Trenggalek, Wonogiri, para wali kota, dan gubernur provinsi mana pun di negeri ini, silakan coba bertanya kepada rakyatnya: Kamu tahu artinya droplet?

Saya pernah bertanya kepada enam orang yang saya temui –salah satunya wartawan– secara acak: Apa artinya droplet? Dua orang menjawab ludah. Satu orang menjawab air liur. Satu orang menjawab idu. Satu orang tidak tahu. Satu orang lagi menjawab upil tapi lembut kayak debu.

Kalau droplet adalah kata yang sulit dimengerti –apalagi buat rakyat bawah, buta huruf pula–, pemerintah harus mencari cara agar bisa efektif memberikan penjelasan. Atau menemukan kata lain penggantinya yang maksudnya sama, dan rakyat jadi tahu. Agar pakai masker itu menjadi sebuah kesadaran yang utuh karena paham fungsinya. Bukan karena takut KTP disita dan selama 6 bulan tidak bisa mengurus perpanjangan SIM dan SKCK.

Mempertimbangkan kearifan kekinian, barangkali, perlu untuk menguji para pelaku bisnis di berbagai bidang usaha dan industri guna diajak belajar mempertanggungjawabkan perilaku New Normal di lingkungan mereka. Pemilik restoran, manajemen mal, pengurus pasar, pengurus tempat ibadah, pemilik pabrik, diminta mulai menjalankan protokol kesehatan sehari-hari. Pihak pemerintah atau aparat mendampingi. Ini untuk latihan, agar situasi darurat yang penuh dengan larangan dan sanksi berubah menjadi pola pendampingan menuju mandiri. Anggap saja semacam geladi bersih untuk memasuki New Normal 9 Juni nanti. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *