Oleh: Reinaldo Pattisina – Aktifis GAMKI Kota Ambon
SABUROmedia, Ambon – Pancasila adalah konsepsi ideologis-dasar falsafah (philosofische grondslag) kebangsaan yang lahir dari pergulatan intelektual para “founding fathers/mothers” kita, dalam menemukan Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama. Pancasila adalah refleksi para pendiri bangsa atas kenyataan nusantara, sekaligus menjadi visi kedepan akan kejayaan bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya di PPB, pada 30 september 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi keberlangsungan bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu dalam bahaya” (Soekarno, 1989:64).
Pentingnya konsepsi ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh cendikiawan – politisi Amerika Serikat, John Gardner: “No nation can achive greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar) – Dikutip dalam Nurcolish Madjid (1992:xx).
Pokok moralitas dan dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila
dapat dilukiskan sebagai berikut:
Pertama, mernurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal – transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Dalam kaitan ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang memisahkan “agama” dan “negara” dan berpretensi untuk menyudutkan peran agama ke ruang privat. Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara agama diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Tetapi saat yang sama, Indonesia juga bukan “negara agama” yang hanya mempersentasikan salah satu unsur agama dan memungkinkan agama mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan multi keyakinan, negara diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan, dan harus dapat mengembangkan politiknya sendiri secara independen dari dikte – dikte agama.
Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai – nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horisontal) dianggap penting sebagai etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas, yang mengarah pada persaudaraan dunia itu dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar, bangsa indonesia menggunakan segenap daya dan khasanah yang dimilikinya utnuk bebas -aktif melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ke dalam, bangsa indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga negara dan penduduk negeri. Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradap”…
Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai – nilai etis kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Dalam internasisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan ini, Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan – Persatuan dalam Keberagaman (BHINEKA TUNGGAL IKA). Ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang bagi perbedaan, seperti perbedaan agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit -unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.
Dengan demikian indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, yang bukan saja dapat mempertemukan kemajuemukan masyarakat dalam komunitas politik bersama, tapi juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing…
Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, niali ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan cita – cita kebangsaan, dalam aktualitasnya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan politik berkelindan kesetaraan ekonom, yang menghidupkan semangat persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-mufakat”. Dalam prinsip ini, keputusan tidak di dikte oleh golongan mayoritas (mayokrasi) atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa pandang bulu…
Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan “keadilan sosial.” Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya. Di sisi lain, otensitas pengamalan sila-sila Pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam perikehidupan kebangsaann. Visi kadilan sosial Pancasila, mengkehendaki adanya kesemimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, kesimbangan antara peran manusia sebagai makhluk indiividu (yang telembaga dalam pasar) dan manusia sebagai makhul sosial (yang terlembaga dalam negara), juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya…
Hari ini, 1 Juni 2020, secara pribadi saya merayakan hari lahir Pancasila dalam keprihatinan terhadap kondisi berbangsa dan bernegara. Padahal kurang apa dari “Pancasila” kita. para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara – yang menjiwai penyusunan UUD – yang begitu visioner dan tahan banting (durable). Suatu dasar falsafah yang memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat, yang jika dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan diamalkan secara konsisten, dapat mendekati perwujudan “negara paripurna”…
Ada semacam krisis penghayatan dan pengamalan Pancasila sebagai jiwa bangsa. Pancasila krisis di tengah suasana kebangsaan yang semakin ditandai oleh membesarnya potensi benturan antar anak bangsa. Atraksi politik para elit dalam pertarungan kuasa hanya malah menghasilkan limbah politik yang semakin menggerogoti Pancasila.. Pancasila sebagai basis moralitas bangsa; makin kemari, semakin kabur-atau sengaja dikaburkan.. Ia tak lagi dihayati dan diamalkan, praktik – politik direduksi ke titik terendah menjadi sekadar pertarungan demi kuasa…
Bagi saya, kondisi keterpurukan bangsa – Pancasila dalam keadaan krisis dan sampai saat ini tak dapat berfungsi dengan baik, disebabkan oleh kemerosotan politik (political decay) yang luar biasa yang sementara terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegegara. Sebut saja, konflik internal partai politik sebagai dampak akses oligarki politik, konflik antar lembaga penegak hukum yang berekses disfungsi kelembagaan dan ketidakpastian hukum, fungsi kelembagaan menjadi kabur akibat terbajaknya lembaga oleh kepentingan para elitnya, konflik antar elit, atraksi politik identas yang semakin gemar dilakukan oleh para elit politik yang hanya demi mengejar kekuasaan. Kemunduran moral dan etika elit politik maupun penyelenggara negara – berapa banyak elit politik dan penyelenggra negara yang terlibat kasu korupsi, kolusi dan nepotisme. Situasi bangsa riuh, gaduh – karena para elitnya ribut, tidak siap melakukan proses proses sosial – politik secara efisien…
Fenomena pemboncengan atau bisa jadi pembajakan terhadap agama untuk kepentingan politik melalui jalan kekerasan, merebaknya pengaruh ideologi transnasional disatu sisi dan masih kuatnya masalah-masalah sosial ekonomi yang menghadirkan radikalisme yang destruktif. Praktik politik telah mereduksi Nilai-nilai utama agama, seperti cinta, kedamaian, kerendahan hati, empati, martabat manusia dan arti penting kehidupan…
Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjadi menjadi barang langka di persada nusnatara, yang masih harus diperjuangkan dengan darah. Lingkungan poitik dan ekonomi masih jauh dari suasana adil. Kasus-kasus pelanggaran HAM, Pembiaran dan penghilangan orang tak kunjung terang benderang. Malah kita baru saja menyaksikan, bagaimana teror menjadi alat kekuasaan yang paranoid pada kasus terhentinya diskusi akademis yang akan digelar oleh Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) – ruang-ruang akademik dikebiri, kebebasan berpikir dan berpendapat diberangus dengan ancaman dan teror. Sementara itu, Nun jauh di timur sana, Rakyat termarginalkan – ditinggalkan oleh negara, mereka terpaksa hidup dalam standar paling minimal; bahkan sebagaian besar masyarakat di timur masih berada di bawah standar minimal. Akses terhadap pemenuhan kebutuhan paling minim, oleh pemerintah hanya disediakan Sekurangnya – Selebihnya masyarakat yang harus mengais. pada saat yang bersamaan, meraka hanya dapat menyaksikan sambil mengelus dada; melihat kekayaan alamnya yang melimpah terus dieksploitasi untuk kepentingan segelintir kelompok orang…
Akhir-akhir ini, Persatuan Indonesia mengalami ujian berat. Kecenderungan penguatan sentimen indentitas keagamaan dalam proses-proses kontestasi kepemimpinan dengan menggunakan HOAX sebagai senjata utama untuk membakar emosi rakyat – Para elit yang berkepentingan, mengeksploitasi isu-isu sensitif berdasarkan perbedaan agama dan etnik yang mengarah pada radikalisasi politik indentitas, menggiring massa untuk saling berbenturan. Pelibatan kekuatan massa dalam setiap momentum kontestasi politik, menjadi sesuatu yang menggejala dalam dinamika poitik berbangsa dan bernegara Fenomena demikian mempertegas polarisasi politik yang berpotensi pada konflik yang mengancam masa depan persatuan indonesia.
Sementara itu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan masih dalam tataran slogan semata, rakyat yang empunya kuasa menjadi tak kuasa dihadapan konspirasi kepentingan elit politik. Harga atas kepentingan asasi rakyat berada jauh dibawah Indonesia harus belajar berpolitik dengan melampaui kepentingan sempit. Partai-partai politik punya kepentingan. Militer dan polisi punya kepentingan. Pebisnis juga punya kepentingan. Semuanya harus dikelola dengan tepat, sambil tetap memperhatikan rasa keadilan dan kesejahateran masyarakat luas.
Padahal, sebagai bangsa kita terlanjur berharap pada demokrasi, sebagai sebuah sistem yang paling mungkin untuk membawa bangsa indonesia mengapai cita-citanya yang luruh itu.
Cita-cita keadilan sosial bagi rakyat, dirampok guna kepentingan elit penguasa dan para cukong politik yang notabene adalah para penguasa kaya raya. Keadilan sosial masih mengecewakan rakyat. Padahal kami/rakyat yang empunya kuasa – air mata jatuh melihat para pelayan rakyat yang dimuliakan, ternyata tak tulus dan sungguh dalam memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Padahal, sistem politik demokrasi diciptakan untuk memastikan, bahwa keadilan dan kemakmuran bisa dijangkau oleh semua, tanpa kecuali. Di Indonesia, demokrasi masih sebatas ajang simbol tanpa isi, karena semua hal dikendalikan oleh mafia politik. Sementara ketimpangan ekonomi begitu besar, para pejabat negara hidup mewah di dalam gelimpangan harta dan fasilitas yang dibayar oleh pajak rakyat sambil tersenyum-senyum santai melihat rakyat melarat.
Sebagai anak bangsa, miris memang melihat kenyataan ini. Namun keresahan ini muncul bersamaan dengan kecintaan akan tanah air Indonesia – di dalam dada ini masih bergemuruh dengan kencang perasaan cinta Indonesia. Karena itu, tak akan pernah berhenti berharap, bawa Indonesia kedepan akan menjadi lebih baik, lebih adil kepada segenap anak bangsa. Kita tentu berharap negara harus mampu hadir sebagai pengelola utama kebangsaan dengan meletakan kembali pancasila pada kesejatiannya sebagai dasar dan sekaligus arah dalam mewujukan keadilan dan kemakmuran untuk semua.
Negara harus berani melawan para mafia yang bekedok politikus, pemerintah, ataupun wakil rakyat. Kita berada pada fase penting yang amat menentukan masa depan sebuah bangsa. Jika gagal, maka kita akan mengalami negara gagal (failed state). Indonesia kini berada di fase itu – apalagi dengan situasi pandemi yang tak hanya menyerang kesehatan rakyat, namun juga menyerang sendi-sendi perekonomian. Masa depan kita sebagai bangsa dipertaruhkan. Apakah kita akan menjadi negara gagal yang tak mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan pada rakyatnya? Atau, kita bisa mewujudkan tata politik yang baik dan adil untuk semua warga?
Menurut Yudi latif dalam buku Negara Paripurna, Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannyapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan, “where there is no vision, the people perish” visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha “penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berlandaskan dasar falsafah bangsa indonesia sendiri (Yudi Latif, 2017:54)
Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah apa yang disebut Kuntowijoyo (2001) dengan proses “radiikalisasi pancasila” – sebuah revolusi gagasan, demi membuat pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditatakelola dengan benar. Radikalisasi pancasila yang dimaksudkannya adalah mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan pancasila sebagai ideologi menjadi pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, (4) pancasila tyang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi pancasila yang melayani kepentingan horisontal (rakyat), dan (5) menjadikan pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Perayaan hari lahir pancasila 1 juni 2020, kiranya sekaligus menjadi ikhtiar bersama kita sebagai anak bangsa yang mencintai tanah tumpah darah indonesia, untuk menguatkan kembali karakter pancasila dan ikatan keindonesiaan. SEMOGA.. (Tulisan ini dikembangkan berdasarkan gagasan Yudi Latif dalam Negara Paripurna, 2017). (**)