SABUROmedia, Ambon – Sejak serangan senyap mikroba yang menggegerkan Wuhan, Hubei, China pada 6 (enam) bulan lalu silam. Betapa tidak, dari seliweran berita (mainstream dan online) yang beredar puluhan, dan ribuan terpapar dalam tempo sekejap (meminjam kalimat Akademisi IAIN Ambon Ayahanda Ihwan Putuhena). Kejadian luar biasa ini pertama kali menyerang China,  sesuai dengan data TEMPO.CO angka kematian dari desember sampai bulan mei yaitu, 4.636 orang jumlah ini berdasarkan peta sebaran Covid-19 versi Worldometers, masi menempatkan China di urutan ketujuh di bawah Amerika, Spanyol, Italia, Prancis, Jerman, dan Inggris sebagai peyumbang kasus penularan dari total 2,2 juta kasus di dunia (Sumber: TEMPO.CO).

Saat Wuhan diserang oleh mikroba ini, masayarakat menjadi prustasi dengan keadaan yang terjadi, hal ini dikarenakan angka kematian yang begitu cepat dan besar. Pemerintah sebagai penanggung jawab utama melakukan langkah preventif dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk, petugas Kesehatan dan Militer bahkan masyarakat Sipil yang tergabung sebagai relawan ikut mencari cara demi menangani pandemi covid-19. Tak harus menunggu lama, hampir seluruh Negara di dunia mengalami nasib yang sama dengan Tiongkok, musibah yang disebut sebagai bencana alam yang menakuti seluruh masyarakat dunia ini, membawa dampak psikis bagi masyarakat. Tiap negara sibuk menangani masyarakatnya sendiri, kebijakan atau keputusan pemerintah kini meramaikan jagat media masa, dengan tujuan menciptkan protocol kesehatan yang menjadi pedoman untuk masyarakat melakukan interkasi sosial.

Lockdown bagian dari cara efektif untuk mengurangi besarnya eskalasi penyebarannya, bahkan terlihat sampai saat ini pemerintah disibukan dengan perancangan kebijakan yang seharusnya menguntungkan masyarakat luas. Hal ini tak terlepas dari tugas dan fungsi pemerintah, berbagai pakar di bidang riset diundang dan memenuhi panggilan media masa untuk menyampaikan kepada masyarakat luas seperti apa protocol kesehatan yang dijalani.

Mereka yang dinyatakan positif oleh dokter, wajib melakukan karantina demi mencegah penyebaran atau memutuskan mata rantai pandemi covid-19. Mereka yang tidak dapat tertolong dan berujung kematian, mungkin telah bagian dari ketentuan Tuhan, ratusan dan bahkan ribuan jiwa terpapar dalam tempo sekejap. Orang-orang berjatuahn di jalanan, Kota Wuhan yang tadi menjadi pusat mobilitas masyarakt kini dihantui pandemi covid-19 dan mengisahkan luka. Demi menjaga ketertiban dan keselamatan masyarakat, masyarakat harus melakukan protocol kesehatan dan amanat konstitusi dari pihak berwenang.

Kita melihat kondisi Negara kita Indonesia, saat pandemi Covid-19 ini mulai masuk dan menyerang Ibu Kota Negara kita, hal ini menimbulkan keresahan dan ketakutan terhadap masyarakat kita. Bahkan bukan saja di pihak masyarakat, kita bisa melihat ketakutan yang dihadapi oleh pihak pemerintah, namun untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya pemerintah berupaya mengeluarkan peraturan yang menguntungkan semua pihak. Angka kematian secara keseluruhan yang dikeluarkan berdasarkan data Kementrian kesehatan Republik Indonesia kini melonjak, kasus spesimen diperiksa 140.473, kasus negatif spesimen  (87,5% spesimen) 122.959, kasus konfirmasi 17.514, kasus meninggal (6,6%) 1.148, kasus sembuh (23,6%) kasus dalam perawatan (69,9%) 12.237, jumlah ODP 270.876, dan jumlah PDP 35.00 (sumber : PHEOC Kemkes RI).

Mirisnya, saat semua orang sedang berupaya melakukan memenuhi standar protokol kesehatan, kita diperhadapkan dengan masalah yang lebih besar lagi, yakni krisis ekonomi yang terjadi akibat dampak pandemi covid-19 ini kini menjatuhkan psikis masyarakat, bukan saja persoalan kesehatan yang dihadapi, namun persoalan ekonomi juga. Hal ini terbukti, saat media online menampilkan kondisi negara dengan kondisi yang paling parah dan angka terburuk saat diserang pandemi covid-19, kita melihat kesedihan yang tergambarkan pada wajah sejumlah masyarakat dunia yang diserang mikroba ini, mereka membutuhkan bantuan atau subsidi demi menjaga stabilitas ekonomi mereka.

Sebagai langkah preventif untuk meminimalisir daya sebarannya dan upaya menjaga stabilitas ekonomi, secara sosiologi, masyarakat kita bergantung penuh terhadap kebijakan pemerintah yang menguntungkan masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena upaya mebatasi aktivitas masyarakat Indonesia atau Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) sempat menimbulkan persoalan terhadap pendapatn perkapita.

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa terlepas dari persoalan ekonomi. Sejak bangun tidur, kita sudah diperhadapkan pada masalah ekonomi, misalnya berupa saldo tabungan pada hari itu, berapa target penjualan harus dicapai hari itu, berapa nilai keuntungan hasil penjualan-penjualan kita atau mungkin berapa harga sepatu yang sedang kita pakai. Kini masalah ekonomi menjadi kompleks (Sumber : Teori Ekonomi :5). Hal ini berjalan senadah dengan datangnya pandemi covid-19, Jelas hal ini  hampir seluruh aktivitas atau pekerja dirumahkan, hal ini untuk mengurangi penyebaran dampak dari pandemi.

Kita kembali pada persoalan utama yang dihadapi saat ini, saat pandemi covid-19 menyerang, secara sosiologis masyarakat diguncang dengan persoalan ekonomi, peraturan yang mewajibkan warga tetap di rumah saja atau Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) kadang tidak diindahkan. Kenapa demikian masyarakat kita mengalami watak yang arogan, hal ini tidak terlepas dari persoalan ekonomi. Mereka yang merasa bagian dari pekerja lepas dan dibayar dengan upah harian lebih memilih tetap keluar dari rumah mereka, hal ini dilakukan demi menyambung kehidupan ekonomi  keluarga. Lantas kebijakan yang dikeluarkan belum mampu mampu mengendalikan laju mobilitas masayarakat kita.

Gubernur DKI Jakarta saat menyampaikan permohonannya di media masa saat diwawancarai oleh Deddy Corbuzier, Gubernur yang sering disapa dengan sebutan Bang Anies ini memohon agar kiranya masyarakat melakukan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah DKI Jakarta. Ia memohon agar mobilitas masyarakat bisa dikendalikan oleh pihak berwenang, jika hal ini tidak diindahkan, maka mobilitas masyarakat dikembalikan pada kesadaran sendiri. Hal ini dikarenakan tingkat penyebaran yang begitu cepat bisa mendatangkan masalah kedua, yaitu penyebarannya akan lebih meningkat lagi.

Alhasil pemerintah pusat dan daerah bukan saja bekerja untuk menangani masalah pandemi covind-19, namun pemerintah juga berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. sejak awal pandemic menyerang negara Indonesia, masyarakat yang bekerja dengan pendapatan harian merasa sangat terpukul.

Mirisnya kita bukan saja menghadapi persoalan pandemi covid-19 dan krisis ekonomi, namun masyarakat juga diperhadapkan dengan kondisi ketidakmerataan distribusi sembako yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Gagasan kebutuhan manusia mengacu pada hal-hal yang harus dimiliki, seperti pangan, papan, air, keamanan dan sebagainya.  (baca: Community development.159) hal ini menimbulkan masalah yang cukup serius, bisa jadi kita sedang mengalami krisis kesehatan, ekonomi dan kepercayaan. Di saat pandemi menyerang masyarakat luas, masi ada orang yang mengambil keuntungan.

Perlahan nilai kepercayaan masayarakat kita terhadap Pemerintah mulai menurun. Kredibilitas masyarakat ini diakibatkan karena distribusi sembako di kalangan masyarakat yang dilakukan oleh oknum pemerintah masi menggunakan lagu lama, yakni tindakan nepotisme. Hal ini menjadi masalah ketiga setelah pandemi dan krisis ekonomi, masyarakat bukan saja menghabiskan waktu untuk berebut sembako, namun kini masyarakat diperhadapakan dengan ancaman nepotisme.

Kenyataannya adalah distribusi sembako tidak sesuai dengan harapan, besaran anggaran yang dikeluarkan demi mencapai target Pemerintah dalam menanggulangi persoalaan ekonomi di tengah pandemi. Misalnya pengalaman penulis selama berkunjung di beberapa tempat di kota Ambon, Provinsi Maluku, hampir seringkali penulis bertemu dengan beberapa warga dan mahasiswa yang resah dengan keadaan sekarang, pasalnya mereka berasalan distribusi sembako tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tingkat kepercayaan masyarakat mulai terlihat memudar, bahkan tak jarang kadang kita mendengar sumpah serapa yang dilontarkan pada pihak berwenang.

Mirisnya dengan kondisi saat ini, masi ada saja orang yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan lebih, saat kondisi mengancam banyak nyawa. Inilah Indonesia, negara dengan kumpulan para bandit yang mengatasnamakan penyambung lidah rakyat, mirisnya bukan penyambung lidah rakyat tapi memotong lidah rakyat. Bahkan kita melihat teman-teman demonstran seenaknya dipukul dengan mereka yang menggunakan seragam dan bersepatu hitam pekat, bertindak arogan, tidak manusiawi dan memasung nalar rasionalitas. Bagi teman-teman yang sampai saat ini masi merawat akal sehat dan berdiri di garda terdepan, mereka tidak diminta untuk dibayar bahkan dipuji di kalangan teman-teman. Mereka hanya ingin berbicara agar sekiranya tidak dipasung nalar dan kebebasan atas nama rakyat Indonesia. Manusia memiliki kesanggupan membuktikan dirinya sebagai manusia dengan kapasitas nalar, apakah ia ingin menjadi orang yang terhormat atau ingin menjadi gelandangan yang diludahi zaman, seluruhnya tergantung pada nalar manusia. (baca: kematian manusia modern.23). ini bagian terpenting atau landasan utama teman-teman demonstran.

Saat pandemi covid-19 yang menyerang dan membunuh masayarakat, kita masi saling membunuh, seperti kata filsuf Yunani Ariestoteles (human humani lupus) “manusia menjadi serigala atas manusia sendiri” (baca: Pengantar Ilmu Politik). Mirisnya setiap musibah yang datang melanda Negeri ini, mereka yang dipercayakan selalu mengkhianati kepercayaan itu sendiri, masyarakat kadang hanya menaru harapan pada Tuhan jika kepercayaannya dicabik oleh bandit berdasih.

Penulis Ikbal Kaplale

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *