By: Ismail Borut (Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Ambon)

SABUROmedia, Ambon – Puasa sebagai ibadah yang tua menjadi ritual kontemplatif untuk menampaki puncak kearifan hidup manusia. Bahkan agama agama lain juga menjadikan puasa sebagai ritual menuju tahapan asketisme yang sebenarnya, hal ini sebagaiman seruan kitabnya bahwa puasa merupakan ajaran agama yang suda diperintahkan pada kaum sebelum Islam.

Puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat sebelum Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, pengakuan ini paling tidak menujukan dua hal yakni:

Pertama legitimasi teologi (tekstual) bahwa puasa merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan untuk peningkatan kualitas diri manusia.

Kedua legistimasi budaya (kontekstual bahwa puasa merupakan agenda suci yang suda membudaya dalam masyarakat sebelumnya datangnya peradaban Islam.

Dalam pemaknaan berbagai teks agama tidak ada momentum dibulan lain yang melebihi keistimewaan ramadhan melalui puasa manusia merasakan pengalaman asketis atau  estetis yang luar biasa.

Ramadhan merupakan ritual keagamaan yang penuh dengan nilai kearifan, untuk itu setiap Ramadhan di Maluku menyambutnya dengan berbagai tradisi budaya lokal menjelang malam Lailatul Qadhar atau malam 27 Ramdhan yang bertujuan untuk mensyiarkan ajaran Islam.

Menjelang malam 27 ramadhan dinegeri Wandan/Banda Ely kecamatan kei besar utara timur menyembutnya Rufuno Namarai Penyambutan malam 27 Ramdhan ini, tampak terasa selesai sholat ashar setiap marga  membawa makanan dimasjid dibacakan tahlilan dan doa keselamatan.

Selain itu juga negeri Wandan/Banda Ely pada malam Lailatul Qadhar di adakan pembakaran Namar di dalam kulit bia diletakan dirumah penduduk, makna simbolisnya adalah negeri itu dilingkupi cahaya dari pacaran keagungan Lailatul Qadhar. Dan juga malam Lailatul Qadhar dinegeri Wandan/Banda Ely d mengumadangkan azan tujuh orang azan di masjid.

Makna simbolisnya adalah menyeruhkan kepada penduduk negeri untuk sholat dalam keagungan malam Lailatul Qadhar. Di kota Tual untuk kepalaun Kur penyambutan malam Lailatul Qadhar biasa masyarakat menyambutnya ” Hore Fundamar” atau perahu Lailatul Qadhar. Negeri pulau Kur dalam malam 27 ramadhan, tampak selesai sholat Ashar diadakan Hoer Fundamar perahu layar yang berukuran kecil dan diiringi dengan adrat didepan perahu Lailatul Qadhar, makna arfianya adalah meminta keselamatan dan keberkahan kepada negeri.

Demikian halnya negeri Engglas kecamatan Bula SBT, datangnya malam 27 Ramdhan Warga menyalakan lampu pelita atau yang disebut sebagai pembakaran damar dinegeri Sepajang jalan suasana kian semarak saat pembakaran damar, warga merebut ketupat yang diletakan di pohon kecil depan rumah. Makna simbolisnya adalah rasa syukur atas malam Lailatul Qadhar, dan rasa syukur karena memasuki idul Fitri.

Dikabupaten Buru Selatan, dinegeri wamsisi malam 27 Ramdhan disebut sebagai malam tujuh likur, dinegeri wamsisi ini,  warga berbodong bodong membawa ketupat dimasjid, makna simbolisnya adalah memberikan sedeqah kepada negeri Indahnya Islam saat bergadengan dengan tradisi dan budaya setempat, tak dapat diukur dengan apapun Meskipun Islam lahir digurung pasir yang sangat tandus, tetapi ajarannya tradisi lokal yang masih dilestarikan dalam menyanbut malam 27 Ramdhan di Maluku.

Negeri di Maluku Tengah, dipulau Haruku,Tulehu pada umumnya kecamatan Salahutu dan morella kecamatan jazirah,  datangnya malam 27 ramadhan menyembutnya malam tuju likur Dinegeri pulau haruku pada umumnya malam 27 ramadhan diadakan pembakaran damar Sama juga di Tulehu kecamatan salahutu, penyambutan malam 27 ramdhan, tampaknya terasa, selesai sholat Ashar, masyarakat berbodong bodong membawa ketupat air di masjid, maknanya adalah biar jamah yang beribadah dan itiqaf selama semalam itu tidak lapar karena penyediaan makanan

Selain itu dinegeri Tulehu pada 27 ramadhan diadakan pembakaran damar Di dalam tampurung kelapa diletakan didepan rumah penduduk, makna simbolisnya adalah negeri ini dilingkupi cahaya dan pancaran keaguangan Lailatul Qadhar.

Adapun makna arfianya agar masyarakat yang itikaf dimasjid tidak mengalami hambatan dijalan raya yang gelap Jenis tradisi tersebut merupakan varian untuk mengangungkan bulan suci Ramdhan pada masing-masing negeri/ohoi di Maluku.

Tradisi kearifan lokal tersebut, tentunya semuanya merupakan bentuk simbolis yang memiliki makna dengan ajaran Islam Maraknya tradisi budaya keagamaan di Maluku tersebut maka jelas ada sesuatu yang harus dipahami lebih jahu, mendalam dan luas mengenai Lailatul Qadhar Mengingat perjalanan waktu yang demikian pajang banyak budaya keagamaan kita yang akhirnya berhenti sebagai kegiatan kebiasaan lahiriah dan formalistik semata, kosong dari pemaknaan. Bahwa Islam di Maluku dalam proses penyembaran ajaran keagamaan indentik dengan mengunakan pendekatan persuasif kultural, yang hasilnya adalah Islam Maluku yang damai penuh dengan khazana tradisi dan kebudayaan yang khas.(SM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *