Oleh: S. IndroTjahyono, Pegiat Sosial

SABUROmedia, Jakarta – Di Indonesia ada kecenderungan menyepelekan pengadaan sembako (sembilan kebutuhan pokok) dalam menyelamatkan masyarakat yang tertimpa bencana. Hal itu dilatarbelakangi; pertama, menganggap konsep keluarga besar (extended family) dan hidup saling tolong menolong masih eksis di masyarakat. Kedua, berasumsi bahwa masyarakat, merupakan rakyat yang agraris dan bisa mendapat substitusi makanan dari lingkungan sekitar. Dan ketiga, umumnya masyarakat dianggap punya kesabaran dan dayatahan menghadapi krisis bahan pangan pokok.

Hargailah Hak Hidup dan Hak Rakyat atas Pangan

Pandangan demikian harus dibuang jauh-jauh. Karena pemenuhan kebutuhan pangan adalah hak asasi manusia yang harus dijamin negara. Food right atau hak atas pangan yang dapat diakses dengan jumlah cukup dan harga patut harus diwujudkan.

Dalam Undang-undang Karantina Kesehatan dinyatakan bahwa ketika negara menyatakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat menjadi kewajiban negara. Namun di lapangan telah terjadi kesenjangan waktu antara penetapan PSBB dengan penyediaan dana untuk menyelenggarakan bantuan kebutuhan  pokok masyarakat. Keterlambatan datangnya bantuan selama ini masih ditoleransi, tetapi tentu tidak untuk selamanya.

Celakanya keterlambatan atau realisasi masih terjadi ketika Pemerintah secara resmi katanya sudah mengalokasikan dana dan sudah menyiapkan paket-paket bantuan itu ke masyarakat. Masalah klasik timbul, yakni bagaimana masyarakat bisa mengakses untuk mendapat bantuan tersebut. Di lain pihak kepala daerah atau kepala desa dengan jaringan RT/RWnya tidak dipercaya untuk menyalurkan bantuan.

Persoalan Klasik Validitas Data

Soal kisruh dalam penyaluran bantuan untuk masyarakat sudah sangat kronis di Indonesia. Tidak ada sistem baru yang handal yang menjamin agar bantuan diterima pihak yang berhak. Saat ini juga sudah digunakan sistem online dalam penyaluran dan kontrol, namun masyarakat masih enggan menggunakannya.

Pemberian bantuan sosial juga menghadapi persoalan klasik, yaitu validitas data keluarga penerima. Di Kabupaten Banyumas misalnya. Pemerintah pusat menggelontorkan bantuan sebesar Rp600 ribu per KK selama tiga bulan. Namun, bantuan sosial ini hanya untuk 57.722 KK terdampak Covid-19. Padahal  menurut Bupati Banyumas Achmad Husein, ada 131 ribu KK yang seharusnya menerima bantuan.

Jika di Banyumas bansos dipotong 50%, di Depok bantuan setiap keluarga dipotong 25 ribu rupiah. Dana itu akan digunakan untuk membangun lumbung sembako yang diberikan pada warga yang tidak menerima. Pasalnya dari 100 penerima bantuan yang diajukan, hanya mendapat jatah 37 keluarga.

Prosedur Berbelit-belit

Kesalahan data, lamanya waktu realisasi, penyunatan bantuan, sulitnya penetapan kriteria penerima dan penyalur bantuan serta prosedur yang berbelit-belit; di berbagai daerah sudah membangkitkan kericuhan. Temperamen para penerima bantuan semakin tinggi akibat kelaparan dan keputusasaan. Kini keadaan itu bukan saja terjadi di kelas bawah, tetapi sudah merambah ke kelas menengah bawah.

Kelas menengah juga bagian dari yang terpapar Covid 19. Mereka bukan kurang pangan, tetapi tidak memiliki cash untuk membeli kebutuhan pokok saat tabungan mereka ludes. Menjual properti dan mendapat pinjaman juga sulit.

Kelas menengah telah dikesampingkan sebagai pihak yang juga terpapar Covid 19. Sementara itu pandemi virus Covid 19 telah memperparah  kesenjangan sosial yang ada. Dalam hal social distancing hanya kelas menengah yang bisa melaksanakan,  tapi kelas bawah yang tinggal dalam bedeng 20 m2 bersama 4 orang.

Muncul Kesenjangan Sosial

Kelas bawah tidak mungkin melaksanakan konsep bekerja dari rumah (work from home), karena mayoritas adalah pekerja trampil. Harapan kelas bawah semata-mata adalah mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Jika bantuan sosial ini tidak sampai , artinya kiamat kecil bagi mereka.

Krisis bahan pangan sejak Abad XVII terbukti telah menjadi pemicu terjadinya kerusuhan sosial. Pemberontakan Moskow tahun 1648, dimulai karena kenaikan  pajak garam untuk mengisi kas negara setelah krisis ekonomi. Kenaikan harga garam , telah menyebabkan kerusuhan hebat di jalan-jalan Moskow.

Pawai perempuan di Versailes adalah salah satu peristiwa penting yang mengawali Revolusi Perancis. Pada awal musim panen gandum, pemerintah melakukan krontrol harga yang menyebabkan kenaikan harga gandum. Karena rakyat tidak mampu membeli roti, pada 5 Oktober 1789 terjadi aksi massa besar-besaran yang ditunggangi gerakan anti monarki.

Krisis Pangan dan Benih Revolusi

Kerusuhan gandum pada 1837 juga terjadi di Kota New York. Kerusuhan dipicu oleh kombinasi kemiskinan dan tingginya biaya produksi tepung. Di Chili pada Oktober 1905 terjadi kerusuhan sosial karena krisis daging yang disusul dengan demo hebat menentang kenaikan tarif impor ternak dari Argentina.

Pada 1977 terjadi kerusuhan roti di Mesir. Ratusan ribu penduduk pada 18-19 Januari 1977 memprotes penghentian subsidi oleh negara karena desakan Bank Dunia dan IMF atas bahan makanan pokok. Sebanyak 79 orang tewas dan 550 orang luka parah akibat demo yang menuntut reformasi subsidi.

Saat ini potensi pemicu terjadinya kerusuhan sosial tersebar di seluruh daerah, karena langkanya kebutuhan pokok akibat belum tersentuh bantuan sosial. Isu korupsi dalam distribusi kebutuhan pokok juga merebak. Pada tahun 2007 kejadian yang sama terjadi di Benggala Barat India ,sehingga kerusuhan terjadi  di semua distrik akibat krisis pangan dan korupsi, termasuk korupsi dalam distribusi.

Kejumawaan Pemerintah

Saat ini kerusuhan masih bisa dilokalisir pada tingkat kepala desa. Kepala desa menolak turunnya bantuan yang tidak sesuai dengan nama-nama dan jumlah penerima yang diajukan. Tetapi kepala desa tentu tidak mampu apa-apa jika kelaparan akhirnya memicu kriminalitas dan kerusuhan.

Yang disayangkan apresiasi terhadap kerja relawan dan swadaya yang berinisiatif membantu pemerintah mengatasi pandemi sangat minim. Padahal merekalah yang telah berhasil meredam emosi masyarakat menyikapi kisruh aparat pemerintah. Kementeriaan seperti menyembunyikan sesuatu dan menampik uluran tangan para relawan.

Jika aset modal sosial ini disiasiakan, bersamaan dengan terjadinya berbagai blunder  kebijakan, maka jangan heran jika modal sosial ini berubah menjadi liability atau beban politik baru. Politisasi kebijakan terjadi di semua negara yang membuat  rezim pemerintah semakin otoriter. Sebaliknya oposisi pun, seperti memancing di air keruh, berusaha menjatuhkan rezim berkuasa yang tidak becus.

Waspadai Kemarahan Masif

Kalau ini terjadi upaya menghentikan pandemi Covid 19 akan mubazir dan kapan Indonesia bebas dari virus ini tinggal ilusi. Rakyat yang tidak tahu pergulatan politik elit akan menjadi korban. Jangan heran jika mereka menuntut mandat dikembalikan ke tangannya.

Saat ini pemerintah mulai dipandang represif oleh kelas menengah karena banyak kebijakan yang keluar dari rambu hukum dan konstitusi. Tentu kebijakan ini dibuat sebagai respon dari rezim yang mulai ragu dengan dukungan politiknya. Dukungan politik melemah karena Presiden Jokowi mengandalkan pada kekuatan politik indirect, baik via oligarki maupun partai politik.

Dukungan rakyat langsung kepada Jokowi pelan-pelan dipreteli. Padahal modalitas politik Jokowi yang sesungguhnya adalah para relawan yang sejak awal mendukungnya. Mereka tersingkir karena dikhawatirkan menghalangi permainan dan kegiatan pemburu rente sekitar istana (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *