SABUROmedia, Jakarta – Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) melakukan diskusi online (OL), Kamis (30/4/2020). Mengangkat topik “BP Jamsostek Ngotot WFH, Ada Apa ? Hadir narasumber dalam diskusi tersebut yakni : La Ode Ida, Dadan Suparjo Suharmawijaya, keduanya adalah anggota Ombudsman RI; Chazali H Situmorang, mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan M Jumhur Hidayat, tokoh pergerakan pekerja. Hadir dalam diskusi OL tersebut Koordinator Wilayah (Korwil) MP BPJS Se-Indonesia dan perwakilan Malaysia dan pegiat jamsostek, dengan host diskusi OL Hery Susanto Ketua Kornas MP BPJS.
Hery Susanto host diskusi OL mengawali diskusi mengatakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sudah di depan mata. Memasuki Triwulan II tahun 2020 ini menanti lebih dari 3 juta Pekerja korban PHK.
Korban PHK butuh dana Jaminan Hari Tua (JHT) cepat, tetapi karyawan dan petinggi BP Jamsostek malah work from home (WFH). Sementara itu pekerja ramai-ramai cairkan klaim BP Jamsostek, dengan cara sistem online dan drop box.
Antrian daftar online sering penuh, hingga peserta harus berulang-ulang lakukan daftar OL. Klaim via OL membuat pekerja harus merogoh kocek lagi urus dokumen-dokumen klaim dengan scanning dan daftar OL, mayoritas mereka masih banyak yang gagap teknologi. “Sistem ini masih membebani peserta dalam pengajuan klaim dan berpotensi maraknya percaloan urusan klaim JHT BP Jamsostek,” kata Hery Susanto.
Dadan S Suharmawijaya mengatakan BP Jamsostek mempunyai inisiatif dalam pelayanan klaim pesertanya secara OL. Namun, ternyata ada kekurangan yang tidak bisa diatasi oleh BP Jamsostek dalam pelayanan OL selama pandemik corona ini.
“Sebab ternyata ada heterogenitas dari pekerja dalam menjalani pelayanan klaim OL BP Jamsostek. Tidak semua pekerja bisa melakukan proses klaim OL tersebut, di tengah wabah corona ini harusnya BP Jamsostek mempunyai mitigasi resiko dalam kekurangan pelayanan yang ada tersebut,” kata Dadan.
Menurut Dadan BP Jamsostek tidak bisa hanya mengatakan kami sudah mempunyai program pelayanan OL. Ketika ada pandangan bahwa sistem OL tersebut tidak bisa diakses maka harus ada perbaikan sistemnya. BP Jamsostek sebagai lembaga publik adalah institusi payung bukan intitusi kedua, karena itu penerapan WFH BP jamsostek di saat pandemik ini adalah salah, malah memunculkan problem bagi peserta. Oleh karena itu BP Jamsostek harus hadir terdepan memperbaiki pelayanan bagi pesertanya.
La Ode Ida mengatakan banyak institusi yang tidak siap memberikan pelayanan secara prima terkait tugas pokoknya, termasuk BP Jamsostek. Sejak corona hampir bisa dikatakan tidak ada instansi yang siap dalam merencanakan dan melaksanakan tugas pokoknya. Belum terlambat menyikapi PHK massal tersebut, dan bohong jika ada instansi yang mengatakan bisa menyelesaikan tugas pekerjaannya dengan WFH.
Kita harus mengatakan kepada publik bahwa BP Jamsostek tidak boleh lakukan WFH selama cara pelayanan prima melalui sistem pelayanan OL itu tidak ditemukan. Ombudsman akan memasukkan persoalan ini ke tim adhoc dan menjadi gerakan bersama untuk perubahan disampaikan ke presiden, menteri ketenagakerjaan dan pemangku kebijakan terkait, termasuk menugaskan perwakilan Ombudsman di daerah untuk memonitor persoalan ini.
“Contohnya di Kota Semarang, saya mendapatkan informasi untuk mencairkan klaim secara OL hingga dilakukan berkali-kali dari bulan ke bulan selanjutnya hingga berulang-ulang bahkan belum cair juga klaimnya. Tidak semua peserta BP Jamsostek terpelajar dan bisa aplikasi OL. Ombudsman akan memberikan perhatian khusus dalam pelayanan BP Jamsostek agar ada pelayanan prima terhadap pesertanya, karena itu pejabat berwenang harus lakukan perbaikan,” katanya.
Chazali H Situmorang mengatakan dampak PHK massal pasca corona ini banyak mendorong pencairan klaim JHT karena hanya itu yang bisa dilakukan peserta. Harus dicermati bahwa penerapan WFH BP Jamsostek itu mengindikasikan hilangnya pejabat BP Jamsostek dari peredaran di kantornya. Mungkin ini sebagai strategi mereka untuk mengerem aliran dana yang harus keluar di kantong-kantong BP Jamsostek.
“Dana JHT kan tidak ada di brankas, itu ada dalam bentuk investasi, tentu ada kesulitan untuk menarik uang itu, namun prinsipnya BPJS harus berorientasi pada kepentingan peserta. Sebab membantu peserta BP Jamsostek korban PHK yang mendapat tekanan ekonomi itu adalah membantu program pemerintah juga. Saat terjadi pandemik Covid-19 ini justeru itu ujian bagi para pimpinan BP Jamsostek,” katanya.
Menurut Chazali BP Jamsostek harus membantu proses pencairan klaim JHT peserta, itupun jika dananya masih ada, tapi jika sudah menipis tentu ini menjadi masalah. Ketika ia ditanya tentang seberapa hebat sistem OL BP Jamsostek, Chazali menjawab sistem OL nya tidak real time dan ini tentu bisa menjadi persoalan. “Sistem OL BP Jamsostek tidak real time sehingga tidak bisa menentukan berapa kebutuhan dana klaimnya,” katanya.
M Jumhur Hidayat menilai sistem OL BP Jamsostek masih banyak problem, sistem pengembangan dari dulu sampai sekarang tetap saja lambat dalam merespons. “Sistem OL BP Jamsostek upgradenya tetap lambat, model pelayanannya bikin pusing peserta sebagai pihak yang dilayani. Harusnya yang pusing itu kan yang melayani, ini terbalik justeru yang dilayaninya dibuat pusing,” katanya.
BP Jamsostek dianggap mempersulit dengan sistem OL yang diterapkan, bahkan bisa menunda hak pekerja dalam proses pembayaran klaim JHT. Dana kelolaan BP Jamsostek Rp 73 triliun yang dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur itu pun belum jelas kapan dibayar. “Kembalikan dana pekerja itu untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta, elite BP Jamsostek harus memihak pada kepentingan peserta disbanding memihak investor,’ pungkasnya. (SM)