Oleh: Nardi Maruapey (Wasekum PA Badko HMI Mal-Malut)
SABUROmedia, Ambon – Setiap tanggal 2 Mei bangsa ini selalu merayakannya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum ini harus tetap dijadikan sebagai upaya serius dan jangan pernah berhenti untuk terus menakar dan menatap pendidikan di Indonesia sebagai langkah dan modal penting menuju masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
Perkembangan zaman yang ditandai dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan dalam rangka mempersiapkan manusia yang cerdas khususnya di Indonesia.
Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk mencerdaskan sebagaimana beberapa pengertian dari pendidikan itu sendiri. 1) Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. 2) Menurut Jhon Dewey, pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama.
Sedangkan tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional kita juga bahwa pendidikan adalah upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara sederhana pendidikan merupakan bagian dari upaya memanusiakan manusiakembali.
Manusia Indonesia saat ini sedang mengalami krisis mulai dari krisis etika, moral, dan kecerdasan. Olehnya itu krisis ini harus diperbaiki. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat Indonesia dari krisis, maka tugas tersebut merupakan suatu tugas untuk membangun kembali pendidikan kita yang berbasis kebudayaan.
Prof. Har Tilaar mengatakan dalam bukunya Paradigma Baru Pendidikan Nasional bahwa antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula tidak ada praksis pendidikan di dalam vakum tetapi selalu berada di dalam lingkup kebudayaan yang konkret. Pendidikan kita dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan dan telah menjadi semata-mata alat dari suatu orde ekonomi atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Salah satu fenomena yang yang kita lihat bahwa semakin mahalnya biaya pendidikan di era yang dewasa ini juga menjadi permasalahan kita hari ini. Misalnya kita lihat saja sekolah-sekolah zaman sekarang lebih mirip industri yang kapitalistis ketimbang sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan bangsa, untuk sekolah.
Fungsi sekolah yang di masa lalu mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, di masa kini tidak ubahnya lahan bisnis yang subur. Sampai-sampai pernah muncul sebuah buku sebagai bentuk kritik yang ditulis oleh Eko Prasetyo dengan judul Orang Miskin Dilarang Sekolah yang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Bahwa semakin hari biaya pendidikan kita semakin mahal akibat dari sistem pendidikan dan kebijakan yang dibuat oleh Negara (pemerintah), seakan-akan hanya orang yang punya kemampunan dari segi ekonomi (orang kaya) yang bisa bersekolah dan menikmati pendidikan.
Paradigma Pendidikan
Secara umum, paradigma dimaknai sebagai cara berpikir atau cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku.
Lingkungan sosial kemudian akan dapat dipengaruhi tergantung dari paradigma (cara pandang) masyarakat yang berkembang. Ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas, pandangan hidup, pandangan dunia, dan nilai-nilai. Menurut para penganut pendapat ini, penyebab utama perubahan adalah ideas. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat serupa, dalam karyanya The Sociology of Religion dan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Max Weber banyak menekankan betapa berpengaruhnnya ide terhadap suatu masyarakat.
Dari sisi pendidikan, paradigma seseorang harus sesuai dengan makna dari pendidikan itu sendiri yakni untuk mencerdaskan. Sehingga lingkungan sosial masyarakat dapat dicerdaskan dari cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Dilembaga formal (sekolah) juga demikian paradigma pendidikan harus mempengaruhi metodelogi pendidikan yang digunakan.
Pendekatannya bisa dengan menggunakan empat pilar yang dicanangkan dan perlu dikembangkan oleh pendidikan formal, yakni: 1) learning to think (belajar berpikir). Ini berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga learner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi. 2) learning to do (belajar berbuat). Belajar berbuat adalah menuntun manusia bukan hanya berpikir tetapi manusia yang berbuat. Manusia yang berbuat adalah manusia yang memperbaiki kualitas hidupnya. 3) learning to live together (belajar hidup bersama). Di sinilah pendidikan akan menemukan nilai-nilai perdamaian, penghormatan hak asasi manusia (HAM), toleransi, dll. 4) learning to be (balajar menjadi diri sendiri). Pendidikan hendaknya diorientasikan pada bagaimana seorang learner di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri dan memiliki harga diri.
Masa Depan Pendidikan
Pada prinsipnya pendidikan harus dijadikan sebagai sebuah investasi berharga dalam membangun Indonesia ke depan. Oemar Hamalik (2009) mengatakan juga demikian bahwa pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Berbicara tentang proses pendidikan sudah tentu tak dapat dipisahkan dengan semua upaya yang harus dilakukan untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sedangkan manusia yang berkualitas itu, dilihat dari segi pendidikan.
Olehnya itu, pengembangan SDM merupakan fokus dan prioritas pemerintah tahun 2019, hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet yang membahas topik Nota Keuangan dan RAPBN tahun anggaran 2019 pada bulan Agustus. Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM Indonesia diperlukan pendidikan yang memadai. Pendidikan yang memadai tidak hanya milik golongan orang-orang yang mampu saja namun merupakan hak setiap warga negara Indonesia.
Dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 hasil amandemen itu menyebutkan: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Tapi sayang perintah konstitui ini belum terealisasi.
Lihat saja pada APBN yang dibuat pemerintah bahwa dari total anggaran belanja sebesar Rp. 2.220 triliun pada tahun 2018 sebagaimana tertuang dalam lampiran XIX Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian APBN tahun anggaran 2018 telah mengalokasikan Rp. 444, 131 triliun untuk pendidikan.
Namun apa yang menjadi usaha pemerintah ini belum berdampak pada kualitas pendidikan kita hari ini. Dalam istilah saya, ini disebut dengan ketidaksesuaian antara ide dan realitas. Pasalnya, selama 10 tahun terakhir ini Indonesia masih berada di belakang beberapa negara Asia dari segi pendidikan. Di 2018 Indonesia menempati posisi 62 sesuai data dari The Program for International Student Assessment (PISA) yang diterbitkan oleh organisasi negara-negara maju (Organization for Economic Coperation Development) dengan angka sebesar 395,3. Angka ini jauh dibanding negara tetangga seperti Singapura dengan skor 556, Vietnam dengan skor 495, dan Thailand dengan skor 415.
Ini yang menurut Darmaningtyas (2002) bahwa kehendak baik yang terumuskan dalam konstitusi itu baru muncul sekarang, ketika kondisi keuangan negara sedang carut marut sehingga kita tidak bisa memaksa pemerintah untuk merealisasikan secepatnya perintah yang terdapat dalam konstitusi yang baru tersebut. Namun selaku warga negara kita tidak boleh berhenti meneriakan kepada pemerintah agar mereka tidak lupa dan terlena dengan tugasnya.
Masa depan pendidikan bisa dapat dijangkau dengan beberapa langkah, di antaranya: Pendidikan murah harus menjadi agenda penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Karena realita yang terjadi sekarang malah sebaliknya. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep sekolah unggul, sekolah pemimpin masa depan, atau lebih parah lagi pendidikan unggul, maka para birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya, asal dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan terbaik sebenarnya tidak bedanya dengan termahal. Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mahal. Mahal sama dengan bermutu, bahkan baik.
Fenomena “biaya pendidikan mahal” ini kalau terus berlangsung maka akan menjadi persoalan dan berdampak buruk bagi orang-orang yang punya pendapatan ekonomi rendah atau kurang mampu. Hal ini yang dinamakan dengan ketidakadilan dalam dunia pendidikan kita.
Selain itu, diperlukan pendidikan berbasis. Pendidikan berbasis merupakan satu bentuk tujuan dari pendidikan itu dapat dipastikan lebih pada penguatan kebutuhan dari bangsa ini. Pendidikan berbasis adalah solusi yang ideal untuk menakar masa depan pendidikan kita. Pertama, pendidikan berbasis teknologi. Seperti yang sudah dikatakan diawal bahwa teknologi sudah semakin berkembang sesuai dengan kuatnya arus globalisasi. Sehingga penguasaan teknologi harus diperkenalkan dan dikuasai dari dunia pendidikan.
Kedua, pendidikan berbasis budaya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang sangat berbudaya dalam tatanan kehidupannya. Misalkan budaya gotong royongnya, toleransi, menghargai perbedaan, sebagai identitas dan karakter kita harus tetap terjaga dan dikembangkan dengan semakin kuatnya budaya-budaya barat.
Dari kedua konsep pendidikan yang dimaksudkan ini diharapkan hasil akhir dari pendidikan kita dapat menyentuh nilai-nilai keidonesiaan dan kemodernan. Nilai keindonesiaan didapatkan dari konsep pendidikan dalam memaknai budaya asli bangsa kita. Sedangkan nilai kemodernan didapatkan dari konsep pendidikan dengan menguasai ilmu pengetaguan dan teknologi (iptek).
Karena dengan upaya seperti inilah pendidikan kita harus bisa mendapatkan jalan yang sebenarnya demi mendapat masa depannya. Sebab tantangan hari ini dan ke depan akan semakin luar biasa sulitnya ditambah sekarang kita berada pada era yang penuh dengan kemodernan. Apalagi diskursus tentang “bonus demografi” dan “generasi emas” serta “revolusi industry 4.0” tengah mengemuka di tanah air. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan secara khusus dan secara umum bagi bangsa Indonesia. (SM)