Oleh: Nazarudin Umar (Akademisi IAIN Ambon)
SABUROmedia, Ambon – Peringatan HUT RMS tanggal 25 April 1950 kembali menjadi perhatian publik di Maluku di tengah momentum ketahanan Nasional di uji persatuan bangsa digalakkan dalam menghadapi wabah Covid-19 dan pada saat yang sama basudara umat Islam sedang khusyuk penuh penyerahan diri berjuang menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1441 Hijriyah.
Muncul aksi “anti NKRI” secara terang-terangan dengan pengibaran bendera RMS di Pulau Haruku dan aksi terbuka yang ditunjukkan tiga orang membawa bendera RMS masuk di halaman Mapolda Maluku dengan teriakan “Mena Muria” pada hari sabtu, 25 April 2020 kemarin.
Pihak kepolisian sendiri telah membenarkan kejadian ini, seperti yang dilansir Siwalimanews, menurut Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol Moh Roem Ohirat yang dikonfirmasi Siwalimanews melalui telpon bahwa ketiga warga ini saat ini sementara menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Maluku, dari hasil interogasi tiga warga ini mengakui, mereka saat ini adalah pimpinan FKM RMS, yakni Simon sebagai Ketua FKM/RMS, Abner sebagai Wawkil Ketua FKM/RMS dan Jannes sebagai Sekretaris FKM/RMS ungkap Kabid, pada saat yang sama Polda dan Polresta Ambon telah menangkap lima warga lainya yang mengibarkan bendera RMS (baca Siwalimanews, 25 April 2020).
Lahirnya RMS
Dalam catatan sejarah sejak diproklamirkan berdirinya Negara Republik Maluku Selatan (RMS) tanggal 25 April 1950 yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Maluku Selatan pertama yakni Johanes Hermanus Manuhutu (J.H Manuhutu) dan Albert Wairizal atau A.Wairizal.
Maka rentetan peristiwa mewarnai sejarah perjalanan RMS di Maluku dari waktu ke waktu yang menujukkan sel-sel gerakan ini masih eksis, sebab disetiap momentum Hari Ulang Tahun (HUT) RMS selalu diwarnai pengibaran bendera sementara tindakan hukum pemerintah belum menyentuh substansi masalah sebab upaya selama ini dari insiden ke insiden pengibaran bendera masih sebatas pendekatan pidana melalui upaya penegakan hukum.
Jika ditelisik lebih dalam dalam perspektif hukum, ini menjadi suatu fenomena hukum dan peristiwa yang menarik untuk dicermati lebih serius sebab pertama bahwa insiden ini adalah gambaran realitas sosial-politik sebagian masyarakat Maluku yang diekspresikan melalui aksi dan sikap politik untuk menyampaikan pesan-pesan aspirasi politik kenegaraan soal cara pandang dan sikap politik kewarganegaraannya yang terus terulang hingga saat ini sejak pemberontakan RMS tahun 1950, apakah ini adalah kelanjutan atau gambaran upaya perjuangan yang belum selesai, dan tangan negara belum mampu menjangkau akar gerakan ini.
Sebab dalam realitas menunjukkan sel-sel jaringan ini terus tumbuh dan bersemai dari generasi ke generasi seperti fenomen Virus muncul dengan berbagai variannya, berbagai upaya masih terus dilakukan menggunakan sarana media daring sepertii pidato peryataan politik, ajakan menaikkan bendera RMS di HUT RMS, dan tindakan berani 3 orang membawa bendera RMS memasuki Mapolda Maluku dengan meneriakkan slogan “Mena Muria”
ini menggambarkan upaya perjuangan RMS di Bumi para Raja-Raja belum selesai.
Kalau kita menelusuri sekilas dari beberapa literatur Istilah “Mena Muria” sendiri bisa ditemukan diantaranya dalam lagu kebangsaan RMS dan lambang RMS dalam lagu yang berjudul “Maluku Tanah Airku” diujung lagu tertulis Mena – Muria, Hiduplah.
Mena-Muria
Slogan ini berasal dari bahasa Maluku Melanesia asli yang berarti “Depan – Belakang” ada juga yang mengartikan “saya pergi-kita mengikuti”atau satu untuk semua semua untu satu” sejak dulu kata-kata ini diteriakkan oleh nahkoda dan pendayung perahu tradisional, kora-kora untuk menyeragamkan gerakan saat ekpedisi lepas pantai, kalimat inilah sempat disuarakan saat melakukan memasuki Mapolda Maluku.
Istilah Mena Muria juga tertulis dalam bagian blazon Lambang RMS dibawah gambar Burung Merpati yang dilambangkan sebagai simbol positif dan harapan baik. dengan sayap setengah terbuka melambangkan bersiap-siap terban diparuhnya terdapat cabang pohon damai, dadanya bertuliskan “parang “, salawaku, dan bentuk tombak. Artinya teriakan Mena Muria adalah simbol bahasa perjuangan yang sedang terus digalakkan.
Kedua, dari catatan sejarah juga bisa ditemukan bahwa RMS adalah daerah yang diproklamirkan merdeka pada tanggal 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur saat Indonesia masih Republik Indonesia Serikat.
Hal ini dengan jelas dapat dibaca dalam teks proklamasi RMS disebutkan pada kalimat pembukaan paragraf pertama berbunyi “Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Maluku Selatan de fakto de jure, jang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S. dari dokumen ini paling tidak mengkonfirmasikan bahwa RMS mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara yang berbentuk republik lepas dari negara bagian Indonesia Timur dan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Respon Pemerintah Indonesia pada waktu yakni dilakukan langkah-langkah diplomasi secara damai namun tidak berhasil pada akhirnya langkah operasi militer ditempu Presiden Soekarno mengutus Kolonel Alex Kawilarang memimpin Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) untuk menumpas RMS. pada tanggal 25 September 1950 pasukan pemerintah bertempur melawan RMS di Maluku di berbagai tempat di Ambon, pulau Buru dan Pulau Seram dan dalam peristiwa puncak pada perebutan Benteng Nieuw Victoria, dalam operasi militer ini sendiri Letkol Slamet Riyadi, Letkol S.Sudiarso dan Mayor Abdullah dinyatakan gugur.
Posisi RMS
Catatan sejarah ini menggambarkan bagaimana posisi RMS sebagai gerakan saparatis pemberontakan atas Negara Republik Indonesia Serikat, karena telah melakukan pemberontakan november 1950 di atas negara RIS dan Negara Bagian Indonesia Timur. Pemerintah Indonesia telah melakukan suatu tindakan hukum berupa penumpasan melalui upaya militer GOM III.
Dan Mr. Dr. Christan Robert Soumokil sebagai presiden kedua RMS waktu dihukum mati atas putusan Mahkamah Militer pada 12 April 1966. C.R. Soumokil sendiri merupakan bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur yang pada 23 april 1950 mereka menekan kepala daerah maluku selatan agar mau mendirikan negara ambon, setelah diproklamirkan Manuhutu pun menjadi presiden RMS masa jabatannya sangat singkat hanya 8 hari dimana pada tanggal 3 Mei 1950 ia digantikan oleh Mr. Dr. Christan Robert Soumokil, (1950-1966) J.Manuhutu sendiri dikabarkan kembali ke pangkuan ibu pertiwi mengabdikan diri di salah satu kementerian hingga pensiun. Setelah tahun 1966 sebagian pentolan RMS mengasingkan diri di Belanda.
Demikian pula tahun 2007 muncul kembali saat Presiden Indonesia berkunjung ke Ambon 2007 sejumlah simpatisan RMS mengibarkan bendera RMS saat menari Cakalele, dan tahun 1999 sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di Ambon mengibarkan bendera RMS disejumlah tempat umum dibawah pimpinan Alex Manuputy yang kemudian mengunsi ke Amerika Serikat.
Optik Hukum
Membaca fenomena yang terus berulang ini, menunjukkan ada semacam kebuntuan hukum terlihat dari pengalaman hukum pemerintahan secara evolusi selama ini dalam merespon dan menerapkan undang-undang atau peraturan untuk menyoal eksistensi RMS di Indonesia termasuk di luar negeri penyebab adalah Pertama, terjadi kekosongan hukum (recht vacuum) soal status hukum RMS.
Sejauh ini saya belum menemukan suatu keputusan hukum administrasi atau peraturan yang dikeluarkan negara tentang status RMS itu sendiri apakah sebagai organisasi/gerakan saparatis atau tidak, apakah merupakan organisasi atau gerakan yang semua aktivitasnya termasuk simbol-simbol, bendera yang dimiliki dilarang diwilayah Indonesia.
Seperti pelarangan dan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Ketetapan MPR-RI No. XXV tahun 1966, demikian pula pelarangan atau pencabutan organisasi Hizburtahir Indonesia (HTI) melalui Perpu No. 2 Tahun 2017 atas Keputusan Menkumham No. 24 tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum HTI dan penolakan gugatan HTI di di Pengadilan PTUN Jakarta Timur.
Jika demikian maka meskipun secara historis RMS sebagai gerakan pemberontakan yang perna di tumpas oleh RI namun bagaimana status RMS hingga saat ini, sejauh ini saya belum menemukan suatu penetapan keputusan negara soal status RMS. Padahal secara de facto organisisasi RMS terus berlanjut meskipun pimpinannya di berkedudukan di Belanda namun eksistensinya terlihat secara defacto sejak meninggalnya Frans Lodewijk Johannis Tutuhatunewa menjadi Presiden hingga meninggal 2010 dan diteruskan oleh Johannes Gerardus Wattilete sebagai presiden boleh jadi hingga saat ini.
Dalam berbagai momentum sering menunjukkan eksistensinya melalui pengibaran bendera RMS dari tahun ke tahun baik diluar negeri maupun di dalam negeri Indonesia, meskipun dalam beberapa kasus ada keputusan pengadilan bagi kelompok RMS dengan pasal-pasal yang dikenakan masih sebatas pasal Makar dalam pasal 106, 108 KUHP yang banyak dipandang oleh sebagian ahli hukum sebagai penerapan pasal yang keliru, namun terlepas dari itu faktanya telah menjadi putusan hakim menerapkan pasal-pasal makar dalam kasus-kasus RMS.
Kedua, Ada semacam tradisi pemerintahan baik pada masa presiden Suharto hingga pemerintahan saat ini untuk tidak mengambil opsi kebijakan hukum pemerintah, untuk menetapkan RMS sebagai organisasi terlarang atau barangkali sejauh ini ada pandangan bahwa gerakan RMS tidak berbahaya, sekedar simbolik tidak punya kekuatan bersenjata. Dari sisi ancaman maka negara tidak menyikapinya, cukup dengan isu pidana dan penegakan hukum sudah bisa ditangani. Sehingga pendekatan yang diambil pemerintah berbeda dalam RMS, GAM dan OPM.
Solusi Hukum
Apakah tuduhan Makar lagi yang tepat digunakan dalam perkara ini, seperti pengalaman praktik hukum sebelummya, maka tentu sangat tergantung apa motif pelaku dan rangkaian perbuatan yang dilakukan, apakah ini ada suatu konsfirasi kejahatan yang tidak selesai, dan dapat dikualifisir sebagai upaya “pemberontakan”
Pada prinsipnya menyikapi gerakan-gerakan seperti ini tentu negara tetap harus hadir melalui penegakan hukum pidana secara substantif tujuannya untuk membuat terang peristiwa ini, siapa mereka ini, apakah mereka ini adalah korban, apakah ada motif tertentu dibalik ini, apakah ada upaya makar dan seterusnya, apakah ada kejahatan terselubung yang tidak nampak sedang direncanakan dan seturnya. Apalagi momentumnya dalam bulan suci ramadhan dan menjelan idul fitri belum lagi negara sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Sebab dari aspek perbuatan pidana (strafbaar feit) sebuah perbuatan pidana selalu dibangun atas dua unsur yaitu unsur obyektif/physical dan unsur subyektif/mental unsur obyektif/physical disebut actus reus yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang pidana) prasyarat suatu perbuatan dapat dipidana unsur subyektif/mental disebut mens rea yaitu sikap batin/ pelaku ketika melakukan tindak pidana apakah ada kesalahan, kesadaran, niat jahat, kesengajaan (dolus) melakukan tindak pidana, inilah akan diuji oleh penegak hukum atas kasus ini, kedua unsur inilah yang bisa digunakan dalam menguji ada tidaknya aspek pidana dalam kasus ini.
Selain itu perlu upaya-upaya pencegahan secara serius agar menjauhkan warga masyarakat dari pemahaman saparatisme melalui usaha-usaha penanaman hukum dan nilai-nilai nasionalisme serta kecintaan terhadap NKRI. Sebab ini membuktikan tergerusnya semangat nasionalisme dan kecintaan terhadap NKRI
Agar gerakan semacam ini bisa diputus mata rantainya, warga masyarakat yang terpapar paham-paham radikal soal ideologi untuk melalui program Identifikasi jaringan RMS baik simpatisan, pendukung, maupun pimpinan dan penilaian untuk dilakukan program rehabilitasi reedukasi, dan reintegrasi sosial seperti sistem deradikalisasi dalam penanganan paham radikal terorisme melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wirausaha seperti yang diperkenalkan dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Maka peran PEMDA Maluku dan pemerintah pusat sangat diperlukan untuk memberikan solusi melalui program pembangunan, peningkatan kesejahteraan, jaminan beasiswa dan pendidikan yg berkualitas bagi masyarakat yang terpapar paham saparatisme RMS. Agar mereka juga merasa di cintai oleh ibu pertiwi.
Dalam proyeksi jangka panjang sebagai hukum yang di cita-citakan (ius constituendum) sudah perlu dipikirkan adanya produk hukum negara menyoal tentang gerakan saparatisme bisa dalam bentuk Undang-Undang, dan jika mendesak melalui Perpu.
Sehingga ada kepastian hukum basis legal atau dasar hukum yang bisa diterapkan oleh pemerintah dan penegak hukum dalam merespon kasus-kasus kongkrit seperti ini, sehingga segala macam aktifitas berkaitan dengan organisasi/gerakan saparatisme seperti mengibarkan bendera, membawah bendera dan simbol-simbol, perayaan ulang tahun dan pidato dan lain-lain, bisa dihukum secara pidana.
Termasuk program semacam deradikalisasi bagi warga masyarakat yang terpapar paham saparatisme melalui pembinaan-pembinaan wawasan kebangsaan sebab fakta menunjukkan pelibatan anak-anak, remaja, dan pemuda adalah kelompok generasi yang rentan yang muda digerakkan dalam kasus ini, dan yang paling urgen dilakukan adalah perlu penetapan organisasi dan gerakan mana saja sebagai organisasi atau gerakan saparatisme di Indonesia dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang setelah berlakukan UU Pencegahan Tindak Pidana Organisasi dan/atau gerakan Saparatisme.
Dengan ini negara memiliki kepastian hukum untuk memecah kebuntuan hukum mengatasi problem saparatisme di Maluku termasuk di Indonesia. sehingga segala macam aksi-aksi atau kegiatan yang mengarah pada gerakan saparatisme bisa di cegah dan ditindak. Sebab bagaimanapun NKRI adalah harga mati, eksistensi dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus kita jaga bersama untuk generasi dan masa depan bangsa ini.(**)