SABUROmedia, Ambon – Sikap phobia antar warga publik yang mencurigai dan sinis terhadap korban kontaminasi Covid-19 dan tenaga medis, mulai merebak di Indonesia. Termasuk aksi emosional penolakan penguburan jenasah korban, maupun tindakan perlawanan penguburan oleh keluarga korban, tanpa kompromi dengan pihak rumah sakit. Gangguan kesehatan mental akibat ketakutan, stres dan frustasi, terteror virus Covid-19 diduga jadi pemicu fenomena phobia anti korban Covid-19 diseluruh negara. Saat ini publik semakin kebingungan karena sumber pakar medis yang dikutip media, menganjurkan solusi hasil copy paste dari internet. Bukan hasil penelitian terbaru dari pakar Epidemoilog.
Ketika konfirmasi angka korban tewas akibat virus Covid-19, secara global, didominasi oleh warga usia lanjut dengan penyakit kronis. Konglomerat industri alat kesehatan dan industri asuransi, saling mempromosikan produknya kepada keluarga korban Covid-19. Ironisnya, produk yang ditawarkan tidak bisa diperoleh dan digunakan secara mudah dan cepat Mayoritas korban Covid-19 berusia lanjut, di tolak pembiayaannya oleh asuransi, karena tingkat harapan hidup pasien hanya tersisa 2%. Pihak Rumah Sakit di Eropa dan Amerika, hanya mau merawat pasien terkontaminasi Corona dengan harapan hidup diata s 75 %. Lainnya disuruh pulang isolasi mandiri dirumah selama 14 hari, dan akhirnya mengkontaminasi keluarga, kerabat dan tetangga, setelah itu wafat secara masif.
Masalah yang muncul kemudian, tenaga medis dan dokter yang berusia lanjut, kelelahan merawat pasien, terkontaminasi virus karena imunitas tubuh menurun. Presiden Donald Trump, menghimbau rakyat Amerika untuk bersiap menghadapi kenyataan pahit, akan banyak kematian. Amerika menjadi negara episentrum Covid-19 terbesar didunia. Lebih dari 306.000 orang terinfeksi dan 8.300 orang tewas. Kota New York, memiliki PDP sebanyak orang, dan 630 orang tewas dalam 24 jam. Pemeritah RRC, lakukan jurus diplomasi “politik amal narsis” dengan mendonasikan 1000 unit ventilator, setelah Presiden Donald Trump dan Xi Jinping, berkomunikasi. Miliaran orang warga dunia telah dipaksa untuk tinggal dirumah untuk mencegah penyebaran Covid-19, atas nasehat pakar Epidemiolog untuk merespon wabah untuk mengendalikan pandemik Corona dan memiliki alasan medis untuk tetap optimis.
Di
Indonesia, sistem pengawasan epidemiologis terorganisir, belum populer untuk
digunakan mencegah dan mengontrol dampak data pasien terinfeksi positif palsu
Covid-19, karena ketidak akuratan alat tes dalam mendeteksi peristiwa gangguan
kesehatan akibat Corona, dibawah pengawasan, pengakuan kontribusi individu
dan waktu pelaporan. Akhirnya,
standar evaluasi kemajuan pengendalian pandemik Covid-19, dipraktekan sebagai alasan politik kebijakan negara untuk menemukan solusi aktif tepat waktu, tanpa didukung dengan informatika medis. Kesadaran dan respon awal negara terhadap pandemik Covid-19, objektifnya dilakukan dengan presepsi sindrom serangan bioteroris, agar dapat segera menyelamatkan banyak nyawa dan memperlambat penyebaran wabah secara real time untuk mendeteksi pola teror inveksi Corona. Presepsi resiko, peningkatan upaya komunikasi resiko, perkiraan infeksi dan rasio fatalitas kasus Covid-19 yang tidak terkontrol, dan penilaian cepat penularan komunitas.
Contoh pendekatan metode cepat proksi epidemiologis di RRC, menunjukan bahwa pada kasus awal di Wuhan, 2.055 kasus Covid-19, terinfeksi virus proksi SARS Cov-2 dari petugas me disdi 476 rumah sakit di RRC. Ketika situasi epidemiologis berkembang di Belanda pada 12 Maret 2020, pemerintah lansgung melidungi warga usia lanjut beresiko medisut, untuk mengisolasi diri dirumah dari infeksi penularan masyarakat tanpa diketahui dengan potensi resiko penularan nosokomial. Mengkonfirmasi update jumlah korban wafat di Indonesia yang mencapai 198 orang, dan 2.273 orang terinfeksi.
Dengan ini pimpinan organisasi BELA INDONESIA, Abdussalam Hehanussa dalam rilisnya menyampaikan sikap Sebagai berikit :Mendukung seluruh upaya serius Presiden Jokowi, dalam mencari solusi nyata, memerangi ancaman pandemik virus Covid-19.
Mendesak pimpinan satgas Covid-19 nasional, agar memberikan laporan kasus ODP dan PDP secara realtime, berbasis penilaian status infeksi pasien yang memiliki virus SARS Cov-2, paru-paru, jantung, diabetes dan ahirnya terinfeksi virus Covid-19. Agar publik tercerahkan dan tidak “merasa tertuduh” tidak mengikuti seruan pemerintah.
Mendesak Presiden Jokowi untuk menyertakan pakar epidemiologis global dalam memberikan penjelasan kepada publik tetang potensi hasil jangka pendek dari pandemik Covid-19 yang tidak terkontrol. Jangan membombardir publik dengan data proyeksi pemodelan teoritis, bukan hasil survey lembaga epidemiologis. Agar publik tidak paranoid dan terpapar berita hoaks yang disebarkan provokator. (SM)