Oleh : Abdul Kadir Pelu, SH (Wabendum Pengurus Besar HMI)
SABUROmedia, Ambon – Mewabahnya Virus Corona di Indonesia akhir ini kian hari kian memberat. Hal ini dinilai dari grafik perkembangan Angka Pemerintah menyatakan bahwa data yang dihimpun memperlihatkan pasien Covid-19 di Indonesia hingga Senin (30/3/2020), total ada 1.414 kasus Covid-19 di Indonesia.
Angka ini bertambah 129 pasien yang dinyatakan positif virus corona dalam 24 jam terakhir, Hal ini dinyatakan juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona Achmad Yurianto.
Dari 34 Provinsi di Indonesia 31 Provinsi telah terkapar virus tersebut.
Hal ini, dalam beberapa hari kedepan diprediksikan akan terus naik.
Berbagai macam upaya telah dilakukan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, mulai dari pengadaan Alat kesahatan, pemberlakukan Social Distancing, hingga Lockdown atau karantina Wilayah.
Dari ketiga penanggulangan ini rupanya Lockdown menjadi polemik tersendiri anatara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan menyisahkan perdebatan terkait kebijakan yang secara legitimasi mempunyai kekuatan hukum.
Dalam hemat saya, rupanya ada perbedaan yang tajam antara legal opinion Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menganalisis otoritas sah tidak nya kebijakan.
Dalam UU No.6 Tahun 2018
Hal ini sesuai ketentuan pasal 11 ayat (1) dijelaskan bahwa “Penyelengaraan Kekarantinaan Kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besaranya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya”.
Otoritas legitimasi inilah yang menjadi dalil Pemerintah Pusat untuk mengecam Kepala Daerah yang melakukan Karantina Wilayah lewat jumpa pers beberapa hari yang lalu.
Dengan demikian menurut potret ritme keberlangsungan pemerintahan terkait semangat Pak Jokowi untuk melawan Covid19 terkait kebijakan perlu dipertanyakan. Kenapa demikian ? Asumsi atas dasar legitimasi itu justru di satu sisi terlihat lemah dalam efektifitas roda pemerintahan dalam analisis kebijakan dan lemah dalam pendalaman konstruksi Hukum yang berlaku.
Dalam dalil pembuktian legal opinion
Menurut hemat saya Pemerintah Daerah tetap mempunyai legitimasi sekalipun tidak didukung oleh Pemerintah Pusat, sehingga wewenang untuk mengkarantina Wilayah (lockdown) tetap ada sesuai ketentuan aturan lain yang berlaku selain ketentuan uu no.6 tahun 2018.
Hal ini dapat ditinjau dan dikuatkan
dalam undang-undang ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Dalam pelaksanaannya diskresi merupakan salah satu hak pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugas.
Keputusan atau tindakan pejabat secara bahasa dapat didefinisikan dua hal yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Keputusan berkaitan dengan tindakan yang dilakukan melalui kebijakan berupa penetapan sedangkan tindakan dapat diartikan sebagai perlakuan secara langsung oleh pejabat tanpa melalui penetapan.
Keputusan atau tindakan pejabat berupa diskresi ini tidak serta merta bisa dilaksanakan, karena pelaksanaan diskresi harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang 30 Tahun 2014, yaitu melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Parameter penggunaan diskresi ini lebih konkrit bisa dijelaskan yang salah satunya, adanya stagnasi pemerintahan. hal ini dapat diartikan sebagai keadaan darurat, mendesak, dan/atau bencana. Dalam hal terjadi keadaan urgensi maka secara hukum pejabat diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan atau tindakan dengan tujuan untuk merespon keadaan tersebut demi kepentingan umum.
Secara normatif diskresi ini dapat dilakukan oleh setiap pejabat baik itu tingkat pusat maupun daerah.
Ditingkatan aturan lain Hukum tertinggi Konstitusi UUD NRI 1945 juga menjelaskan dalam pasal 28 G ayat 1
” Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Dan pasal 28 H ayat 1
” Setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Dalam dua pasal dalam ketentuan kosntitusi UUD NRI 1945 inilah yang juga bisa ditafsir untuk menjadi pedoman dan sandaran bagi Kepala Daerah untuk melindungi masyarakat dan Hak nya dengan mengambil kebijakan untuk pemberlakuan Lockdown.
Apalagi secara khirarhi peraturan perundang undangan kedudukan UUD NRI 1945 lebih tinggi daripada UU no.6 tahun 2018 sehingga berlakunya asas
” Lex superior derogat Legi Inferior “
Hukum yang kedudukan nya Lebih tinggi menyampingkan Hukum yang rendah.(**)